Lasino,S.Ag
A.
Latar Belakang
Keluarga
merupakan sekelompok manusia yang terdiri atas suami, istri dan anak-anak (bila
ada) yang terikat atau didahului dengan perkawinan (Partini, 1977:11).
Keterikatan pada anak, istri dan harta kekayaan jauh lebih kuat dari belenggu
yang terbuat dari besi, kayu ataupun tali jerami (Dh.345). Kehidupan
dalam Agama Buddha ada dua pilihan yaitu kehidupan sebagai perumah tangga dan
kehidupan sebagai samana. Hidup sebagai perumah tangga memiliki kewajiban untuk menyokong
keluarga sedangkan hidup sebagai pertapa tidak memiliki ikatan keduniawian (Sn.220).
Perumah
tangga diikat pada perkawinan, tujuan perkawinan membentuk keluarga yang,
rukun, damai, bahagia dan sejahtera. Kebahagiaan adalah sesuatu yang didambakan
oleh semua makhluk, termasuk bagi perumah tangga (keluarga). Setiap anggota
keluarga diharapkan mampu untuk menciptakan kebahagiaan dalam keluarga, karena
masyarakat yang sejahtera ditopang oleh
keluarga-keluarga yang sejahtera dan bahagia.
Keluarga
sejahtera adalah keluarga yang dibentuk berdasarkan atas perkawinan yang sah,
mampu memenuhi kebutuhan hidup spiritual dan materiil yang layak, bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki hubungan yang serasi, selaras, dan
seimbang antar anggota dan antar keluarga dengan masyarakat dan lingkungan
(Wijaya-Mukti, 2003:342).
Kebahagiaan
keluarga tergantung pada keharmonisan suami istri dalam mengatur kehidupan
rumah tangga. Kedudukan suami dalam rumah tangga yaitu sebagai kepala keluarga
yang memiliki tanggung jawab untuk mewujudkan kebahagiaan dan kesejahteraan
keluarga dengan melaksanakan kewajiban-kewajibanya. Fenomena yang terjadi dari
pengamatan media, kehidupan berkeluarga sebagian menyimpang dari ajaran Buddha.
Terjadinya Penganiayaan dan tindak kekerasan dalam keluarga disebabkan suami
tidak memiliki tanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Kurang
adanya kasih sayang, perhatian, pengertian, dan komunikasi yang baik, akan
berdampak pada retaknya keluarga yang mengakibatkan keluarga tidak harmonis.
Buddha menjelaskan bagaimana seharusnya suatu keluarga tetap terjaga
keutuhannya.
“Sebuah
keluarga adalah tempat dimana pikiran bergabung dan bersentuhan satu sama yang
lain. Bila pikiran saling mencintai satu sama lain, rumah itu akan seindah
taman-taman bunga yang asri. Namun bila pikiran tidak harmonis satu dengan yang
lain, keadaanya bagaikan topan badai yang memporak-porandakan isi taman itu” (A.III.30).
Menurut
UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
yaitu ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
sejahtera berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan adalah sah apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Dan tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku
(Wijaya-Mukti, 2003:338).
Buddha
membedakan terdapat empat macam pasangan perkawinan yaitu: (1) Pria jahat atau chavo
dengan wanita jahat atau chava, merupakan pasangan buruk senantiasa
melanggar Pancasila Buddhis, (2) pria jahat atau chavo dengan wanita
baik atau deví, (3) pria baik atau deva dengan wanita jahat atau chava
dan (4) pria baik atau deva dengan wanita baik atau deví,
pasangan yang terakhir merupakan pasangan perkawinan yang dipuji oleh Buddha (A.II.57).
Suami
dalam keluarga memiliki kedudukan sebagai kepala keluarga yang mempunyai
kewajiban sangat penting yaitu bekerja mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan
hidup keluarga dalam mewujudkan kehidupan keluarga bahagia dan sejahtera. Mengenai suami, secara umum Sang Buddha
mengatakan bahwa seorang yang menyokong orang tua, istri dan anak, bekerja
untuk kebaikan keluarga dan masyarakat luas, dapat disebut sebagai “seorang
yang baik dan berharga” (S.I.228, A.IV.224).
Suami
yang tidak menjalankan kewajibannya dengan baik akan berakibat dibenci oleh
anggota keluarganya. Ada delapan hal yang menyebabkan suami dibenci oleh
keluarganya sendiri yaitu: miskin, sakit-sakitan, tua, bermabuk-mabukan, bodoh,
kurang perhatian, terlalu sibuk, dan menghanbur-hamburkan uang (Ja.V.433).
Suami
ideal bagi keluarga adalah yang menganut asas monogami (hanya beristri satu),
selalu mencintai keluarganya, selalu setia, bisa mengendalikan nafsu seksual
dan penolakan terhadap keserakahan (Wijaya-Mukti.2003.339). Dalam Maha Manggala Sutta, Buddha menyatakan bahwa menyokong ayah dan ibu, merawat anak dan
istri, merupakan salah satu bentuk berkah Utama (Sn.262).
B.
Peran Suami Terhadap Keluarga
Pada
saat manusia menjadi dewasa, akan berpikir untuk menentukan apakah menikah atau
tetap sendiri. Sebagai umat awam sebagian besar memilih untuk menikah, karena
yakin bahwa pernikahan lebih memungkinkan untuk hidup bahagia (secara duniawi).
Setiap pasangan suami istri yang sudah menikah mendambakan perkawinan bahagia
dan langgeng berdasarkan kehidupan keluarga yang harmonis. Keluarga mendambakan
kehidupan rumah tangga bahagia, membutuhkan persiapan dan perencanaaan
mencukupi sebelum memasuki jenjang pernikahan.
1.
Tanggung Jawab Sebagai Suami
Laki-laki yang
akan memasuki kehidupan keluarga memerlukan banyak persiapan dan diharapkan
mampu menjadi kepala keluarga dalam memelihara dan melindungi keluarganya.
Secara umum maupun Buddhis laki-laki (calon suami) setelah memasuki kehidupan
rumah tangga akan menjadi kepala keluarga memiliki tujuan untuk mencapai
kebahagiaan keluarganya. Keluarga bahagia merupakan komponen terpenting dalam
pembentukan masyarakat bahagia. Untuk mendapatkan kebahagiaan keluarga syarat
utamanya adalah masing-masing anggota keluarga saling menyadari bahwa dalam
kehidupan tidak dapat hidup sendiri, individu saling membutuhkan antara satu
dengan yang lain karena masing-masing pihak terikat satu dengan yang lain.
Keterikatan
dengan orang lain tidak bisa terlepas dari peraturan Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan, perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang
pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
yang bahagia kekal berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan adalah sah apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, dan tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku
(Wijaya-Mukti, 2003:338).
Perumah tangga
diikat pada perkawinan, tujuan perkawinan membentuk keluarga yang aman, damai,
rukun dan sejahtera. Hubungan perkawinan dan hubungan keluarga sebagai suatu
dasar masyarakat. Buddha Gotama
menitikberatkan pada pembentukan kepribadian yang baik melalui pelaksanaan (síla) peraturan pelatihan dasar, saling mengerti dalam pemenuhan hak dan
kewajiban dari masing-masing pihak “Apabila suami istri ingin saling memandang
(tetap bersama) dalam hidup ini dan kehidupan yang akan datang, maka keduanya
harus seimbang dalam keyakinan (saddha) moral (síla), kemurahan hati (caga), dan
kebijaksanaan (paññä)”.
Keluarga adalah
suatu ikatan persekutuan hidup atas dasar perkawinan antara orang dewasa yang
berlainan jenis yang hidup bersama atau seorang laki-laki atau seorang
perempuan yang tidak sendirian dengan atau tanpa anak, dan tinggal dalam sebuah
rumah tangga. Keluarga merupakan sekelompok manusia yang terdiri dari suami,
istri, anak-anak (bila ada) yang terikat atau didahului dengan perkawinan
(Partini, 1977:11).
Secara umum
masyarakat menganggap sebaiknya suami yang menjadi kepala keluarga, karena
laki-laki lebih kuat dibanding dengan perempuan, tetapi tidak menutup
kemungkinan istri mempunyai jabatan yang lebih tinggi dari suami tanpa harus
mengurangi rasa menghormati dan menghargai terhadap suami. Suami dianggap mampu
untuk memenuhi tanggung jawab terhadap kelurganya dengan melindungi, memberikan
kasih sayang akan menjadikan keluarga bahagia. Seseorang dapat mencapai
keberhasilan tanpa memandang jenis kelamin, suami dapat mencapai kesuksesan
karena ketekunan, ketrampilan dan melaksanakan sila dengan baik.
“Kesempurnaan seseorang bukan karena kelahiran, keturunan, dan golongan, tetapi
kesempurnaan seseorang diperoleh dengan pelaksnaan sila yang sempurna,
pengertian benar, perhatian murni, menjaga indera, dan merasa puas dengan kebutuhan
pokok (D.I.99).
Individu yang
telah memutuskan untuk memasuki perkawinan atau kehidupan berkeluarga menerima
segala konsekuensi dari pernikahannya. Persiapan-persiapan yang harus dimiliki
oleh calon suami dalam membentuk keluarga bahagia yaitu: (1) mempunyai
identitas sebagai laki-laki, (2) dapat memberikan kasih sayang kepada seorang
wanita, (3) dapat mempercayai calon istri, (4) mempunyai integritas kepribadian
yang matang, mental dan fisik yang sehat, (5) mempunyai mata pencaharian yang
benar, (6) bersedia membagi kebahagiaan dengan calon istri, (7) siap menjadi
ayah yang bertanggung jawab (Widya, 1996:6).
Dalam memasuki
kehidupan perkawinan, laki-laki telah memiliki pekerjaan yang baik dan mantap
serta mempunyai penghasilan yang layak (Wijaya-Mukti, 2003:348).
2.
Peran Suami Terhadap Keluarga
Sebagai
kepala keluarga suami mempunyai kewajiban dan tanggung jawab terhadap ekonomi
anggota keluarga dengan tujuan untuk mencapai kesejahteraan hidup. Selain
menjalankan kewajibannya, suami dalam keluarga juga memiliki peran yang sangat
penting yaitu:
a.
Sebagai Kepala Keluarga
Suami memiliki tanggung jawab dalam membahagiakan keluarga. Sebagai
kepala keluarga suami memiliki tanggung jawab untuk bekerja dan mencari nafkah
dengan segala kemampuan yang dimiliki untuk memenuhi kebutuhan hidup
keluarganya. Masalah yang terjadi dalam pekerjaan, tidak dibawa ke dalam rumah,
karena akan membawa permasalahan dalam keluarga yang akan membawa keruntuhan
yaitu: (1) suka menggoda wanita lain, (2) suka bermabuk-mabukan, (3) suka
berjudi, (4) suka bergaul dengan orang jahat dan akrab dengan orang jahat (A.IV.283).
Bagi kepala keluarga ada empat Dhamma
yang wajib untuk dimiliki, yaitu: (1) Sacca, kejujuran dan selalu
menepati janji kepada orang lain, (2) Damma, pengendalian pikiran yang
baik, (3) Khanti, kesabaran dalam menghadapi setiap persoalan sulit, (4)
Cäga, kemurahan hati terhadap mereka yang pantas
untuk diberi (S.I.215). Buddha bersabda bahwa perumah tangga yang penuh
keyakinan yang memiliki empat keluhuran yaitu: Kejujuran, kebaikan, semangat
dan kedermawanan tidak akan menyesal setelah meninggal (Sn.188).
Sebagai kepala keluarga
kebijaksanaan merupakan landasan dalam melakukan segala hal dengan pemahaman
terhadap ajaran Sang Buddha dan akan semakin berkembang terus dengan
pelaksanaan sila dan pengembangan batin. Tanpa kebijaksanaan sebagai landasan,
suami akan menyebabkan kemerosotan dan kehidupan keluarga tidak akan bahagia.
”Seharusnya seseorang bertemu dengan orang bijaksana yang dapat
menunjukkan kesalahan-kesalahan dan memberikan peringatan, seperti orang yang
menunjukkan tempat tersimpannya harta karun. Dengan orang seperti itulah
seharusnya seseorang bergaul. Pergaulan yang demikian akan membawa kebaikan,
bukan kemerosotan” (Dh.VI.1).
2. Sebagai Pemimpin Keluarga
Tatanan kehidupan keluarga yang penuh dengan perubahan dalam kehidupan
bersosial maupun diri sendiri perlu adanya hubungan dan kerjasama yang baik.
Dimana kehidupan keluarga yang terdiri dari masing-masing individu sifatnya
berbeda-beda sehingga memerlukan adanya pemimpin. Dalam keluarga suami
bertanggung jawab untuk dijadikan sebagai pemimpin untuk mengatur tatanan
kehidupan rumah tangga dalam mencapai suatu tujuan yang diharapkan.
Suami sebagai pemimpin wajib membuat peraturan yang perlu bagi semua
anggota keluarga dan juga ikut mentaati aturan-aturan yang dibuat dengan tujuan
semua anggota keluarga menuruti. Peraturan dan hukuman yang dibuat harus
bertindak dengan penuh kesabaran dan kebijaksanaan berdasarkan pada perasaan
cinta kasih dan kasih sayang (Sarumpaet, 1993:90).
Sebagai pemimpin dalam keluarga, suami hendaknya paham tugas-tugasnya
menjadi pemimpin. Pemimpin dibutuhkan jiwa yang berpandangan luas, bijaksana,
dewasa dan adil. Menurut Buddha, ada sepuluh kewajiban yang harus dipenuhi oleh
seorang pemimpin yaitu: pertama memiliki sifat kedermawanan (dana),
dalam pemerintahan seorang pemimpin bertanggung jawab memelihara dan
meningkatkan kesejahteraan rakyat. Suami sebagai pemimpin mempunyai tanggung
jawab untuk mensejahterakan semua anggota keluarga termasuk anak, istri dan
orang tua, kedua memiliki moral yang baik (síla), memiliki budi yang luhur dan pantas dijadikan teladan, suami akan
memperoleh penghormatan dan kepercayaan dari anggota keluarga, keempat bersedia
berkorban (pariccaga), mementingkan kepentingan keluarga daripada
kepentingan pribadi. Bekerja mencari nafkah bertujuan bukan untuk kepentingan
sendiri, keempat integritas atau ketulusan hati, jujur, dapat dipercaya (ajjava), dengan kejujuran dalam pikiran, ucapan dan perbuatan bisa mewujudkan
keluarga yang bersih, kelima bersikap menyenangkan (maddava), kebaikan
hati tidak mengabaikan tanggung jawab dan keadilan, keenam, menjalankan hidup
sederhana (tapa), kesederhanaan tentu menuntut kemampuan untuk
mengendalikan diri dan menjalankan disiplin mental, ketujuh sampai kesembilan,
tanpa amarah (akkodha), tanpa kekerasan (avihimsa), dan kesabaran
(khanti) saling berhubungan. Amarah pemimpin yang kurang sabar dapat
menyusahkan dan mudah menimbulkan kekerasan, perasaan bermusuhan atau
kebencian dan itikad buruk harus
dikalahkan dengan cinta kasih, kesepuluh, tidak boleh bertentangan dengan
kebenaran atau melawan kehendak rakyat (avirodhana), suami sebagai
pemimpin diharpakan tidak melawan kehendak anggota keluarganya (Wijaya-Mukti,
2003:503-504).
Buddha tidak mewariskan kekuasaan dengan menunjuk seseorang untuk
menjadi pemimpin, yang diamanatkan adalah agar pengikutnya menyadarkan diri
kepada ajaran dan hukum kebenaran yang dinamakan Dharma, maka setiap
orang menjadi pemimpin dan pelindung bagi dirinya sendiri (D.II.100).
Sebagai pemimpin dalam keluarga, suami harus memberi contoh yang baik serta
dapat mengarahkan seluruh anggota keluarga untuk menuju kehidupan yang baik
sesuai dengan Dhamma dan Vinaya.
Kebahagiaan keluarga akan tercipta, dengan adanya hubungan yang
harmonis antar anggota keluarga dan kemampuan suami dalam menjalankan semua
kewajiban dengan penuh tanggung jawab serta diharapkan mempunyai perilaku yang
baik sebagai seorang pemimpin dalam keluarga.
3.
Sebagai Penyokong
Asumsi kewajiban suami sebagai penyokong atau pemberi nafkah keluarga
merupakan tugas dan tanggung jawab suami sebagai kepala keluarga. Memberi
nafkah meliputi pemberian nafkah batin yaitu suami wajib melindungi semua
anggota keluarga dari berbagai ancaman dan dapat memberikan keamanan,
ketentraman dan dapat memberikan kepuasan secara psikologis. Kedua, pemberian
nafkah materi yaitu bahwa suami adalah penyokong bagi keluarganya dengan cara
memberikan penghidupan yang layak kepada seluruh anggota keluarga sesuai dengan
haknya serta memenuhi segala kebutuhan anak dan istri serta orang tua
(Sarumpaet, 1993:90). Buddha menyatakan sebagai kepala keluarga suami wajib
menyokong dan merawat kedua orang tua, membahagiakan anak dan isteri, memiliki
pekerjaan yang bebas dari pertentangan, itu merupakan perbuatan tertinggi yang
menjamin keberhasilan (Sn. 262).
Sebagai suami hendaknya mengetahui tangung jawabnya sebagai penyokong,
sebagai kepala keluarga wajib memiliki penghasilan yang secukupnya supaya dapat
memenuhi kebutuhan keluarganya. Kehidupan keluarga tidak terlepas dari persoalan ekonomi, maka
laki-laki yang akan menikah diharapkan memiliki pekerjaan yang mapan. Laki-laki
yang sudah menjadi suami hendaknya siap dalam berbagai hal termasuk kesiapan pekerjaan dan kedewasaan. “Kedewasaan jiwa orang dewasa
perlu diperhatikan untuk menumbuhkan rasa saling membutuhkan, bukan saling
menggurui. “Buddha menyatakan bahwa seseorang dituakan bukan karena usia tapi
karena kebijaksanaan” (A.II.22).
Perkembangan zaman yang semakin modern menuntut kaum laki-laki (suami)
untuk terus maju serta bekerja keras dalam memenuhi kebutuhan keluarga. Suami
mempunyai tanggung jawab yang penting dalam keluarga sebagai tulang punggung
yang diharapkan mampu memenuhi kebutuhan hidup.
Dengan memenuhi kewajiban terhadap masyarakat lewat pekerjaan yang
dikerjakan, seseorang akan mendapat nafkah sebagai imbalan (Hart, 1986:86).
Rajin serta bersemangat dalam bekerja akan mendukung terpenuhinya kebutuhan
keluarga. Buddha menegaskan jika seseorang sungguh-sungguh bekerja, menjalankan
kewajiban, selalu waspada, murni dalam tingkah laku, terkendali inderanya, dan
sadar hidup sesuai dengan Dhamma, maka kemuliaan akan bertambah (DhA.I.238).
Penghasilan yang dikumpulkan dengan semangat
akan memperoleh kekayaan materi, dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup
sekarang dan pada saat fisik sudah tidak mampu bekerja lagi atau masa tua.
Buddha bersabda ”Seseorang yang tidak menjalani kehidupan suci, di masa muda
dan tidak berusaha mencari harta benda, maka diusia lanjut akan menderita
seperti seekor bangau tua yang hidup dalam telaga kering” (Dh.156).
Buddha mengajarkan kepada umatnya yang menjalani kehidupan rumah tangga
untuk menjalankan penghidupan yang benar dalam mencari nafkah. Mata pencaharian
(samma ajiva) prinsip bertindak benar dan lurus sesuai dengan usaha
suami dalam memenuhi kebutuhan hidup. Hal ini memiliki arti bahwa usaha yang
dijalani tidak mencelakakan dan menyakiti makhluk lain atau membuat makhluk
lain menderita. ”Ada lima macam usaha
yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh suami (micchavanijja) yaitu:
berdagang senjata (sattha vanijja), berdagang makhluk hidup (satta
vanijja), berdagang hewan atau hasil dari penganiyaan makhluk lain (mamsa
vanijja), berdagang minuman yang memabukkan (majja vanijja), dan
berdagang racun (vissa vanijja)” (A.III.207).
4. Sebagai Pelindung
Krisis ekonomi menyebabkan orang memiliki keinginan-keinginan jahat,
terjadi pembunuhan, penganiayaan, dan perampokan tidak asing lagi kita lihat
dimedia-media. Untuk menjaga keluarga dari bahaya, suami perlu menjadi
pelindung untuk melindungi keluarga dari ancaman-ancaman dan gangguan luar.
Suami berwibawa dimata istri yaitu suami yang mampu melindungi keluarga
dari bahaya, demikian juga seorang anak mengakui wibawa orang tuanya apabila
anak merasa terlindungi, memperoleh cukup perhatian dan merasakan kehangatan
cinta kasih mereka. Suami menjadi tidak berwibawa jika mengabaikan kepentingan
anak dan istri, maka sudah tidak bisa dipercaya. Dengan melindungi orang lain,
anda melindungi diri sendiri (Sri Dhammananda, Tanpa Tahun:72).
Suami sebagai pelindung juga tidak hanya melindungi anggota keluarganya
saja, tetapi kekayaan juga wajib untuk dilindungi. Menjaga kekayaan suami
hendaknya hidupnya seimbang “Dimana
pengeluaran dan penghasilan harus seimbang, sehingga tidak terguncang
pasang surutnya penghasilan (A.III.6.53). Dalam melindungi kekayaan
suami tidak boros dan tidak boleh kikir, jadi kekayaan harus digunakan
sebagaimana mestinya, untuk merawat anggota keluarga. Merawat ayah dan ibu,
anak, istri dan pembantu sehingga mereka bahagia (A.III.45).
Buddha bersabda Sesungguhnya diri sendiri adalah pelindung bagi dirinya
sendiri, karena siapa pula yang dapat menjadi pelindungnya? Dengan
mengendalikan dirinya sendiri, ia akan
memperoleh perlindungan yang sungguh sukar dicari (Dh.160). Nasib
seseorang ditentukan oleh dirinya sendiri “Bukan Ibu atau ayah ataupun sanak
keluarga yang dapat melakukannya, melainkan pikiran sendiri yang diarahkan
secara benar yang akan mengangkat derajat seseorang (Dh.43). Sedikit
atau banyak setiap individu dapat bergantung dan merasa terlindung dalam
keluarganya, ketika kematian menjemput
tidak ada orang lain yang mampu melindunginya (Dh.288).
C. Tanggung Jawab Suami Terhadap
Keluarga Menurut Pandangan Agama Buddha
Suami
sebagai kepala keluarga memiliki kewajiban dan tanggung jawab sangat penting
yaitu mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup baik secara spiritual
maupun materiil. Keluarga yang selalu rukun, bahagia, sejahtera dimana seorang
suami mengerti kewajibannya sebagai suami maka akan terbentuk keluarga yang
bahagia. Suami adalah pengikat rumah tangga, mengendalikan seluruh isi keluarga
dengan cinta yang berdasarkan pada ajaran agama. (Sarumpaet, 1993:16).
Kehidupan
berkeluarga mendapat kebahagiaan bersama diperlukan adanya pengertian
tentang kewajiban dan tanggung jawab
dari setiap anggota keluarga. Setiap anggota keluarga hendaknya selalu
menanamkan dalam pikirannya dan melaksanakan dalam kehidupannya Sabda Sang
Buddha yang berkenaan dengan pedoman dasar munculnya hak dan kewajiban yaitu :
“Sebaiknya orang selalu bersedia terlebih dahulu memberikan pertolongan sejati
tanpa pamrih kepada pihak lain dan selalu berusaha agar dapat menyadari pertolongan
yang telah diberikan pihak lain kepada diri sendiri agar muncul keinginan untuk
menanam kebajikan kepadanya” (A.I.87).
1.
Pelaksanaan Tanggung Jawab Suami Terhadap Keluarga
Tanggung jawab suami merupakan kewajiban
laki-laki yang sudah menikah memiliki usaha untuk mencapai kehidupan rumah
tangga yang bahagi, dengan menggunakan segala kemampuan dalam memenuhi
kebutuhan spiritual maupun material. Sebagai kepala keluarga suami wajib
memiliki penghasilan yang cukup untuk memenuhi segala kebutuhan keluarga
(Widya, 1996:22).
Dalam menjalani
kehidupan rumah tangga, suami memiliki kewajiban bekerja dengan segala
kemampuan untuk mencari nafkah dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.
Buddha memberikan ajaran (Dhamma) yang perlu diselami oleh suami sebagai kepala
keluarga yang terdapat dalam Mahä Manggala Sutta syair kelima, sebagai berikut:“Mätäpitu upatthänam, Puttadärassa
sangaho, Anäkulä ca kammantä, Etam manggalamuttamam” Artinya menyokong dan
merawat ayah dan ibu, membahagiakan anak dan isteri, memiliki pekerjaan yang
bebas dari keruwetan, Itu berkah Utama (Khp.3).
a.
Menyokong dan Merawat Ayah dan Ibu
“Matapitu upatthana” berarti memberi bantuan yang cukup, menjaga dan
merawat dengan baik ayah dan ibu. Suami dalam keluarga mempunyai kedudukan
sebagai kepala keluarga, , tetapi dalam keluarga besarnya masih sebagai anak
yang wajib untuk membahagiakan orang tua. Suami harus tetap berhubungan erat
dengan kedua orang tuanya meskipun telah dewasa, telah menikah, dan mempunyai
keturunan, berkewajiban untuk berbakti kepada ayah dan ibu serta kedua
mertuanya. Orang tua dipuja karena telah berbuat banyak untuk anak-anaknya,
membesarkan, memelihara, dan memperkenalkan mereka kepada dunia luar. Ayah dan
ibu dihormati dan dijunjung laksana Dewa Brahma, laksana guru bijaksana, yang
patut mendapat persembahan (A.II.69).
. Sigalovada Sutta menjelaskan bahwa meskipun sudah berumah
tangga dan bertanggung jawab terhadap keluarga, juga berkewajiban memperlakukan orang tuanya dengan cara: (1)
menyokong mereka dihari tuanya, (2) melaksanakan tugas-tugas kewajibanku
terhadap mereka, (3) menjaga baik-baik garis keturunan dan tradisi keluarga,
(4) membuat dirinya panyas untuk menerima warisan, dan (5) melimpahkan pahala
kebajikan kepada orang tua dan sanak keluarganya yang telah meninggal (D.III.189).
Mengasihi dan melayani ayah dan ibu adalah kebahagiaan (Dh.332).
Ibu dan ayah merupakan orang-orang yang sangat berjasa bagi anak, yang
telah melindungi anaknya dari mara bahaya pada saat tidak berdaya,
memberi makan, minum, dan tempat berteduh sebelum bisa mencari nafkah sendiri,
mengajari hal-hal yang baik dan menjauhkan dari hal buruk. Memberi ketrampilan
dan pendidikan dengan tujuan bisa hidup mandiri dalam mencari nafkah. Sebagai
balas budi jasa orang tua, sebagai anak suami setidaknya menyokong orang tua
dimasa tuanya, meskipun sebenarnya jasa orang tua tidak bisa terbalas oleh
anak-anaknya. Ayah dan ibu mertua juga harus dipandang sebagai orang tua
sendiri, dan keduanya juga layak untuk dihormati.
Melakukan tugas-tugas kewajiban
terhadap orang tua merupakan hal yang sangat penting untuk
dilaksanakan anak. Anak mempunyai kewajiban untuk menyenangkan dan
membahagiakan orang tua, bila perlu mengorbankan kesenangan atau kepentingan
sendiri demi orang tua. Menjaga baik-baik garis keturunan dan tradisi keluarga
merupakan kewajiban anak untuk melakukannya. Tradisi keluarga yang tidak
bertentangan dengan Dhamma dipertahankan dan dijaga dengan baik. Memperhatikan
sanak keluarga dan membantu mereka akan membawa berkah. Memelihara garis
silsilah dan tradisi keluarga berarti tidak menghamburkan harta benda keluarga,
memperbaiki integritas dan kehormatan keluarga serta tetap
mempersembahkan dana untuk kepentingan keagamaan setelah orang tua meninggal
wajib untuk dilanjutkan.
Berusaha untuk hidup sesuai
dengan Dhamma. Menghindari hal-hal yang buruk, tidak bergaul dengan orang
jahat, bergaul dengan para bijaksana, bersikap dewasa dalam berpikir dan
bertindak, sehingga kedua orang tuanya menilai bahwa anak tersebut layak
menerima warisan dari mereka.
Bisa mengurus persembahyangan
kepada sanak keluarga yang telah meninggal dunia, maksudnya melakukan pattidana
atau melakukan perbuatan jasa misalnya: (1) mempersembahkan makanan,
jubah, obat-obatan kepada anggota sangha, (2) banyak berdana kepada korban
bencana alam dan panti sosial, (3) melepaskan binatang-binatang yang akan mati
dibunuh, (4) mencetak buku-buku Dhamma kemudian dibagikan kepada individu yang
membutuhkan, (5) berdana untuk pembangunan atau pemeliharaan vihara, (6)
melaksanakan meditasi dan perbuatan baik lainnya (Widya, 1996:40).
b. Membahagiakan Anak dan Istri
Setiap Individu mengetahui bahwa membahagiakan anak dan istri sudah
selayaknya dilakukan suami, kadangkala sering juga mendengar bahwa banyak suami
yang menelantarkan atau pergi meninggalkan anak dan istri. Dalam Sigalovada
Sutta, Buddha mengajarkan kepada Sigala tentang kewajiban-kewajiban suami
terhadap keluarganya. Segala sesuatu yang dapat membantu kehidupan anak dan
istri yang sesuai dengan Dharmma adalah suatu berkah karena perbuatan itu
adalah karma baik yang membuahkan kebahagiaan (Rashid, 1997:78-79).
1) Anak
Keluarga merupakan suatu kelompok yang terkecil dalam lingkungan
masyarakat dan pertama kali anak mendapatkan latihan-latihan yang diperlukan
dalam kehidupannya (Partowisastro, 1983:67). Melalui keluarga anak sejak dini
ditanamkan watak, kepribadia, budi pekerti, sistim nilai, moral dan sikap bagi
anak dengan harapan tumbuh berkembang menjadi individu yang memiliki nilai
luhur dalam dirinya (Eka Susila dkk, 1987:68).
Peran suami dalam keluarga sebagai orang tua mempunyai tanggung jawab
untuk memenuhi kebutuhan hidup dan memberikan pendidikan moral yang baik kepada
anak. Suami sebagai orang tua, tanggung jawab kepada anak ditunjukkan dalam
bentuk merawat dan mendidik. Tugas merawat dan mendidik anak tidak hanya
dilakukan oleh istri saja, suami juga memiliki tanggung jawab penting dalam
menuntun anak-anaknya kejalan yang benar dan menghindari jalan yang keliru.
Anak diharapkan mampu membedakan antara apa yang baik dan apa yang salah, boleh
atau tidak boleh serta memiliki perbuatan yang terpuji sesuai harapan
masyarakat. Seperti Buddha mengajarkan “orang bijaksana dapat memilih yang baik
dan menghindari yang buruk” (Dh.268).
Anak pada usia tertentu membutuhkan cinta, perhatian, kasih sayang dan
bimbingan dari orang tua. Tanpa kasih sayang dan bimbingan dari orang tua anak
akan menjadi cacat mental dan akan menemukan bahwa dunia ini adalah tempat yang
keras untuk didiami. Mencurahkan perhatian bukan berarti memenuhi semua
permintaan anak, terlalu memanjakan sebenarnya akan merusak anak. Suami sebagai
orang tua dalam memberikan kasih dan sayangnya, harus tegas dan disiplin tetapi
tidak kasar dalam menghadapi kemanjaan anak. Tunjukkanlah rasa cinta anda
dengan kedisiplinan dan anak akan mengerti (Dhammananda, Tanpa Tahun:89-90).
Sebagai orang tua yang bijaksana membangun kewibawaannya sendiri dengan
menunjukkan tingkah laku dan memberikan contoh-contoh perbuatan yang baik dalam
kehidupan sehari-hari kepada anak serta menghindari perbuatan yang tercela.
Orang tua yang sering membohongi anaknya akan mendapatkan hal yang sama dari
anak-anaknya sendiri. Menganggap anak sebagai sahabat sangat dikagumi dan
dihormati anak-anak, orang tua bukan sebagai diktator yang hanya memberikan
peringatan dan peraturan-peraturan yang harus dipatuhi, perhatian dan kasih sayang
dari orang tua sangat penting untuk menanamkan tingkah laku dan moral yang baik
bagi anak (Sarumpaet, 1993:92).
Buddha menjelaskan dalam Sigalovada Sutta kewajiban suami sebagai orang
tua yang harus dilaksanakan terhadap anaknya adalah: (1) mencegah anak berbuat
jahat, (2) menganjurkan anak untuk berbuat baik, (3) memberikan pendidikan
profesional kepada anak, (4) mencarikan pasangan yang sesuai untuk anak,
(5)menyerahkan harta warisan kepada anak pada saat yang tepat (D.III.189).
Mencegah anak untuk tidak berbuat jahat adalah sangat penting, karena
kecerdasan, kepandaian dan kekayaan anak akan sia-sia jika anak selalu
melakukan kejahatan dan merugikan orang lain. Rumah merupakan sekolah pertama
bagi anak, dan orang tua merupakan guru yang pertama bagi anak. Anak belajar
tentang baik dan buruk tentang budi pekerti paling awal dari orang tua. Orang
tua yang membohongi, mempermainkan, menipu dan menakut-nakuti apalagi sampai
menyiksa anak merupakan orang tua yang tidak bijaksana. Kejadian yang terjadi akan
terus membekas pada diri anak dan akan mempengaruhi prilaku anak. Orang tua
wajib bertingkah laku yang baik supaya anak-anaknya patuh dan menjadikan orang
tuanya sebagai suri tauladan. Suami sebagai orang tua kepada anak-anaknya wajib
menanamkan perasaan malu (hiri) untuk melakukan perbuatan jahat dan
takut (ottapa) akan akibat dari perbuatan jahat. Suami harus sering
memberi petunjuk, nasehat dan hukuman apabila anak melakukan kesalahan, dan
yang paling penting adalah memberikan contoh tauladan (Widya, 1996:31).
Suami sebagai orang tua merupakan guru dirumah bagi anak, menganjurkan
anak berbuat baik merupakan hal yang sangat bermanfaat bagi anak maupun bagi
lingkungannya. Memberikan pengertian moral maupun spiritual akan mendidik anak
untuk tidak melakukan perbuatan jahat. Dalam spiritual anak sebaiknya diberikan
dasar-dasar dari pancasila Buddhis untuk menanamkan perasaan kasih sayang,
kejujuran dan sopan santun. Anak
setidaknya diajari jujur dalam mengakui kesalahan yang dilakukan,
jauhkan dari minum-minuman keras dan anjurkan untuk bergaul dengan
sahabat-sahabat yang baik.
Suami sebagai orang tua wajib memberikan pendidikan profesional kepada
anak karena pendidikan merupakan warisan yang paling berharga. Melatih dan
mengajarkan anak memilikikepandaian dan ketrampilan agar anak mempunyai profesi
yang dapat diandalkan, sebagai modal untuk mandiri agar suatu saat bisa mencari
nafkah.
Mencarikan pasangan yang sesuai tidak diharuskan dalam agama Buddha,
karena anak bisa memilih hidup sebagai samana atau ingin hidup berumah tangga.
Dalam memilih pasangan suami atau istri diharapkan bisa memilih pasangan yang
baik, sehingga bisa tercipta rumah tangga yang bahagia. Pasangan hidup yang
baik yaitu keduanya harus memiliki keyakinan (saddha), moral (sila),
kemurahan hati (caga) dan kebijaksanaan (panna) yang sebanding
sehingga akan mencipatakan kehidupan keluarga yang bahagia dan sejahtera.
Orang tua memilihkan pasangan hidup untuk anaknya menilai terlebih
dahulu, apabila keduanya sama-sama memiliki keyakinan, memiliki etika atau
moral yang baik, memiliki pendidikan, jika wanita diharapkan memiliki
ketrampilan, kematangan emosional dan kebijaksanaan, jika laki-laki sudah
memiliki pekerjaan dan tanggung jawab serta kebijasanaan bisa untuk dijadikan
sebagai pasangan hidup (Widya, 1996:3).
Suami sebagai orang tua sebaiknya tidak hanya mengasuh dan membesarkan
anak-anaknya saja, mempersiapkan anak kelak dapat hidup dalam kesenangan dan
kebahagiaan setelah dewasa merupakan tanggung jawabnya. Memberikan atau
membagikan kekayaan kepada anak apabila sudah tiba waktunya merupakan salah
satu kewajiban orang tua yang dapat dilakukan. Bukan berarti anak mendapat
warisan tidak mau bekerja, tetapi warisan yang diberikan benar-benar untuk
dimanfaatkan sebagai modal usaha untuk kelangsungan hidup demi masa depan.
2) Istri
Keluarga inti terdiri dari suami dan istri. Keluarga merupakan
perserikatan hidup antara manusia yang paling kecil dan mendasar, yang terdiri
dari dua orang dewasa yang berlainan jenis kelamin (Pecks, 1991:20). Hubungan suami
dan istri dalam keluarga, menekankan adanya hubungan timbal balik, saling
mengisi pada kewajiban dan tanggung jawab masing-masing. Suami tidak hanya
bertugas mencari nafkah dan istri berkerja untuk mengurus keluarga, tetapi
keduanya harus saling mendukung agar bisa tercapai kebahagiaan bukan hanya
dalam kehidupan sekarang tetapi dalam kehidupan yang akan datang selalu bisa
terus bersama-sama. Buddha bersabda:
“Apabila sepasang suami istri ingin selalu
bersama-sama dalam kehidupan sekarang ini dan dalam kehidupan yang akan datang,
keduanya memiliki keyakinan (saddhä) yang sebanding, moral (síla) yang sebanding, kemurahan hati (cäga) yang sebanding, dan kebijaksanaan (pañña) yang sebanding. Demikianlah di dunia ini, hidup
sesuai tuntunan Dharma, pasangan suami istri yang sepadan kebaikannya, di alam
dewa bersuka-cita mencapai kebahagiaan yang mereka idam-idamkan” (A.II.61).
Faktor-faktor yang dapat menopang kehidupan keluarga bahagia
sebagai berikut:(1)
Saling setia, (2) Saling percaya, (3) Saling menghormati, (4) Saling mengalah,
(5) Saling membantu, (6) Sikap bersahabat, (7) Saling memelihara komunikasi
(Widya, 1996:17).
Kesetiaan merupakan masalah yang sangat penting
karena sebagai salah satu faktor yang dapat menopang keutuhan keluarga. Perlu
memiliki kejujuran untuk memelihara kesetiaan dalam perkawinan, semakin lama sukar mencari suami
yang jujur. Kejujuran merupakan landasan dari sikap saling percaya diantara sepasang suami istri.
Suami istri diharapkan tidak memiliki rahasia, sehingga istri selalu percaya dengan suaminya
atau sebaliknya. Kepala rumah tangga mampu menjalankan
tugas dan kewajibannya, merasa puas
dengan istri dan menghindari bentuk-bentuk pergaulan yang mengarah pada
kekerasan dan kriminal. Begitu juga istri merasa puas dengan suami dan setia
melayani kebutuhan anggota keluarga dengan baik.
Suami istri saling menghargai dan menghormati merupakan pilar yang lain. Perlu disadari bahwa antara suami dan
istri dapat dipastikan masing-masing memiliki kelemahan. Tetapi keduanya harus
memahami kelemahan masing-masing dan saling mengerti, sehingga antara suami dan istri saling
menghormati supaya tercapai keluarga yang bahagia.
Sikap mengalah merupakan pilar lain yang sangat
penting untuk dipelihara dalam sebuah keluarga yang dibentuk atas dasar cinta kasih
diantara anggota keluarga sehingga konflik yang mungkin timbul dalam keluarga dapat dihindari.
Mengalah bukan berarti kalah tujuannya supaya kehidupan dalam keluarga tetap bahagia dalam pimpinan suami.
Setiap orang mempunyai kelemahan, sebagai pemimpin
suami harus siap membantu istri bila dalam kesulitan. Suami harus membantu,
melengkapi sehingga segala kesulitan hidup dalam keluarga terasa lebih ringan untuk dipikul bersama.
Pada dasarnya suami istri adalah sepasang sahabat
atau teman, persahabatan perlu dipelihara dengan baik agar keharmonisan keluarga dapat tetap dipertahankan dalam
waktu yang relatif lama. Sebagai sahabat yang baik akan saling percaya, membantu, memperingatkan dalam
setiap situasi sahabat sejati tidak akan meninggalkan temannya di dalam
kesulitan.
Sering berkomunikasi dalam keluarga sangat
penting untuk membina saling percaya dalam mencapai kebahagian dalam keluarga
supaya terus terjaga. Suami sebagai kepala keluarga tidak boleh terputus hubungan dengan anggota
keluarganya karena akan menyebabkan keluarga tidak harmonis (Widya,
1996:17-20).
Kehidupan keluarga antara suami istri harus saling hormat menghormati,
mengerti hak dan kewajibannya masing-masing. Menurut Sigalovada Sutta kewajiban
yang wajib untuk dilaksanakan suami sebagai rasa cinta kepada istrinya
yaitu:(1) menghormati isterinya, (2) bersikap lemah lembut terhadap isterinya,
(3) bersikap setia terhadap istrinya, (4) memberikan kekuasaan tertentu kepada
isterinya, (5) memberikan atau menghadiahkan perhiasan kepada istrinya (D.III.190).
Dalam perkawinan yang sesungguhnya, pria dan wanita lebih banyak
berpikir tentang kerjasama daripada berpikir mengenai diri sendiri. Perkawinan
merupakan perumpamaan sepeda yang dibuat untuk dikayuh bersama. Perasaan aman
dan kepuasan datang dari rasa saling percaya. Ketidaksabaran dan kesalahpahaman
yang seringkali bertanggung jawab dalam keretakan rumah tangga. Istri bukanlah
pembantu bagi suami. Istri berhak untuk dihormati sejajar dengan suami,
meskipun suami mempunyai kewajiban untuk mencari nafkah, membantu pekerjaan
rumah tangga sehari-hari tidak akan merusak “kejantanan” seorang suami.
Sebaliknya juga istri yang terus menggerutu dan merengek tidak akan membantu
mengatasi kesulitan. Perasaan curiga terhadap suami tidak akan membuat
perkawinan menjadi lebih bahagia. Jika suami mempunyai kelemahan maka hanya
toleransi dan kata-kata menghibur yang akan membantunya. Pengertian benar dan
moralitas yang baik adalah sisi praktik nyata kebijaksanaan (Dhammananda, Tanpa
Tahun:52).
Suami melakukan sikap lemah lembut kepada istri harus berdasarkan pada
dua macam Dhamma (Sobhanakarana Dhamma) yaitu: (1) suami harus tetap
sabar (khanti) yaitu dapat menahan diri secara wajar pada waktu
menghadapi hal-hal yang tidak diinginkan misalnya mempunyai kesabaran pada
waktu menghadapi rasa capai, sakit, lapar atau haus jangan sampai istri
dijadikan sebagai pelampiasan dalam kemarahan, (2) sikap yang tetap tenang (soracca),
tetap melaksanakan pekerjaan dengan biasa tanpa memperdulikan hal-hal yang
menyakitkan (Panjika, 2004:31). Apabila dalam kehidupan rumah tangga mengalami
kegoncangan, suami harus bisa bersikap tenang berusaha meluruskan permasalahan
yang terjadi dalam keluarga agar tercipta keharmonisan.
Suami dan istri harus jujur satu sama lain, saling setia dan memiliki
komitmen. Saling setia sepanjang waktu dan dimanapun juga, tanpa saling
menyimpan rahasia, terbuka dan lurus satu sama lain dengan hati murni dan
setia. Jika suami setia terhadap istri, maka kemanapun suami pergi istri tidak
akan menderita karena perasaan cemas atau tidak percaya. Keluarga yang bertahan
karena jujur, setia dan memiliki komitmen satu sama lain akan selalu membawa
kebahagiaan. Merasa puas dengan satu suami atau satu istri, tidak ada wanita
atau pria idaman lain
Kekhawatiran istri terhadap suami yang sedang pergi lebih buruk
daripada seratus makhluk halus yang bangkit dari liang kubur untuk
mengoyak-ngoyak tubuh sampai berantakan. Jika suami harus pergi lama,
kepergiannya harus berlandaskan tujuan demi kebahagiaan dan kesejahteraan
keluarga atau orang banyak (Nanasampanno, 2005:28-29)
Dasar perkawinan ditandai dengan perasaan cinta antara suami dengan
istri. Akar dari cinta adalah saling pengertian dan bukan hawa nafsu. Cinta
muncul dalam wujud kesetian, bukan pada kesenangan. Jika suami dan istri hanya
mengembangkan hawa nafsu dan cinta yang egois, maka tidak akan bertahan lama,
kemudian pada waktunya hanya akan mendapatkan kekecewaan dan penderitaan.
Beberapa wanita (istri) mungkin merasa bahwa untuk berkonsentrasi dan
memperhatikan keluarga serta anak-anak merupakan sesuatu yang kuno dan konservatif.
Memang benar bahwa pada zaman dahulu istri telah diperlakukan dengan sangat
buruk, tetapi semua ini terjadi lebih disebabkan kurangnya perhatian suami
daripada kelemahan pada istri. Kata Sanskrit bagi ibu rumah tangga
adalah “Gruhini” yang secara harafiah berarti “pemimpin di rumah”,
secara tidak langsung suami sudah memberikan kekuasaan kepada istri dalam hal
mengurus keluarga, tidak berarti bahwa istri itu interior tetapi lebih berarti
sebagai pembagian tanggung jawab bagi suami dan istri.
. Suami harus dapat memastikan bahwa dirinya mampu menjaga dan
memperhatikan istrinya dengan benar, selalu meminta pertimbangan dalam
mengambil keputusan keluarga, dan istri mempunyai kebebasan untuk menegmbangkan
karakteristik dan waktu luang dapat melakukan hobinya. Dengan demikian suami
istri sama-sama bertanggung jawab bagi kesejahteraan keluarga dan tidak saling
bersaing (Dhammananda, Tanpa Tahun:94).
Perkawinan adalah sebuah anugerah, tetapi banyak orang yang mengubahnya
menjadi neraka. Kemiskinan dalam keluarga bukanlah penyebab utama keretakan
perkawinan, baik suami maupun istri harus belajar untuk membagi suka dan duka
dalam kehidupan sehari-hari. Saling mengerti adalah rahasia kehidupan keluarga
yang bahagia. Suami juga berkewajiban memberikan perhiasan kepada istri sesuai
dengan kemampuannya, dengan kata lain istri berhak mendapatkan perhatian atau
perlakuan yang khusus sebagai tanda kasih dari suaminya (Wijaya-Mukti, 2003:
343).
Hubungan antara suami istri butuh adanya pengorbanan, dengan
membahagiakan istri, suami akan menerima kebahagiaan bagi dirinya sendiri.
Dalam perkawinan cinta membutuhkan pengorbanan, tanpa pengorbanan perkawinan
akan berakhir dengan kegagalan (Wijaya-Mukti, 2003:341-342).
Untuk membalas cinta kasih dari suaminya, istri juga harus melaksanakan
kewajibannya yaitu: (1) kewajiban-kewajibannya dilakukan dengan sebaik-baiknya,
(2) berlaku ramah tamah kepada sanak keluarga dari kedua belah pihak, (3) setia
kepada suaminya, (4) menjaga baik-baik barang-barang yang dibawa suaminya, (5)
pandai dan rajin dalam melaksanakan semua pekerjaanya (D.III.190).
Untuk menjaga keharmonisan keluarga ada
beberapa contoh seperti yang
dinasehatkan oleh Dhananjaya kepada Visakha putri kesayangannya.
Nasehat-nasehat yang diberikan yaitu: (1) tidak membawa keluar api yang ada di
dalam rumah. Maksudnya tidak boleh menceritakan keburukan dan kekurangan suami dan mertuanya, (2) tidak membawa masuk
api dari luar ke dalam rumah. Tidak mendengarkan hasutan atau gosip dari orang
luar dan membawanya ke dalam rumah, (3) memberi hanya kepada mereka yang suka
memberi. Segala sesuatu hanya dipinjamkan kepada orang yang mau mengembalikan,
(4) jangan memberi kepada mereka yang tidak memberi. Jangan meminjamkan sesuatu
kepada orang yang tidak mau mengembalikan barang yang dipinjam, (5) menolong
mereka yang memberi maupun yang tidak memberi. Orang yang tidak mampu, sanak ,
dan kerabat harus ditolong walau mereka tidak membalas atau memberi imbalan,
(6) duduk dengan bahagia. Menaruh hormat dan sopan terutama terhadap mertua,
(7) makan dengan bahagia. Seorang istri menyiapkan makan terlebih dahulu untuk
suami dan mertua. Ia pun harus melihat bahwa kebutuhan makan pembantunya
terpenuhi, (8) tidur dengan bahagia. Sebelum tidur mengunci semua pintu dan
jendela, mengamankan barang atau alat rumah tangga, melihat apakah pembantu
telah menyelesaikan tugasnya dan mertua telah pergi tidur, (9) memelihara api.
Mertua dan suami harus diperlakukan dengan sangat hati-hati ibarat memelihara
api di dapur, (10) Ayah, Ibu mertua dan suami wajib dipandang dewa yang patut
dihormati. Apabila sepuluh nasehat ini dilakukan dengan baik, maka keluarga
akan tentram dan bahagia (Narada, 1997:124-125).
c.
Memiliki Pekerjaan
Yang Bebas Dari Pertentangan
Seorang suami harus bekerja mencari nafkah dengan penuh tanggung jawab
dalam memenuhi kebutuhan hidup semua anggota keluarga. Bekerja merupakan sarana
untuk memperoleh nafkah atau pemasukan yang dapat digunakan sebagai penghidupan
diri sendiri serta keluarga. Dengan memenuhi kewajiban terhadap masyarakat
lewat pekerjaan yang dikerjakan, seseorang akan mendapat nafkah sebagai imbalan
(Hart, 1986:86). Imbalan yang didapat
dari bekerja akan menghasilkan kekayaan yang dapat digunakan untuk memenuhi
kebutuhan hidup. Kekayaan bertambah membuat keluarga tidak menjadi kekurangan
dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi apabila dalam mencari pemasukan dilakukan
dengan semangat. Rajin serta bersemangat dalam akan mendukung terpenuhinya
kebutuhan keluarga. Buddha menegaskan jika seseorang sungguh-sungguh bekerja,
menjalankan kewajiban, selalu waspada, murni dalam bertingkahlaku, terkendali indrianya,
dan sadar jika hidup sesuai dengan Dharma kemuliaan akan bertambah (A.I.238)
Setiap Individu lahir dan dibesarkan lewat ketergantungan pada
keluarga, yang memberinya rasa aman dan perlindungan. Ia mendapatkan kasih
sayang sekaligus belajar mengasihi dan menyayangi mendapat segala kebutuhan
yang dibutuhkan, juga belajar memberi dan berkorban, dengan mengekang keinginan
sendiri dan memperhatikan kepentingan anak dan istri (anggota keluarga yang
lain).
Untuk kebahagiaan keluarga maupun diri sendiri, suami harus memperoleh
harta dengan cara yang benar. Buddha bersabda ”Diberkatilah mereka yang
mendapatkan nafkah tanpa melukai yang lain. Kebahagiaan tidak dapat berlangsung
lama dan berarti, jika kekayaan membawa ketakutan dan penderitaan pada akhirnya.
Kekayaan dengan kecongkakan menimbulkan keirihatian, tetapi kekayaan yang
diatur dengan baik akan menghasilkan rasa hormat (Dhammananda, Tanpa
Tahun:23-25).
Kekayaan bukanlah sesuatu yang harus ditumpuk hanya karena keinginan
yang kuat. Mencari kekayaan melalui judi seperti mengharapkan mendung yang
berlalu untuk melindungi kita dari panas matahari. Disisi lain, mencapai
kesejahteraan melalui kerja yang rajin seperti membangun tempat berlindung yang
permanen untuk menghadapi panas dan hujan.
Sebagai suami yang memiliki kewajiban mencari nafkah harus memiliki
penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Suami diharapkan memiliki
penghasilan benar yang tidak merugikan dan menyakiti serta membuat makhluk lain
menderita. Terdapat lima macam usaha yang diharapkan untuk dihindari oleh suami
yaitu: berdagang senjata, berdagang makhluk hidup, berdagang hewan atau hasil
dari penganiayaan makhluk lain, berdagang minuman keras, dan berdagang racun (A.III.207).
Perdagangan senjata dan racun berhubungan dengan pembunuhan, tindakan
kekerasan dan penganiayaan. Perdagangan senjata juga akan menjadi penyebab
timbulnya kerusuhan dimana-mana. Berdagang racun akan menjadi penyebab
pembunuhan, karena orang yang membeli racun pasti akan digunakan untuk membunuh
makhluk yang dianggap menggangu, sehingga akan menyebabkan makhluk lain
menderita.
Berdagang makhluk hidup, praktek perbudakan, menjual bayi dan wanita,
termasuk kejahatan. Menjual minuman keras, obat-obatan terlarang akan
membahayakan dan merusak mental generasi muda. Akibat mengkonsumsi bahan yang
menimbulkan ketagihan, memboroskan kekayaan, menambah pertengkaran, membuat
mudah terkena penyakit, hilangnya watak baik, menampilkan diri secara
memalukan, melemahkan daya pikir atau mengurangi kecerdasan (D.III182).
Perjudian merupakan perbuatan yang berakar pada keserakahan dan
kebodohan, akibat buruk yang ditimbulkan karena berjudi, yaitu melanggar sila.
Perjudian merupakan usaha yang perlu dihindari karena akan menimbulkan
penderitaan bagi diri sendiri maupun keluarga. Suami yang suka berjudi, Buddha
mengingatkan bahaya dari berjudi.
“Jika menang ia dibenci orang, jika kalah ia menyesali
kehilangan harta. Dengan menghamburkan hartanya ia pun jatuh miskin sehingga
dipengadilan ucapannya tidak dipercaya orang lain. Dipandang rendah oleh kawan
dan pejabat pemerintah, ia tidak disukai oleh yang mencari menantu, karena
seorang penjudi tidak bisa memelihara keluarga dengan baik” (D.III.183).
Penghidupan yang salah, yaitu hidup dengan menipu orang lain (kalana),
membual atau menjilat (lapana), memeras dengan menyindir atau memfitnah
(nimittakata), menggelapkan (nippesikata), mengambil keuntungan
yang berlebihan (labha) (M.III.75). mengambil keuntungan yang
berlebihan, seperti lintah darat sama saja dengan merampok atau korupsi,
menyelewengkan atau manipulasi. Suami sebagai kepala keluarga diharapkan tidak
melakukan penghidupan-penghidupan yang salah dalam mencari nafkah untuk
memenuhi kewajibannya.
Menipu orang lain, menjilat, memeras dengan menyindir atau menfitnah,
menggelapkan barang dan mengambil keuntungan yang sangat besar merupakan suatu
perbuatan yang sangat merugikan orang lain. Seseorang yang terkena tipu atau
membeli sesuatu barang yang sangat mahal pasti akan menderita dan tidak mau
berhubungan lagi baik secara pribadi maupun dalam hal bisnis.
Penggunaan kekayaan dengan cara yang benar, tanpa kekerasan, akan
memperoleh kesenangan dan kenikmatan bagi diri sendiri, membaginya dengan orang
lain, serta melakukan perbuatan-perbuatan terpuji, menggunakan tanpa
keserakahan, tanpa keterikatan, bebas dari kejahatan, waspada dan tiada tercela
(S.IV.332).
Suami akan mencapai kesuksesan dalam bekerja atau berusaha apabila
memenuhi empat iddhipada yaitu: merasa puas dan gembira ketika
mengerjakan suatu pekerjaan (chanda), usaha yang bersemangat dalam mengerjakan
suatu pekerjaan (viriya), memperhatikan dengan sungguh-sungguh ketika
melakukan suatu pekerjaan tanpa melalaikan (citta), dan merenungkan
serta menyelidiki alasan-alasan atau cara-cara yang terbaik dari pekerjaan yang
sedang dikerjakan (vimamsa) (A.IV.285).
Merasa puas dan gembira ketika mengerjakan suatu pekerjaan (chanda)
yaitu melakukan pekerjaan yang telah dimiliki dengan baik, sungguh-sungguh dan
penuh tanggung jawab. Mendapat pekerjaan yang baik merupakan harapan suami
karena dengan bekerja dapat menghidupi keluarganya, maka bekerja dengan penuh
tanggung jawab akan membuat tenang dan merasa puas dengan apa yang dikerjakan.
Usaha yang bersemangat dalam mengerjakan sesuatu pekerjaan (virya)
kegigihan, keuletan merupakan salah satu
faktor pembentuk sikap kerja yang positif. Seseorang yang bersemangat dalam
bekerja akan menghasilkan kepuasaan tersendiri. Semangat dalam bekerja
meningkatkan produktivitas yang akan mempengaruhi tingkat penghasilan.
Memperhatikan dengan sungguh-sungguh ketika melakukan suatu pekerjaan
tanpa melalaikan (citta) yaitu melakukan suatu pekerjaan dengan lebih
terarah, penuh perhatian dan tidak mengabaikan pekerjaan, karena melalaikan
sesuatu akan menyebabkan kerugian dan penderitaan. Bekerja dengan baik dan
benar akan memberikan ketenangan, menimbulkan kepuasan dan menambah keuntungan.
Merenungkan serta menyelidiki alasan-alasan atau cara-cara yang terbaik
dari pekerjaan yang sedang dikerjakan (vimamsa) yaitu melakukan
intropeksi diri dalam bekerja. Pekerjaan menyimpan banyak pendapatan, gagasan,
ide baru yang tidak terlihat tetapi akan tampak jelas apabila dilakukan
perenungan atau penyelidikan seksama terhadap pekerjaan tersebut. Sering melakukan perenungan dan penyelidikan, makin
luas ide dan gagasan yang dapat
dijangkau dalam bentuk apapun. Mendapatkan penemuan baru merupakan orang yang
berjasa dalam mengembangkan pekerjaan atau hasil karya. Dengan perenungan dan
penyelidikan terhadap pekerjaan akan memperoleh hasil yang memuaskan dalan
pekerjaan.
2.
Akibat Tidak
Menjalankan Kewajiban
Suami yang tidak menjalankan kewajibannya dengan baik akan berakibat
dibenci oleh anggota keluarganya. Agar suami tidak dibenci oleh anggota
keluarga suami diharapkan untuk: (1) wajib rajin bekerja supaya tidak jatuh
miskin, (2). wajib memlihara kesehatan supaya tidak sakit-sakitan, (3) wajib
menghindari minuman keras supaya tidak mabuk, (4) wajib rajin belajar agar
tidak bodoh, (5) wajib bersikap telaten dan peduli agar tidak mengabaikan
isteri, (6) jangan terlalu sibuk dan dapat membagi waktunya untuk isteri, (8)
wajib hemat dan tidak menghambur-hamburkan uang (Ja.V.433).
Suami yang bertanggung jawab diharapkan mampu untuk mewujudkan keluarga
sejahtera dan bahagia baik secara lahiriah maupun batiniah kepada setiap
anggota keluarganya. Kebahagian dalam keluarga salah satu faktor utama adalah
terpenuhinya kebutuhan hidup. Suami sebagai indidvidu yang mempunyai tanggung
jawab mencari nafkah diharapkan mampu mengumpulkan pendapatan dan menghindari
segala bentuk pemborosan yang akan mengakibatkan penderitaan dalam keluarga.
Buddha menekankan pada setiap
individu untuk menghindari pemborosan,
namun tidak hidup dengan kikir. Kikir dapat membawa suami dan keluarga pada
alam kesengsaraan. “Orang yang sangat kikir tidak akan terlahir di alam bahagia,
orang bodoh seperti itu tidak mau bermurah hati (Dh.177).
Keluarga diharapkan dapat melakukan upaya untuk menghindari pemborosan
dengan menjauhi enam saluran yang dapat menghabiskan kekayaan. Enam saluran yang dapat menghabiskan kekayaan
yaitu: (1) senang minum-minuman keras, (2) sering mengunjungi tempat-tempat
hiburan, (3) sering berkeliaran di jalan pada saat yang tidak pantas, (4) gemar
berjudi, (5) bergaul dengan teman jahat, dan (6) kebiasaan bermalas-malasan (D.III.181-184).
Minuman keras yaitu minuman yang dapat menyebabkan lemahnya kesadaran
atau menimbulkan ketagihan. Lemahnya kesadaran menghilangkan pikiran sehat
sehingga seseorang mudah melepaskan segala milik termasuk harta serta melakukan
perbuatan amoral. Kekayaan keluarga tidak terjaga dengan baik apabila
salah satu anggotanya memiliki kegemaran minum-minuman keras. “Perumah tangga
bergembira dalam mengendalikan diri, karena mengetahui bahwa meneguk minuman
keras atau mengkonsumsi, segala yang bersifat meracuni adalah merugikan, tidak
akan memanjakan diri dalam minuman keras” (Sn.398), karena minum-minuman
keras akan dapat mengakibatkan kelalaian. Bagi suami kelalaian mengurus
keluarga adalah noda yang merugikan (Dh.241).
Suami yang bertanggung jawab akan menghindari minum-minuman keras
karena mempertimbangkan efek samping yang akan muncul seperti ketidaksadaran
serta penyakit. Memiliki kesehatan atau terhindar dari penyakit merupakan
kondisi yang menguntungkan (Dh.204). bagi kehidupan keluarga kesehatan
merupakan faktor penunjang untuk mencapai kesejahteraan. Usaha untuk memeproleh
kebutuhan hidup sulit tercapai apabila tidak didukung oleh kesehatan.
Tempat hiburan merupakan salah satu sarana untuk menguras kekayaan.
Berkunjung ketempat hiburan merupakan kegiatan yang merugikan karena akan
menambah pengeluaran tanpa manfaat baik bagi diri sendiri maupun keluarga.
Penghindaran mencari tempat hiburan merupakan salah satu cara untuk menghemat
pengeluaran dari segala hal yang berhubungan dengan sarana hiburan. Kehidupan
keluarga yang mengejar tempat hiburan belum tentu akan membawa kebahagiaan,
sebaliknya akan mengakibatkan penderitaan karena pikiran selalu diracuni oleh
kesenangan. Kebahagiaan timbul karena pikiran tidak melekat pada kesenangan.
Berkeliaran di jalan pada saat yang tidak sesuai akan membawa kerugian
bagi diri sendiri maupun keluarga. Berkeliaran di jalan pada waktu yang salah
dapat mengakibatkan tidak terjaganya diri sendiri, keluarga dan harta, sering
dituduh melakukan kejahatan, menjadi sasaran segala macam desas-desus, serta
mengalami banyak kesulitan lainnya (D.III.184).
Segala bentuk kesulitan yang dialami dari kebiasaan berkeliaran di
jalan pada saat tidak sesuai akan memberikan dampak pada kesejahteraan
keluarga. Apabila suami atau anggota keluarga lain memiliki nama buruk dalam
masyarakat karena melakukan tindak kejahatan, maka semua anggota keluarga akan
merasakan dampak yang terjadi. Kehidupan akan menjadi tidak tenang karena
selalu dicurigai dan dibenci lingkungan sekitar.
Perjudian merupakan bentuk pekerjaan yang salah dan bertolak belakang
dengan prinsip mata pencahariaan benar (samä äjiva). Berjudi akan mengalami dua kemungkinan yaitu menang atau kalah.
Kemenangan akan merugikan serta menumbuhkan kebencian orang lain. Kekalahan
akan menimbulkan kerugian pada diri sendiri yaitu kekayaan akan berkurang tanpa
memiliki manfaat bagi kesejahteraan keluarga.
Kekayaan yang melimpah, akan habis oleh kebiasaan berjudi. Apabila
mengalami kemenangan dalam berjudi, akan muncul kebencian diantara teman,
kata-katanya tidak dipercaya di pengadilan, akan menghambur-hamburkan harta,
dipandang rendah oleh teman dan para pejabat, tidak diterima jadi menantu (D.III.183).
Pergaulan dengan teman jahat merupakan salah satu penyebab keruntuhan
atau kemerosotan (Sn.92). Individu yang jahat memiliki pikiran tidak
baik serta keinginan untuk mencelakakan individu lain. Pikiran jahat akan
mempengaruhi teman, maka suami diharapkan untuk tidak berteman dengan yang
jahat supaya tidak terpengaruh. Ada empat macam teman yang jahat yaitu: orang
tamak (annadatthuharo), teman yang banyak berbicara tetapi tidak berbuat
sesuatu (vaci paramo), teman penjilat (annuppiyabhani), teman
pemboros (apa yasahayo) (D.III.184).
Kebiasaan menganggur membuat individu menjadi malas. “Seseorang yang
malas serta tidak bersemangat mudah dikuasai nafsu jahat (Dh.7).Nafsu
jahat merupakan sumber dari segala tindakan yang dapat merugikan diri sendiri
maupun masyarakat. Untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga suami bekerja dengan
sekuat tenaga jangan memiliki perasaan malas, Buddha mencela kebiasaan
bermalas-malasan.
Seseorang tidak bekerja dengan alasan terlalu dingin, atau masih
terlalu panas, begitu pula karena masih terlalu pagi atau terlalu siang,
terlalu lapar atau terlalu kenyang. Dengan alasan-alasan itu orang membiarkan
kesempatan bekerja berlalu begitu saja. Karena malas suami tidak akan sukses
atau mendapatkan kekayaan, sebaliknya yang terjadi adalah kemerosotan (D.III.184).
Suami yang malas akan mengalami kemerosotan baik dalam perekonomian
keluarga, maupun kesejahteraan. Kemalasan merupakan salah satu sebab dari
penderitaan atau keruntuhan (Sn.96). Suami yang malas dalam mengumpulkan
kekayaan akan menjadi bangkrut karena pengeluaran tidak diimbangi dengan
pemasukan. Pada akhirnya keluarga akan hidup dalam kemiskinan serta kekurangan.
Buddha menyebutkan dalam Parabhava Sutta ada penyebab-penyebab
kemerosotan bagi suami yaitu: senang bermain perempuan, tidak puas dengan istri
sendiri, cemburu, mabuk-mabukan, berjudi, menghamburkan kekayaan, memberi
kekuasaan atau percaya kepada perempuan pemabuk dan pemboros. Suami yang cukup
mampu tetapi tidak menyokong orang tuanya atau memandang rendah handai tolan
dan sanak keluarga, akan menghadapi kemerosotan (Sn.106-112, 98, 104).
Suami yang mempunyai hubungan gelap dengan istri orang lain, da tidak merawat
ayah-ibunya yang sudah tua dan lemah, yan menyerang dan memaki orang tua,
mertua dan saudaranya disebut sebagai manusia sampah (Sn.123-125).
Kewajiban suami yang dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab sesuai
dengan pola pandangan hidup yang telah diajarkan Buddha akan dapat menciptakan
ketenangan, keharmonisan kebahagiaan dan kesejahteraan keluarga. Kebahagiaan
keluarga merupakan impian semua individu yang menjalankan kehidupan berumah
tangga. Dengan menyokong orang tua, istri dan anak, bekerja untuk kebaikan keluarga
dan masyarakat luas, suami dapat disebut sebagai “seorang yang baik dan
berharga” (S.I.228, A.IV.224).
3.
Manfaat Menjalankan Tanggung
Jawab Terhadap Keluarga
a.
Mencapai Kebahagiaan Keluarga
Kebahagiaan dalam kehidupan keluarga sangat
didambakan oleh setiap individu yang menjalani kehidupan rumah tangga. Suami
sebagai kepala keluarga memiliki tanggung jawab dalam membahagiakan keluarga,
apabila pasangan suami istri menginginkan bersama-sama baik dalam kehidupan
sekarang maupun dikehidupan yang akan datang maka keduanya harus memiliki
keyakinan moral, kemurahan hati dan kebijaksanaan yang sebanding. Tujuan
perkawinan tiada lain dari saling melengkapi, saling mendukung dan melindungi
sehingga bersama-sama dapat mencapai kesempurnaan yang mendatangkan kebahagiaan
dan keharmonisan dalam keluarga. Kebahagiaan keluarga dapat diperoleh dari
hubungan yang harmonis antara suami dan istri serta anggota keluarga yang
lainnya.
Buddha mengingatkan bahwa
kebahagiaan dapat diperoleh apabila: memiliki (atthi-sukka), adanya
kekayaan yang dapat dimanfaatkan (bhoga-sukkha),
kebahagiaan itu pantas dinikmati karena tidak mempunyai utang (anana-sukkha)
dan tidak melakukan pekerjaan atau perbuatan tercela (anavajja-sukkha)
(A.III.68).
Kebahagiaan karena memiliki (atthi-sukkha),
yaitu kebahagiaan karena memiliki kesehatan, kekayaan, umur panjang,
kecantikan, kesenangan, tanah milik, kekuatan, keluarga, anak-anak. Dalam
mencapai kebahagiaan suami wajib melakukan usaha dengan keras, sekuat tenaga
serta memiliki kemaunan untuk memperoleh kekayaan atau harta benda, tanpa
memiliki keinginan-keinginan jahat atau melakukan perbuatan yang tidak baik.
Selain itu juga dapat terhindar dari perasaan gelisah atau cemas dalam memenuhi
kebutuhan sehari-hari.
Memiliki kekayaan yang dapat dimanfaatkan
(bhoga sukha), yaitu sebagai suami dalam mencari kekayaan diharapkan
tidak hanya memenuhi kebutuhan hidup keluarga saja, akan tetapi bisa juga
dipergunakan untuk membantu atau berdana kepada mahluk suci. Terdapat empat
ladang subur dalam menanam kebajikan yang dapat membawa kebahagiaan suami pada
kehidupan berikutnya yaitu: yang pertama Buddha, yang kedua Arahat, ketiga ibu
dan keempat ayah.
Tidak mempunyai hutang (anana
sukha) merupakan sumber kebahagiaan yang lain. Dalam kehidupan suami merasa
puas dengan apa yang dimiliki dan hemat, apabila mampu tidak perlu hutang pada
siapapun untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Dengan berhutang tidak
membuat bahagia karena memiliki beban atau tekanan untuk mengembalikan
pinjamannya. Hidup sederhana, bebas dari hutang akan hidup bahagia secara
batiniah.
Menjalankan kehidupan yang tanpa
cela (anavajja sukha) merupakan sumber kebahagiaan yang terbaik bagi
suami dan keluarga. Seseorang yang tanpa cela merupakan berkah bagi dirinya dan
pihak lain. Suami yang tanpa cela dan tidak terpengaruh oleh penerimaan dari
pihak luar, tidak melekat dengan kesenangan-kesenangan materi.
b.
Mencapai Kesejahteraan Keluarga
Individu yang menjalani kehidupan rumah tangga
menginginkan tercapainya kesejahteraan. Untuk mencapai kebahagiaan duniawi ada
empat yang mendukung yaitu: (1) ketekunan (Utthana sampada), (2)
kewaspadaan (Arakkhasampada), sahabat baik (Kalyana mitta) dan
hidup seimbang (samajivita) (A.IV.281).
Ketekunan (Utthanasampada) yaitu
bersemangat dalam mencari nafkah, artinya dalam mengerjakan tugas dan
pekerjaan, jauhkan perasaan suka dan tidak suka, senang dan tidak senang,
ketika menerima tugas, namun tugas dikerjakan dengan rajin dan bersemangat.
Rajin serta bersemangat dalam bekerja akan mendukung terpenuhinya kebutuhan
keluarga. Salah satu kegagalan suami yang utama karena banyak mengeluh, malas
dan tidak bersemangat. Pekerjaan yang dikerjakan dengan semangat, teliti, dan
penuh perhatian akan membawa kebaikan dikemudian hari. Jika seseorang
bersungguh-sungguh bekerja, menjalankan kewajibannya selalu waspada, murni
dalam bertingkah laku, terkendali indrianya, dan sadar hidup sesuai Dharma maka
kemuliaan akan bertambah (A.I.238).
Kewaspadaan (arakkhasampada) yaitu
menjaga kekayaan yang diperoleh dengan penuh hati-hati dan bijaksana, artinya
apapun yang didapat atau dihasilkan oleh suami harus dipelihara dan digunakan
sebaik-baiknya. Kekayaan harus dikumpulkan dengan usaha yang jujur. Kewaspadaan
dalam menyimpan kekayaan akan menghindarkan keuangan keluarga dari pencurian.
Kewaspadaan membelanjakan kekayaan akan menghindarkan keuangan dari defisit.
Sahabat yang baik (kalyana mitta)
merupakan sahabat atau teman yang berhati tulus (suhada) yaitu sahabat pada
waktu senang dan susah, penolong, memberi nasehat yang baik, serta bersimpatik
(D.III.188). Suami dalam memilih
teman diharapkan teman yang memiliki moral yang baik, selalu menasehati untuk
melakukan perbuatan yang baik, dan mengingatkan agar tidak melakukan
perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat. Di dunia ini sangat sulit menemukan
seorang sahabat yang baik, maka perlu waspada dalam memilih teman.
Hidup seimbang (sama jivita) yaitu
menempuh cara hidup yang sesuai dengan penghasilan. Keluarga bahagia tidak
harus kaya, tetapi dapat mengatur keseimbangan antara pengeluaran dengan
pendapatan. Sebagai kepala keluarga suami dapat menyesuaikan kebutuhan dengan
kemampuan yang dimiliki. Pengeluaran tidak melampaui pendapatan, juga tidak
terlalu sedikit atau pelit sehingga tidak ada orang yang menganggap kikir. Jadi
pengeluaran disesuaikan dengan penghasilan suami berdasarkan situasi dan
kondisi ekonomi keluarga dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, dengan demikian
kesejahteraan keluarga akan tercapai.
Dalam masyarakat Buddhis Penghasilan suami bisa dibagi menjadi empat
bagian yaitu:
(1) sebagian dibelanjakan untuk kebutuhan sehari-hari, (2) dua bagian digunakan untuk modal
usaha, (3) sebagian lagi ditabung untuk berjaga-jaga pada saat sulit (D.III.188).
Suami memperoleh kekayaan dengan bekerja keras dalam menggunakan diatur dengan
sebaik-baiknya. Penggunaan kekayaan dimanajemen dengan baik disesuaikan
kebutuhan yang diperlukan dengan mendahulukan kebutuhan primer daripada
kebutuhan sekunder sehingga kesejahteraan keluarga tercapai.
D. Penutup
Tanggung jawab suami dalam kehidupan rumah tangga sangat penting, karena untuk memenuhi
kebutuhan hidup keluarga dalam mewujudkan kehidupan yang harmonis, bahagia dan
sejahtera. Menurut ajaran Buddha sebagai
kepala keluarga suami memiliki kewajiban untuk menyokong dan merawat ayah dan
ibu, membahagiakan anak dan istri, dan bekerja untuk kebaikan keluarga serta
masyarakat luas. Apabila suami yang dapat menjalankan ajaran tersebut merupakan
orang yang baik dan berharga
Perkawinan dalam keluarga memiliki suatu komitmen dalam menjalani
kehidupan rumah tangga yang tidak melanggar sila atau sesuai dengan Dhamma
dan Vinaya. Pasangan suami istri diharapkan saling mencintai, saling
menghormati dan saling setia untuk terciptanya keluarga bahagia. Persiapan-persiapan
yang harus dimiliki oleh calon suami dalam memasuki kehidupan keluarga yaitu:
mempunyai identitas sebagai laki-laki, dapat memberikan kasih sayang kepada
seorang wanita (istri), dapat mempercayai calon istri, mempunyai integritas
kepribadian yang matang, mental dan fisik yang sehat, mempunyai mata
pencaharian yang benar, bersedia membagi kebahagiaan dengan calon istri, siap
menjadi ayah yang bertanggung jawab.
Suami yang melaksanakan kewajiban dengan penuh tanggung jawab sesuai
dengan pola pandangan hidup yang telah diajarkan Buddha akan dapat menciptakan
ketenangan, keharmonisan kebahagiaan dan kesejahteraan keluarga. Kemiskinan
dalam keluarga bukanlah penyebab utama keretakan perkawinan, baik suami maupun
istri harus belajar untuk membagi suka dan duka dalam kehidupan sehari-hari.
Saling mengerti adalah rahasia kehidupan keluarga yang bahagia.
Ketekunan dalam bekerja, memiliki
kewaspadaan dalam menjaga kekayaan,
memiliki sahabat yang baik dan
hidup dengan seimbang, merupakan cara mewujudkan kebahagiaan dan
kesejahteraan keluarga.
Seorang suami dalam mewujudkan keluarga
yang harmonis, bahagia dan sejahtera harus memahami akan kewajiban dan
tanggung jawab suami. Sebelum memasuki
jenjang pernikahan calon suami sebaiknya
telah mempersiapkan diri secara batiniah dan lahiriah, karena seorang suami
adalah kepala keluarga yang harus melindungi dan mensejahterakan keluarga.
Sebagai kepala keluarga adalah suritauladan bagi istri dan anak, maka
sikap, perbuatan dan etikat yang kurang baik harus dindarkan dan menunjukkan
sikap yang luhur.
DAFTAR
RUJUKAN
Dhammapada
Atthakata, Kisah-kisah Dhammapada, dipublikasikan oleh Samvara, 2005. Medan: Bodhi Buddhis Centre Indonesia.
Dhammananda, Sri K. 2004. Keyakinan
Umat Buddha. Alih bahasa:Ida Kurniati. Jakarta: Yayasan Penerbit Karaniya.
Dhammananda, Sri. Tanpa
tahun. Masalah dan Tanggung Jawab. Alih bahasa: Kalyani Kumiayi, S.E.
Jakarta: Dian Dharma.
Dialogues Of The Buddha (Dígha Nikäya) Volume I, Terjemahan Muler,
F. Max (Ed). 1977. Oxford: The Pali Text Society
Dialogues Of The Buddha (Dígha Nikäya) Volume III, Terjemahan
Davids, Rhys. 1977. London: The Pali Text Society
Hart,
William. Seni Hidup (The Art Of Living). Terjemahan oleh Lanny
Anggawati. 1986. Klaten: Wisma Sambodhi
Mettadewi, 1999. Bakti Kepada Orang Tua. Jakarta: Yayasan Pencari
Dharma.
Nanasampanno.
Hidup Luhur Dengan Batin Berkualita (A Life of Inner Quality).
Terjemahan oleh Lanny Anggawati dan Wena Cintiawati. 2005. Klaten:Wisma
Sambodhi.
Narada.
1995. Sang Buddha dan Ajaran-AjaranNya Bagian 2. Jakarta: Yayasan
Dhammadipa Arama.
Nazir,
Mohammad. 1988. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Panjika.
2004. Kamus Umum Buddha Dhamma (Pali-Sansekerta-Indonesia). Jakarta: Tri
Sattva Buddhist Centre.
Partini,
Siti. 1977. Pertambahan Penduduk dan Kehidupan Keluarga. Yogyakarta:
LPPK IKIP.
Rashid,
Teja, S.M. 1997. Sila dan Vinaya. Jakarta: Buddhis Bodhi.
Sanjivaputta,
Jan. 1990. Manggala Berkah Utama. Tanpa kota. Lembaga Lestari Dhamma
Sarumpaet.
RI. 1993. Pedoman Berumah Tangga. Bandung: Indonesia Publishing House
Stories
Of The Buddha’s (Jataka). Transleted EB. Cowell, 1981. London: The Pali Texs Society
Sutta Nípäta, Kitab Suci Agama Buddha, alih bahasa Lanny Anggawati dan Wena Cintiawati, 1999. Klaten: Vihara
Bodhivamsa
Sutomo. 1999. Profesi
Kependidikan. Semarang: CV IKIP Semarang Press.
The
Book Of The Gradual Saying (Aéguttara Nikäya) Volume I, terjemahan Horner. I.B.
1981. Oxford: The Pali Texs Society.
The
Book Of The Gradual Saying (Aéguttara Nikäya) Volume II, terjemahan Woodward, F.L. 1982. London: The Pali Texs Society.
The Book Of The Gradual Saying (Aéguttara Nikäya) Volume III, terjemahan Woodward, F.L & Hare, E.M.
1989. London: The Pali Text Society
The
Book Of The Gradual Saying (Aéguttara Nikäya) Volume IV, Transleted by Hare E,M. 1989. Oxford :
The Pali Texs Society.
The
Book Of The Kindred Saying (Saèyutta-Nikäya) Volume I. Transleted By FL.
Woodward, Davids (ed). 1975. London: The Pali Texs Society.
The
Midle Length Sayings (Majjhima-Nikäya) Volume I, Transeted Horner,I.B., 1987.Oxford: The
Pali Texs Society.
The Minor Readings (Khuddakapäëha). 1978. Nanamoli. London: The Pali Texs Society
The Minor Readings (Khuddakapäëha) Vol. II terjemahan
(Indonesia) Lanny Anggawati dan Wena Cintiawati. 2001. Klaten: Wisma Sambodhi
Widya, Surya. 1996. Tuntunan Perkawinan dan Hidup
Berkeluarga dalam Agama Buddha, Jakarta: Yayasan Buddha Sasana.
Widyadharma, S. 2003. Riwayat
Hidup Buddha Gotama. Malang: Club Penyebar Dhamma.
Wijaya-Mukti, Krisnanda. 2003. Berebut Surga Berebut Surga. Jakarta:
Yayasan Dharma Pembangunan
Wijaya-Mukti,
Krisnanda. 2003. Wacana Buddha Dharma. Jakarta: Yayasan Dharma
Pembangunan dan Ekayana Buddhis Centre.
Wowor,
Cornelis, 2004. Pandangan Sosial Agama Buddha, Jakarta: CV Nitra Kencana
Buana.
No comments:
Post a Comment