MANAJEMEN EKONOMI
MENURUT AGAMA BUDDHA
Oleh:
Lasino
A. Pendahuluan
Kehidupan sebagai perumah
tangga bertanggung jawab terhadap keluarga tidak terlepas dari persoalan ekonomi, maka
diperlukan cara mengatur ekonomi rumah
tangga, untuk mencapai kesejahteraan hidup. Buddha tidak mengajarkan ilmu
ekonomi, tetapi prinsip moral dan agama yang diajarkan-Nya, melatar belakangi
ilmu ekonomi bagi pemeluk agama Buddha. Ekonomi Buddhis adalah cara memperoleh
kekayaan dengan memiliki mata pencaharian yang benar dan menggunakan dengan
cara yang benar pula. Kehidupan dalam agama Buddha ada dua pilihan yaitu
hidup sebagai perumah tangga dan kehidupan sebagai samana. Perumah tangga penyokong keluarga dan kehidupan petapa
tidak memiliki ikatan keduniawian (Sn.220).
Kehidupan perumah tangga memiliki ikatan-ikatan duniawi, keterikatan pada anak,
istri dan harta kekayaan jauh lebih kuat dari belenggu yang dari besi, kayu
ataupun tali jerami (Dhp.345).
Ilmu ekonomi agama Buddha
dipandang berbeda dengan ilmu ekonomi yang berdasarkan materialisme modern.
Penganut Buddha mengutamakan pada pembebasan, sedangkan kaum materialisme berminat
pada barang. Buddha mengajarkan Jalan Tengah, bukan berarti
memusuhi kesejahteraan materiil.
Harta bukan merupakan penghalang untuk mencapai
pembebasan, namun keterikatan
pada kekayaan itu
yang menimbulkan penghalang, mengalami segala yang dinikmati
tidak salah, tanpa kehausan akan yang dinikmati (Wijaya-Mukti.2003.402).
Ekonomi Buddhis tidak mengukur
segalanya dengan uang, namun dasar ekonomi Buddhis adalah kesederhanaan dan
tanpa kekerasan. Ekonomi modern menganggap konsumsi dan faktor-faktor produksi,
tanah, buruh dan modal sebagai alat. Ilmu ekonomi modern berusaha memaksimalkan
konsumsi dengan pola produksi yang optimal (Wijaya-Mukti.2003.402).
Pemikiran Buddhis
memaksimumkan kepuasan manusia dengan pola konsumsi optimal, perumah tangga
yang giat bekerja, mengumpulkan kekayaan dipergunakan untuk menimbun jasa
kebajikan. Perumah tangga yang pada masa mudanya tidak menjalankan kehidupan
suci, tidak juga mengumpulkan kekayaan, akan merana seperti bangau tua yang
tinggal di kolam tanpa ikan (Dhp.155).
Kesucian dan kekayaan merupakan dua hal yang
tidak bertentangan, kehidupan
spiritual dan material saling menunjang dan mendukung.
Kegiatan mengumpulkan uang
tidak berhubungan dengan agama, namun orang bisa taat beragama dengan harapan
mendapatkan berkah berupa kekayaan. Agama tidak hanya memberi kekayaan rohani
bagi penganutnya, tetapi juga menjanjikan kekayaan duniawi. Setiap manusia
wajar mengharapkan kekayaan, nama baik atau kedudukan, berumur panjang dan
setelah meninggal dunia terlahir di surga. Keempat hal itu akan dapat diperoleh
pada waktunya dengan memiliki keyakinan, moral kebajikan, kemurahan hati dan
kebijaksanaan (A.IV.281-283).
Perumah tangga dalam mengatur ekonomi yang
diperoleh dengan cara seimbang tidak melebihi dari penghasilan. Perumah tangga
yang menjadi seorang pengusaha atau memiliki penghasilan yang basar dengan
membagi kekayaan seperti yang diajarkan oleh Sang Buddha. “Kekayaan yang diperoleh
dibagi menjadi empat bagian, sebagian dibelanjakan untuk kebutuhan sehari-hari,
dua bagian digunakan untuk modal usaha, sebagian untuk ditabung untuk
berjaga-jaga pada saat sulit” (D.III.188).
Perumah tangga memperoleh
kekayaan dengan bekerja keras dan digunakan dengan sebaik-baiknya. Penggunaan
kekayaan dimanajemen dengan baik sehingga kesejahteraan keluarga tercapai, kemajuan
ekonomi rumah tangga diukur dari fakta penalokasian kekayaan seperti
yang diajarkan Sang Buddha.
Kekayaan yang diperoleh dengan
benar, dibelanjakan dengan penuh kewaspadaan, sesuai dengan kebutuhan dengan
mempertimbangkan kesehatan dan mendahulukan kebutuhan primer daripada kebutuhan
sekunder. Makanan, bahkan yang berupa sisa sekalipun, pantang disia-siakan,
perbuatan membuang bilasan periuk atau mengkuk yang dicuci disungai dan kolam
dengan harapan makhluk-makhluk di dalamnya mendapatkan makanan, diakui akan
menghasilkan kebajikan (A.I.16).
Penggunaan kekayaan dengan
cara yang benar, tanpa kekerasan, akan memperoleh kesenangan dan kenikmatan
bagi diri sendiri, membaginya dengan
orang lain, serta melakukan perbuatan-perbuatan terpuji, mengunakan tanpa
keserakahan, tanpa keterikatan, bebas dari kejahatan, waspada dan tiada tercela
(S.IV.332).
Tabungan untuk berjaga-jaga
dalam menghadapi bencana kebakaran, kebanjiran, kehilangan, tekanan penguasa,
musuh, simpanan dibatasi seperempat bagian kelebihan harta menjadi bagian yang
dipergunakan untuk kepentingan orang lain, dengan berbagai kebagi kebahagiaan
atau meningkatkan produktivitas. Bagian
kekayaan lebih bermanfaat digunakan untk menambah unit produksi atau modal
usaha, membuka lapangan kerja baru ketimbang hanya dijadikan simpanan saja.
Penggunaan kekayaan yang sesuai
dengan ajaran Buddha diterapkan setiap
perumah tangga, kesejahteraan ekonomi keluarga akan dicapai. Tingkat kemajuan
ekonomi keluarga, menurut pandangan Buddhis diukur dari pengalokasian kekayaan
seperti yang diajarkan oleh sang Buddha. Buddha mengingatkan, bahwa kebahagiaan
karena memiliki usaha sendiri ( Atthi-sukha),
adanya kekayaan yang dapat dimanfaatkan (bhoga-sukha),
kebahagiaan itu pantas dinikmati karena tidak mempunyai utang ( anana-sukha) dan tidak melakukan
pekerjaan atau perbuatan yang tercela (anvajja-sukha)
(A.III.68 ).
Berdasarkan uraian di atas
yang menjadi penyebab penderitaan rumah tangga adalah manajemen ekonomi yang
tidak matang, sehingga perumah tangga dalam menggunakan kekayaan, pembelanjaan
melebihi penghasilan. Manajemen ekonomi rumah tangga bertujuan untuk mengatur
penggunaan penghasilan dengan cara seimbang untuk mencapai kesejahteraan hidup
keluarga. Di dalam agama Buddha mencapai kesejahteraan ekonomi dalam rumah
tangga untuk menopang kesejahteraan spiritual yang merupakan salah satu sarana
untuk mencapai pembebasan.
B. TINJAUAN EKONOMI BUDDHIS
Sebelum penulis mendifinisikan
tentang ekonomi terlebih dahulu penulis akan mengetengahkan beberapa pendapat
dari beberapa ahli. Ekonomi adalah “pengetahuan dan penyelidikan mengenain
asas-asas penghasilan (produksi),
pembagian (distribusi) dan pemakaian
barang-barang serta kekayaan, urusan rumah tangga dan kehematan” (Poerwadarminta.1987.267). Kata ekonomi
berasal dari kata “oekosnomos yaitu
pengelolaan rumah tangga” (Wijaya-Mukti.2003.392).
Jadi ekonomi adalah pengelolaan penghasilan, pembagian dan pemakaian
barang-barang serta kekayaan dalam rumah tangga.
1. Pengertian Ekonomi Menurut
Buddhis.
Prinsip-prinsip
ekonomi dalam tradisi Zen diungkapkan “Tidak ada brang satupun yang menyamai
makan dan berpaiakan. Diluar itu tidak ada Buddha ataupun Patriak”. Penghayatan
dan penyembpurnaan batin yaitu realisasi Dhamma, diperoleh dari kehidupan
sehari-hari. Menurut Han Shan dalam syairnya yang dipetik oelh Krisnanda
Wijaya-Mukti ( 391) mengemukakan:
Berbicara tentang makanan tak akan
mengenyangkan perutmu
Menggerutu tentang pakaian tak akan
menghangatkan tubuh
Hanya semangkok nasi yang dapat membuat
perutmu kenyang
Cuma diperlukan sepotong pakaian membuat
hangat badan
Tetapi tidak berhenti untuk berbincang
tentang maslaha ini
Engkau terus berkata bahwa Buddha sukar
ditemukan
Tariklah pikiranmu ke dalam. Di sanalah
ditemukan
Mengapa mencarinya keluar?
Ekonomi
pada umumnya menfokuskan perhatian kepada kepentingan manusia, sehingga sering
melanggar kepentingan makhluk lain. Ekonomi selalu berpengaruh pada ekologi dan
ekologi mempengaruhi ekonomi. Agama Buddha bertujuan untuk mensejahterakan
hidup semua makhluk, sehingga berkepentingan terhadap ekonomi dan ekologi,
Ekonomi menyangkut makanan, pakaian dan sumber daya alam yang tersedia.
Manusia
memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup dengan menggunakan akal budaya. Akal budaya
yang dikembangkan dengan baik mendorong manusia untuk mencari nafkah atau
pendapatan yang dapat dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Mencari
nafkah hanya dapat diperoleh dengan bekerja dan berkarya.
Ilmu
ekonomi secara implisit maupun eksplisit mengetahui adanya perjuangan untuk
hidup, yaitu persaingan bebas. Dalam teori Adam Smith, persaingan bebas adalah
persaingan pengusaha dan masyarakat umumnya. Buddhis menghindari persaingan
bebas yang tidak sehat, pertikaian menciptakan situasi menang dan kalah. Dalam
perselisihan akan binasa (Dhp.6).
Buddha
tidak mengajarkan ilmu ekonomi, tetapi prinsip moral dan gama yang diajarkan
melatar belakangi ilmu ekonomi pemeluk agama Buddha. Prinsip-prinsip ini bisa
tidak dipahami secara totalitas, tidak komperehensif diterapkan dalam kegiatan
ekonomi sehari-hari. Sumacher menyimpulkan bahwa ilmu ekonomi agama Buddha itu
pasti ada. Mata pencaharian atau penghidupan yang benar adalah salah satu unsur
dari jalan mulia berunsur delapan di dalam agama Buddha.
Perumah
tangga yang menjalankan penghidupan benar tidak akan merugikan mahkluk lain.
Mata pencaharian yang baik tidak mencelakakan, tidak menyakiti atau membuat
pihak lain menderita. Buddha memperhatikan baik buruknya suatu barang
diperdagangkan, sehubungan dengan ajaran sila. “Lima perdagangan yang harus
perlu dihindari yaitu berdagang senjata, mahkluk hidup, daging, minuman keras
dan racun” (A.III.207).
Ekonomi
Buddhis tidak mengukur segalanya dengan uang, namun ekonomi Buddhis adalah
kesederhanaan dan tanpa kekerasan. Namun kesederhanaan dalam sistem ekonomi
Buddhis tidak identik dengan kemiskinan. Menanggulangi kemiskinan merupakan
prioritas utama yang dilakukan oleh perumah tangga yang baik dengan memiliki
penghidupan yang benar. Kemiskinan dan kemelaratan mendatangkan berbagai bentuk
kejahatan. Dari kemiskinan muncul pencurian, tindak kekerasan, pembunuhan,
dustam fitnah, dan zina (D.III.65-75).
Penanggulangan
kemiskinan dengan cara mengatur keseimbangan antara pengeluaran yang disesuaikan dengan pendapatan. Disamping
itu juga perumah tangga perlu memiliki pekerjaan yang baik dan benar untuk
memperoleh perhasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
2. Konsep Manajenem Ekonomi
Rumah Tangga Buddhis.
Manajemen
adalah proses merencanakan dan mengambil keputusan, mengorganisasikan,
mempimpin dan mengendalikan sumber daya manusia, keuangan, fisik dan informasi
guna mencapai sasaran organisasi dengan cara yang efisien dan efektif (Ensiklopedi Nasional Indonesi.1990.115).
Manajenmen ekonomi timbul karena usaha manusia untuk mencapai kesejahteraan dan
kemakmuran dalam kehidupan sehari-hari.
Manajemen Ekonomi Buddhis adalah suatu proses
perencanaan, pengorganisasian, pengaturan, pengendalian serta penggunaan sumber
daya ekonomi untuk mencapai tujuan perekonomian yang dipengaruhi ajaran agama
Buddha. Dalam pengelolaan sumber daya, seorang Buddhis hanya memanfaatkan apa
yang dibutuhkan seperlunya. Untuk mencapai kesejahteraan seseorang memerlukan
pekerjaan, sehingga mendapatkan penghasilan atau kekayaan. Bekerja membuat
hidup menjadi lebih baik, sekaligus membuat hidup berarti bagi orang lain.
Alasan pertama untuk mengejar kekayaan bukian hanya untuk menyenangkan diri
sendiri, tetapi juga memelihara dan membuat keluarga, karyawan dan pengikutnya
bahagia (A.III.45).
Seorang
pekerja yang bekerja untuk kepentingan orang lain, tetapi sesungguhnya bekerja
untuk diri sendiri. Dengan bekerja mengembangkan potensi yang dimiliki secara
maksimal berarti mengaktualisasi diri. Setiap orang mempunyai arah tujuan
sendiri untuk menciptakan masa depannya. Diri sendiri sebagai pelindunng bagi
dirinya, karena itu orang perlu mengendalikan diri untuk memenuhi kebutuhan
sendiri juga bergantung pada diri sendiri.
Setiap
individu memerlukan motivasi yang menyebabkan berbuat atau bertingkah laku,
sesuai dengan visi dan misi yang ingin dicapai untuk memeproleh kesejahteraan.
Semua orang dengan senang hati akan melakukan perbuatan yang memberi keuntungan
bagi diri sendiri, keuntungan tidak selalu berbentuk materi, tetapi pada
umumnya satu pekerjaan menghasilkan keuntungan yang bersifat psikis. Menurut
George R. Terry, hal-hal yang mempengaruhi motivasi adalah keinginan dan
kebutuhan tujuan dan persepsi dari individu atau kelompok, cara mencapai
kebutuhan dan tujuan.
Perumah
tangga mencari kekayaan dan menggunakan kekayaan yang dimiliki tidak terikat
dengan kekayaan, karena keterikatan dapat menimbulkan penderitaan. Cara
pengumpulan harta dengan cara-cara yang tidak jujur, melanggar hukum, kikir,
menghabiskan dengan sia-sia atau tidak digunakan untuk mengurangi penderitaan
orang lain merupakan cara pengumpulan harta yang tidak benar. Mencari kekayaan
dengan cara yang tidak benar, melakukan kejahatan, tidak akan memperoleh
kebahagiaan, karena tidak pernah dapat hidup dengan tentram. Tercela karena
membuat tidak membuat orang lain bahagia dan tidak menghasilkan jasa kebajikan
(S.IV.331). Perumah tangga yang
pantas dipuji akan mencari harta dengan cara yang baik dan mempergunakan untuk
kebaikan dan kebahagiaan dirinya dan orang lain. Perumah tangga akan memberikan
sokongan pada sangha dengan harta yang dimiliki serta menggunakan dalam usaha
untuk melenyapkan penderitaan dan kemiskinan yang diderita oleh orang lain.
Seseorang
yang mengumpulkan kekayaan, dengan cara yang sah dan tanpa kekerasan maka akan memperoleh
kenikmatan dan suka cita, membaginya dengan orang lain serta melakukan
perbuatan baik, menggunakannya tanpa keserakahan dan kehausan, tanpa melakukan
pelanggaran-pelanggaran, menyadari bahaya dalam menyalah gunakan dan sadar akan
tujuan hidupnya yang tertinggi, maka ia patut dipuji dan tidak dicela (S.IV.332).
Kekayaan
yang diperoleh dengan cara yang benar dan sah dipergunakan sesuai dengan
kebutuhan sehari-hari, dengan penuh kewaspadaan, ketelitian dan
mempertimbangkan kesehatan. Kekayaan yang diperoleh dibagi menjadi empat bagian
, sebagian dibelanjakan dan dinikmati, dua bagian digunakan sebagai modal usaha
dan sebagian ditabung untuk persediaan pada saat sulit (D.III.188).
Perumah
tangga yang berkecukupan dalam bidang ekonomi tidak terlena dalam kemewahan
yang ada, tidak hidup berfoya-foya karena perbuatan itu akan membawa
kemerosotan dalam kehidupan. Senang bermain perempuan, mabuk-mabukan,
berjudidan menghambur-hamburkan apa yang telah diperolehnya, ini penyebab
kemerosotan (Sn.106). Kewaspadaan,
keteilitian dan hemat diperlukan dalam mengatur ekonomi rumah tangga, ekonomi
yang teratur akan membawa kesejahteraan hidup keluarga. Untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya perumah tangga bekerja dengan sekuat tenaga, Buddha mencela
kebiasaan bermalas-malas.
Seorang perumah tangga tidak bekerja dengan alas
an terlalu dingin, atau masih terlalu panas, begitu pula karena masih terlalu
pagi, atau terlalu siang, terlalu lapar atau terlalu kenyang. Dengan
alasan-alasan itu orang membiarkan kesempatan bekerja berlalu begitu saja.
Karena malas ia tidak akan sukses atau mendapatkan kekayaan, sebaliknya yang
terjadi adalah kemerosotan (D.III.184).
Produktifitas
seorang manusia dibatasi oleh waktu ketika usia menjadi tua, kemampuan untuk
bekerja keras semakin menurun, ketika jatuh sakit tidak produktif lagi. Perumah
tangga memanfaatkan dengan baik dan tidak membuang waktu sekarang ini. Sewaktu
muda, sehat, sebelum musim paceklik tidak ada bencana kelaparan, amam dan
damai, bersatu, manusia mengerahkan segala tenaga untuk mencapai yang belum
tercapai, menguasai yang belum dikuasai, menyadari yang belum disadari (A.III.103-105).
Bekerja
dengan sekuat tenaga sewaktu muda merupakan syarat untuk mencapai kesuksesan
ekonomi rumah tangga. Bekerja dengan baik dan benar bukan berarti berusaha
terlalu keras, sehingga menimbulkan kesibukan berlebihan sehingga mengabaikan
keluarga. Banyak orang yang bekerja keras tetapi tidak bias menjamin
kebutuhannya terpenuhi. Seperti guru dan pegawai negeri yang telah bekerja
keras secara sah pada jam kerja, namun kondisi ekonominya kurang mencukupi,
karena pekerjaannya tidak langsung meningkatkan penghasilannya. Namun
produktifitas bagi pengusaha dan wiraswastawan langsung meningkatkan
penghasilan dan tingkat perolehannya. Bekerja dengan baik dan benar akan
memberi ketenangan hidup, tidak menambah ketidakpuasan yang menimbulkan tekanan
batin dan berbagai bentuk penderitaan.
Manajenen
ekonomi rumah tangga adalah pengelolaan, pembagian dan pemakaian barang-barang
serta kekayaan rumah tangga secara efisien untuk mencapai sasaran. Buddha mengajarkan
cara mengatur penghasilan dalam kehidupan sehari-hari yaitu dengan menempuh hidup serasi. Menempuh
hidup serasi berarti mengendalikan keseimbangan antara pengeluaran dan
penghasilan, sehingga tidak terguncang pasang surutnya penghasilan (A.III.6.53).
C. CARA MEMANAJEMEN EKONOMI RUMAH TANGGA MENURUT PANDANGAN AGAMA
BUDDHA.
1.
Cara
Menggunakan Kekayaan Untuk Memenuhi Kebutuhan.
Penggunaan
kekayaan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari tidak terlepas dari gaya hidup
seseorang. Masyarakat yang mengakui perbedaan derajat, kelas menurut keturunan
atau kasta, setiap golongan memelihara jarak dan mempertahankan gaya hidup
sendiri. Gaya hidup juga menyangkut jabatan, pendidikan, lingkungan, tempat
tinggal, selera dan prefensi lain, yang terlihat dari irama atau tempo kerja,
setiap tingkah laku, sopan santun, pakaian hingga makanan.
Seseorang
mengidentifikasi dirinya akan mempengaruhi gaya hidupnya. Indetifikasi adalah
proses psikologi yang terjadi pada diri seseorang, karena membayangkan dirinya
seperti orang lain yang dikagumi. Untuk menghindari hal-hal seperti itu perlu
pengendalian diri dan memiliki prinsip hidup untuk diri sendiri, karena gaya
hidup akan mempengaruhi masa depan seseorang, termasuk suatu tatanan,
serangkaian prinsip atau kreteria pada setiap pilihan yang dibuat individu itu
dalam hidup sehari-hari (Wijaya-Mukti.2003.370).
Pembelanjaan
sebagian kekayaan untuk memenuhi kebutuhan dengan cara yang benar merupakan
tindakan ekonomi. Buddha tidak pernah melarang para umatnya untuk mencari
kekayaan, tetapi kekayaan yang diperoleh dengan cara yang benar dan sah, yang
dapat dipergunakan untuk hal-hal yang bermanfaat baik bagi diri sendiri maupun
orang lain. Dengan kekayaan yang dihimpun secara benar dan diperoleh melalui
usaha sendiri, ia membagi makanan dan
minuman kepada makhluk-makhluk lain yang membutuhkan (It.66). Kekayaan yang diperoleh tdak dipergunakan hanya untuk
kepentingan diri sendiri, tetapi juga untuk orang lain.
Keberhasilan
individu selalu berhubungan dengan kehidupan dan kesejahteraan sosial. Manusia
diajarkan untuk menghormati dan menghargai makhluk hidup lainnya, termasuk
binatang dan tumbuhan. Kemajuan seseorang namun dengan merugikan orang lain
dilihat sebagai suatu yang memalukan. Eksploitasi, konfrontasi dan persaingan
selalu dihindari, sedangkan persatuan, kebersamaan dan keharmonisan diperkuat (Sivarksa.2001.6). Menghadapi
keterbatasan sumberdaya, umat Buddha yang menghindari pertentangan dan
kekerasan, berusaha menggunakan sedikit
mungkin dan sehemat mungkin. Kualitas kehidupan tidak diukur dengan besarnya
konsumsi dalam waktu tertentu. Orang yang konsumsinya banyak sering dikatakan
lebih kaya, namun belum tentu sejahtera. Konsumsi (pendapatan) minimum,
sedangkan kesejahteraan yang diperoleh maksimum, dinamakan efisien atas daya
guna yang tepat guna. Perumah tangga yang hemat menggunakan daya, termasuk
biaya, tenaga dan waktu adalah perumah tangga yang hidup dengan tanggung jawab.
Perumah
tangga yang menggunakan kekayaan disesuaikan dengan kebutuhan hidup sehari-hari
dengan waspada dengan mempertimbangkan kesehatan dan tidak boros. Penggunaan
kekayaan dengan cara yang hemat yaitu menggunakan kekayaan dengan hati-hati,
tanpa menyia-nyiakan barang-barang bekas yang sudah tidak dipakai lagi. Semua
barang yang masih dipergunakan masih dapat dipergunakan sampai habis seperti
sandang, pangan dan tempat tinggal. Sebagai contoh cara mempraktikan hidup hemat yaitu:
Bhikkhu Ananda siswa Buddha yang
terkemuka, menerima hadiah sebanyak lima ratus jubah dari selir Raja Udena,
semula raja merasa kecewa dan mengecam Ananda , apakah Pertapa Ananada akan
berdagang pakaian? Ia menemui Ananda dan menanyakan apa yang akan diperbuat
oleh bhikkhu dengan jubah sebanyak itu. Ananda menjawab bahwa jubah itu akan
dibagikan kepada para bhikkhu yang jubahnya sudah usang. Raja bertanya pula
jubah yang sudah usang dipergunakan untuk apa. Bhikkhu Ananda menjelaskan bahwa
jubah yang sudah usang akan dipergunakan untuk jubah luar, jubah luar yang
sudah tidak terpakai digunakan sebagai penutup kasur, penutup kasur yang sudah
tidak terpakai digunakan sebagai penyeka kaki, dan penyeka kaki yang tidak
terpakai dihancurkan dan diaduk dengan tanah digunakan sebagai plesteran lantai
(Vin.II.291-292).
Menghadapi
keterbatasan sumber daya, umat Buddha yang menghindari pertentangan dan
kekerasan, berusaha menggunakan sumber daya sedikit mungkin dan sehemat
mungkin. Tingkat kehidupan menyangkut kualitas tidak diukur dengan besarnya
konsumsi dalam waktu tertentu. Orang yang konsumsinya lebih banyak sering kali
dikatakan lebih kaya tetapi belum tentu lebih sejahtera. Bila konsumsi atau
masukan minimum, sedangkan kesejahteraan atau keluaran yang diperoleh maksimum
itu yang dinamakan efisien atau daya guna yang tepat guna.
Buddha
mengajarkan makanan bahkan yang berupa sisa sekalipun, pantang disia-siakan
perbuatan membuang bilasan periuk atau mangkuk yang dicuci di sungai dan kolam
dengan harapan makhluk-makhluk di dalamnya mendapatkan makanan diakui akan
menghasilkan kebajikan (A.I.161).
Makanan tidak dibiarkan terbuang begitu saja, namun sisa makanan dimanfaatkan
untuk memberi makan binatang piaraan, atau dibuang disungai agar dimakan
ikan-ikan dan binatang sejenisnya.
Perumah
tangga menggunakan kekayaan dengan cara yang salah, serakah, terbelenggu oleh
kekayaan, membuat kejahatan, tidak waspada terhadap penggunaan yang salah dan
lupa pada keselamatan dirinya, akan membuat keluarga dan dirinya ke dalam
penderitaan. Harta yang dimiliki dapat membawa bencana karena menjadi sasaran
kejahatan, atau disalahgunakan dan tidak dapat dimanfaatkan untuk melakukan
kebaikan.
Pembelanjaan
kekayaan dengan cara berlebihan tidak akan membuat puas bahkan akan menambah
keserakahan, karena banyak keinginan yang disadari tidak muncul dalam perbuatan,
sedangkan banyak kebutuhan yang tidak disadari dapat diinterprestasikan oleh
orang lain melalui perbuatan. Untuk mencapai kepuasan perumah tangga perlu
meneladani para samana, sekalipun
hanya makan sehari sekali dan hidup menyepi, namun bisa menikmati kepuasan
hingga merasa bahagia.
Mereka tidak meratapi apa
yang telah berlalu
Mereka tidak merindukan apa
yang tidak datang
Dengan apa adanya sekarang
mereka memelihara dirinya
Sehingga mereka tampak berseri-seri
Dengan merindukan apa yang
tidak datang
Dengan meratapi apa yang telah
berlalu
Maka Orang yang dungu luluh
lantak
Nyeri bagai luka teriris
sembilu (S.I.5).
Keinginan-keinginan
tidak pernah terpuaskan sehingga menimbulkan penderitaan. Keiginan yang rendah
merupakan suatu keinginan yang tidak sesuai dengan kemampuan diri sendiri. Jika
seorang anggota keluarga yang berpngaruh, yang memlikiki ambisi membara, namun
tidak memiliki sarana memadai, yang mengejar kekuasaan atau ingin menguasai
orang lain, inilah penyebab kemerosotan (Sn.114).
Perumah tangga yang tidak dapat menahan nafsu keinginan yang rendah akan
terjebak dalam penderitaan.
Penggunaan
kekayaan untuk kebutuhan sehari-hari dengan benar yaitu dengan mengendalikan
keinginan yang rendah, dan mengembangkan keinginan baik untuk menolong makhluk
lain yang menderita. Kebutuhan yang bersifat objektif dan bersifat subjektif,
dengan mempertimbangkan lingkungan dan berpedoman pada pengalaman yang lampau.
Kreteria
baik dan buruk diantaranya dengan mempertimbangkan tujuan dan manfaat. Sesuatu
yang baik itu benar-benar bermanfaat dan tepat pada waktunya (M.I.395). Sesuatu yang benar
beerdasarkan hukum kebenaran, tidak menyimpang dari etika dan moral,
bermanfaat tidak hanya bagi yang bersangkutan
tetapi mengutamakan kepentingan semua pihak yang terlibat baik secara langsung
maupun tidak langsung. Hak hidup dengan baik bukan hanya milik seseorang tetapi
milik semua makhluk. Hak untuk hidup dengan layak dan baik juga bukan milik
mereka yang ada sekarang tetapi juga milik mereka yang hadir belakangan.
Melindungi kehidupan sekarang dan kelak merupakan kewajiban bagi setiap perumah
tangga untuk kesejahteraan di kehidupan sekarang maupun di kehidupan mendatang.
2. Kekayan Digunakan Sebagai Modal Usaha
Pengalokasian
kekayaan sebagai modal usaha, akan lebih bermanfaat, karena dipergunakan untuk
meningkatkan produktifitas. Kekayaan yang digunakan untuk menambah unit
produksi yang membuka lapangan kerja baru lebih baik daripada hanya dijadikan
simpanan saja. Tabungan atau simpanan yang terlalu banyak hanya menguntungkan
pemiliknya. Walaupun memiliki harta, asset, kekayaan berlimpah, namun dinikmati
semua itu sendirian, merupakan peyebab kemerosotan (Sn.102).
Perumah
tangga yang ingin membuka usaha memerlukan pengetahuan, pengalaman dalam bidang
usaha yang akan dilakukan. Orang yang dapat dipercaya dan mempercayai orang
lain, sekaligus pintar karena memiliki pengetahuan dan ahli karena memiliki keterampilan,
akan maju usahanya (A.I.116). Sukses
kekayaan yang diraih seorang pengusaha datang dari kepercayaan rekanan dan
pelanggannya. Kepercayaan lahir dari perbuatan yang patut dipuji, dibenarkan
oleh moral dan agama.
Seorang
yang melakukan kegiatan usaha komersial, selalu mencari untung, usaha komersial
sering kali mengorbankan nilai-nilai lain, seperti moral, sosial budaya. Dalam
dunia pengusaha terdapat suatu peraturan untuk dunia usaha baik bersifat umum
maupun khusus. Seorang Pengusaha akan mengkalkulasi tentang hasil usahanya,
usaha yang dilakukan akan mendatangkan kerugian atau keuntungan, kalau merugi
usaha itu akan ditutup.
Pengusaha
yang sukses pada dasarnya tidak meremehkan hal-hal yang kecil. Suatu yang kecil
apabila diremehkan akan membawa dampak yang sangat besar pada dunia usaha.
Tanpa memperhatikan hal-hal yang kecil, orang tidak akan berhasil menangani
suatu pekerjaan yang besar. Banyak orang menjadi kaya dengan mengumpulkan
penghasilanya sedikit demi sedikit. Buddha mengumpamakan dengan sarang semut
yang menumpuk semakin tinggi (D.III.189).
Melakukan
pekerjaan merupakan suatu cara atau pelaksanaan untuk mencapai tujuan yaitu
kesuksesan. Kesuksesan dalam hal ini adalah suatu keberhasilan yang memuaskan
dari suatu usaha yang dilaksanakan. Kesuksesan dapat berupa keuntungan yang
sebanyak-banyaknya, keberhasilan atau sistem tercapainya target dari suatu
kenyataan bahwa dalam hal mendapatkan keuntungan yang sebanyak-banyaknya dalam
bisnis dipandang masuk akal dan perlu untuk stabilitas sistem ekonomi. Untuk
merealisasinya diperlukan kesederhanaan dalam hidup, hemat, bijak, melihat
kemasa depan, bersemangat dan bekerja keras.
Pelaku
ekonomi yang egoistik, ketika ingin mempraktikkan ekonomi Buddhis akan
mengambil jalan tengah, sehingga tidak hanya mempertimbangkan keuntungan untuk
diri sendiri, tetapi juga memperhatikan pihak lain. Seorang pedagang boleh
mengambil keuntungan yang wajar dan menjamin barangnya bukan barang palsu ,
selundupan atau barang hasil curian.
Menjalankan
penghidupan secara benar tidak merugikan makhluk lain, tidak mencelakakan orang
lain, tidak menyakiti atau membuat pihal lain menderita. Perumah tangga yang
membuka usaha perdagangan dengan berdagang yang benar, dan akan menghindari
lima perdagangan yang salah. Lima perdagangan yang dihindari yaitu berdagang
senjata, makhluk hidup, daging, minuman keras dan racun (A.III.207).
Perdagangan
senjata dan racun berhubungan dengan pembunuhan, tindak kekerasan dan
penganiayaan. Perdagangan senjata juga akan menjadi penyebab timbulnya
kesuruhan dimana-mana seperti pengeboman tempat-tempat keramaian yang
strategis. Berdagang racun juga akan menjadi penyeban pembunuhan, karena orang
yang membeli racun pasti akan digunakan untuk membunuh mahkluk yang dianggap
mengganggu. Memperdagangkan makhluk
hidup, praktik perbudakan, menjual bayi atau anak dan wanita, termasuk
kejahatan. Menjual minuman keras, obat-obatan terlarang akan membahayakan dan
merusak mental generasi muda. Akibat mengkonsumsi bahan yang menimbulkan
ketagihan, memboroskan kekayaan menambah pertengkaran, membuat mudah terkena
penyakit, hilangnya watak baik, menampilkan diri secara memalukan, melemahkan
daya pikir atau mengurangi kecerdasan (D.III.182).
Penghidupan
yang salah, yaitu hidup dengan jalan menipu orang lain (kalana), membual atau menjilat (lapana),
memeras dengan menyindir atau memfitnah (nemittakata),
menggelapkan (nippesikata), mengambil
keuntungan yang berlebihan (labha)
(M.III.75). Mengambil keuntungan yang berlebihan, seperti lintah darat sama
saja dengan merampok atau kurupsi yang menyelewengkan atau manipulasi.
Menipu
orang lain, menjilat, memeras dengan menyindir atau menfitnah, menggelapkan
barang dan mengambil keuntungan yang sangat besar merupakan suatu perbuatan
yang sangat merugikan orang lain. Seseorang yang terkena tipu atau membeli
sesuatu barang yang sangat mahal pasti akan menderita dan tidak mau berhubungan lagi baik secara pribadi maupun
dalam hal bisnis.
Perjudian
perbuatan yang berakar pada keserakahan dan kebodohan, akibat buruk yang
ditimbulkan karena berjudi yaitu melanggar sila. Perjudian merupakan usaha yang
perlu dihindari karena akan menimbulkan penderitaan bagi diri sendiri maupun
keluarga. Bagi penggemar judi, Buddha mengingatkan bahaya dari berjudi.
Jika menang ia dibenci orang, jika kalah ia
menyesali kehilangan harta
Dengan menghamburkan hartanya iapun jatuh miskin
Sehingga dipengadilan ucapannya tidak dipercaya
orang lain
Dipandang rendah oleh kawan dan pejabat pemerintah
Ia tidak disukai oleh yang mencari manantu
Karena seorang penjudi tidak bisa memelihara
keluarga dengan baik
(D.III.183).
Perumah
tangga yang memilih mata pencaharian sebagai pengusaha, akan menjadi pengusaha
yang baik apabila memperhatikan bawahan dan para pekerja. Seorang pengusaha
sebagai atasan dan pemberi kerja memberi perlindungan kepada pekerjanya. Salah
satu kewajiban atasan yang mengharapkan perlindungan dari bawah adalah memperhatikan
keselamatan dan kesehatan bawahan. Majikan atau pemberi kerja harus menjamin
perawatan karyawannya yang sakit (D.III.31).
Atasan yang melaksanakan kewajiban dengan
baik kepada para pekerja, maka para bawahan juga akan bekerja dengan baik,
sehingga kenyamanan kerja di perusahaan akan terlaksana.
Seorang
majikan menginginkan pegawainya menghasilkan banyak dan membayar upah yang
semurah-murahnya. Di pihak lain seorang pegawai cenderung bekerja sedikit
mungkin, tetapi mengharapkan penghasilan yang besar. Maka hubungan kerjasama
yang baik antara majikan dan pegawai ditandai perbedaan kepentingan yang
terkait pada egoisme masing-masing. Dalam perspektif Buddhis, majikan dan
pegawai bekerjasama demi kepentingan dan kebahagiaan bersama.
Produktivitas
yang memberi keuntungan kepada pemberi kerja juga dapat dinikmati oleh pekerja.
Kedua belah pihak saling membantu, saling melindungi atas dasar cinta kasih dan
saling membuang-jauh-jauh egoisme masing-masing. Dengan melindungi diri sendiri
seseorang itu melindungi orang lain, dengan melindungi orang lain seseorang
melindungi diri sendiri (S.V.169).
Keharmonisan antara atasan dan pekerja akan membawa kemajuan dalam perusahaan
sehingga mendatangkan keuntungan yang besar.
Pengusaha
yang baik akan menghindari praktik monopoli yang didasarkan oleh nafsu rendah,
karena akan merugikan orang lain. Dalam dunia ekonomi monopoli membuat orang
tamak dapat memainkan penyediaan barang dan mengeruk keuntungan yang besar, hal
ini akan merugikan masyarakat. Monopoli yang baik yang dapat dipergunakan untuk
melindungi dan menimbulkan kemakmuran orang banyak, itu yang perlu diperhatikan
oleh para pengusaha.
Pengusaha
akan mencapai kesuksesan dalam bekerja atau berusaha apabila memenuhi empat
iddhipada yaitu merasa puas dan gembira ketika mengerjakan sesuatu pekerjaaan (chanda), usaha yang bersemangat dalam
mengerjakan sesuatu pekerjaan (virya),
memperhatikan dengan sungguh-sungguh ketika melakukan suatu pekerjaan tanpa
melalaikan (citta), dan merenungkan
serta menyelidiki alasan-alasan atau cara-cara yang terbaik dari pekerjaan yang
sedang dikerjakan (vimamsa) (A.IV.285).
Merasa puas
dan gembira ketika mengerjakan suatu pekerjaan (chanda) adalah melakukan pekerjaan yang telah dimiliki dengan baik,
sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab. Mendapatkan pekerjaan suatu yang
diharapkan oleh setiap perumah tangga, maka bekerja dengan penuh tanggung jawab
akan membuat tenang dan merasa puas dengan apa yang dikerjakan.
Kepuasan
dan kegembiraan dalam mengerjakan sesuatu sangat membantu dalam membangun
kinerja Buddhis yang sehat, sehingga manusia memilih dan mengarahkan kepada
pilihan perkejaan tertentu yang sesuai dengan bakat dan kemampuannya. Manusia
juga memiliki kekliruan anggapan bahwa dengan bekerja akan memperoleh kepuasan
atau kegembiraan pada hasil akhir saja, sehingga tidak menikmati kepuasan atau
kegembiraan selama mengejakan pekerjaan itu. Apabila seseorang tidak memperoleh
hasil yang diharapkan akan mudah kecewa, hal ini merupakan dorongan hawa nafsu
yang besar yaitu penderitaan, kekecewaan dan ketidak puasan. Kepuasan yang
dinikmati pada saat berkiprah dalam suatu pekerjaan adalah terpusatnya
perhatian pada pekerjaan yang sedang dikerjakan, ini yang merupakan faktor
pendukung keberhasilan suatu pekerjaan.
Usaha yang
bersemangat dalam mengerjakan sesuatu pekerjaan (virya) adalah kegigihan, keuletan merupakan salah satu faktor
pembentuk sikap kerja yang positif. Seseorang yang bersemangat dalam bekerja
akan menghasilkan kepuasan tersendiri. Semangat dalam bekerja akan meningkatkan
produktivitas yang akan mempengaruhi tingkat penghasilan. Meningkatkan
produktivitas sendiri bukan berarti bekerja lebih berat atau lebih lama, tetapi
dengan memperbaiki prosedur atau cara kerja dengan menambah sarana dan alat
dengan cara mendayagunakan teknologi yang canggih.
Memperhatikan
dengan sungguh-sungguh ketika melakukan suatu pekerjaan tanpa melalaikan (citta) adalah melakukan suatu pekerjaan
dengan lebih terarah, penuh perhatian dan tidak mengabaikan pekerjaan, karena
melalaikan sesuatu akan menyebabkan kerugian dan penderitaan. Bekerja dengan
baik dan benar akan memberikan ketenagan, menimbulkan kepuasan dan menambah
keuntungan.
Merenungkan
serta menyelidiki alasan-alasan atau cara-cara yang terbaik dari pekerjaan yang
sedang dikerjakan (vimamsa) adalah
melakukan instropeksi diri dalam bekerja. Pekerjaan menyimpan banyak
pendapatan, gagasan, ide baru yang tidak tampak mata tetapi akan tampak jelas
apabila dilakukan perenungan atau penyelidikan seksama terhadap pekerjaan
tesebut. Makin luas wawasan perenungan serta penyelidikan, makin lebar ide dan
gagasan yang dapat dujangkau dalam bentuk apapun. Mendapatkan penemuan batu
merupakan orang yang berjasa dalam mengembangkan pekerjaan atau hasil karya.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan hasil ide atau gagasan yang
baik dari orang yang penuh perhatian disertai perenungan dan penyelidikan
terhadap apa yang dikerjakan. Sehingga manusia dengan pekerjaan atau hasil
karyanya akan berkembang maju bersama-sama. Dengan perenungan dan penyelidikan
terhadap pekerjaan akan memperoleh hasil yang memuaskan dalam suatu pekerjaan.
3.
Penggunaan Sebagian
Kekayaan Sebagai Tabungan.
Penggunaan
sebagaian kekayaan sebagai tabungan untuk cadangan pada saat-saat sulit.
Tabungan yang berupa uang atau emas yang disimpan dapat dipergunakan dalam
keadaan darurat. Simpanan dibatasi tidak lebih dari seperempat bagian, dengan
pembatasan simpanan kelebihan harta dapat dipergunakan untuk kepentingan orang
lain dengan berbagi kebahagiaan atau untuk meningkatkan produktifitas. Alasan-alasan
untuk menimbun harta di dunia ini:
Harta seorang ditimbun dalam
dasar sebuah sumur
Ia berpikir bila ia membutuhkan bantuan, harta
yang di sana untuk menolong diriku
Untuk membebaskan diriku bila raja marah, atau
untuk uang tebusan kepada perampok
Bila ditahan sebagai
sandera, untuk melunasi utang-utang
Dalam keadaan sukar atau
celaka (Khp.8).
Menabung
merupakan suatu perbuatan yang hanya menguntungkan diri sendiri dan keluarga.
Dengan menabung harta seseorang akan terkumpul, namun tidak bermanfaat bagi
orang lain. Harta kekayaan termasuk emas, perak dapat musnah terbakar, kena
banjir, disita penguasa, dirampok, direbut oleh musuh, dihabiskan oleh ahli
waris yang boros. Harta dunia sifatnya tidak kekal, timbunan harta yang tidak
bisa habis:
Gemar beramal atau memiliki
prilaku yang baik.
Atau pandai menahan diri,
mengendalikan diri
Suatu timbunan jasa telah terkumpulkan dengan baik
oleh seorang pria maupun wanita
Dalam cetiya-cetiya atau
pada sangha
Pada Seseorang atau pada
tamu-tamu
Pada seorang ibu atau ayah
Bahkan pada seorang saudara
tua
Inilah sebuah harta yang
disimpan paling sempurna
Tak mungkin hilang
Diantara hal-hal yang
ditinggalkan
Jika harus meninggal ia
membawanya
Tak seorangpun
akan dapat mengambilnya (Khp.8).
Harta
duniawi bukan merupakan suatu yang utama, namun untuk mencapai kesejahteraan
hidup duniawi seseorang membutuhkan harta benda sebagai sarana untuk mencapai
kebahagiaan yang akan datang. Harta duniawi juga sebagai sarana untuk melakukan
kebajikan, karena untuk melakukan kebajikan membutuhkan pengetahuan dan keterampilan
yang dapat dicapai melalui pendidikan yang baik, pendidikan memerlukan modal
kekayaan. Dengan melakukan kebajikan akan menikmati kebahagiaan sekarang maupun
dikemudian hari. Untuk menikmati kebahagiaan sekarang maupun dikemudian hari,
perlu melakukan perlindungan diri sendiri dengan menolak segala kejahatan.
Melakukan perbuatan tercela dengan meminta bantuan atau berhutang kepada orang
lain dalam mengatasi kesulitan, lebih utama menyisihkan sedikit harta untuk
berjaga-jaga pada saat sulit menimpa.
Menabung
uang di bank berarti juga meminjamkan modal kepada orang lain, maka dibutuhkan
kejelian dan kewaspadaan. Buddha menjelaskan bahwa seorang yang mau meminjamkan
modal kepada orang yang dikenalnya selain pintar atau jeli (Cakkhuma), memiliki kesanggupan atau keahlian (vidhuro), dan dapat dipercaya (nissaya-sampanno),
sehingga sewaktu-waktu mengembalikan lebih sebagai imbalan atau keuntungan yang
didapat dari pinjaman modal tersebut (A.I.116).
Suatu pinjaman diberikan untuk menolong, maka pengembaliannya sewaktu-waktu
dengan pertimbangan kemampuan bayar.
Meminjamkan
modal kepada orang yang dikenal selain pintar atau jeli (cakkhuma), yaitu memberikan modal dan menabung uang di bank dengan
hati-hati, dengan menyelidiki atau mengenal karakter bank atau orang yang
diberi pinjaman modal, sehingga tidak tertipu. Pada jaman sekarang banyak orang
menipu dengan berbagai alasan, cara yang halus sehingga apabila tidak hati-hati
akan tertipu.
Memiliki
kesanggupan atau keahlian (vidhuro),
dimaksudkan orang yang diberi pinjaman modal mempunyai kesanggupan atau jaminan
untuk mengembalikan pinjamannya dan memiliki keahlian dalam usaha. Menabung
uang di bank juga memerlukan ketelitian, kewaspadaan, karena banyak sekali bank
yang belum bonavite dan belum
dijamin oleh pemerintah, sehingga kalau bank tersebut bermasalah penabung akan
mengalami kerugian. Pada jaman sekarang ini banyak bank yang menawarkan
tabungan baik yang berupa deposito maupun tabungan biasa dengan bunga yang
tinggi, namun jangan tergiur kewaspadaan dan ketelitian sangat dimanfaatkan
dalam hal ini.
Suatu
pinjaman yang diberikan untuk menolong, maka pengembaliannya dinyatakan
sewaktu-waktu, dengan pertimbangan kemampuan bayar. Pengembalian lebih dari
pinjaman atau tabungan sebagai bagi hasil atau bunga dibenarkan diterima,
sepanjang batas yang wajar. Bunga adalah tanda terima kasih, pembalas jasa atau
ganti rugi yang diberikan kepada seseorang yang meminjamkan modal. Dengan
meminjamkan uang kepada orang lain, seseorang tidak hanya menahan diri atau
menunda untuk memakainya sendiri, tetapi juga menghadapi beberapa resiko.
Resiko berupa kehilangan, atau berupa perubahan nilai sehubungan dengan
pengaruh waktu, termasuk adanya inflasi. Bunga sebenarnya ditentukan oleh
penawaran dan permintaan yang tidak bersifat memaksa. Sukar mengenali orang
yang memberi pertolongan sejati (pubbakari),
sukar pula menemukan orang yang menyadari akan pertolongan orang lain yang
telah diberikan kepadanya dan merasa berterima kasih ingin membalas budi (katannukatavedi)(A.I.86).
Sudah
menjadi sifat manusia, orang lebih senang menerima atau menikmati sesuatu yang
menyenangkan, baik itu jasa atau barang tanpa perlu menuggu lagi. Mau menunggu
bila perolehannya lebih besar dari yang bisa didapat segera. Jika seseorang
meminjamkan kepada pihak lain ataupun menabung, tentu mengharapkan hasil
kemudian lebih besar. Tetapi mengharapkan atau menuntut berlebihan, pertanda
tamak, jelas tidak dibenarkan. Pungutan atau bunga yang terlalu tinggi sama
saja dengan lintah darat, karena menindas dan melupakan maksud menolong. Orang
yang batinnya dikuasai oleh keserakahan dan keinginan rendah, akan melakukan
apa yang seharusnya tidak boleh dikerjakan dan akan lalai terhadap apa yag
seharusnya dikerjakan (A.II.66).
Tabungan dipergunakan untuk berjaga-jaga pada saat sulit dan tidak disalahgunakan,
untuk menambah modal untuk memupuk kekayaan pribadi.
Ada empat
kondisi yang menuntun seseorang untuk mencapai keberhasilan dan kebahagiaan di
dunia ini yakni: tingkat ketekunan, kewaspadaan, persahabatan atau persekutuan
dan keserasian hidup. Sedangkan kegiatan atau mata pencaharian seseorang dalam
segala keahlian, kecerdasan dan tak kenal lelah didukung akal yang tajam,
mempertimbangkan cara dan sarana, cakap mengatur dan melaksanakan tugasnya
itulah prestasi dan ketekunan. Suatu pekerjaan yang dilaksanakan dengan
kesungguhan dan tekat yang teguh, bekerja keras, akan memperoleh keberhasilan.
Dalam hal kewaspadaan apapun sukses yang diperolehnya secara sah, seseorang
akan berhemat dan mencegah terjadinya kerugian dan kehilangan. Sedangkan
persahabatan yang baik diperlukan tidak hanya dilingkungan kerja, tetapi juga
dilingkungan tempat tinggal selain itu juga memantapkan keyakinan, kebajikan,
kemurahan hati dan kearifan.
Penggunaan
kekayaan dengan membagi menjadi empat bagian yaitu sebagian untuk dibelanjakan
dan dinikmati, dua bagian untuk modal usaha dan sebagian untuk ditabung, ukuran
ini hanya berlaku untuk perumah tangga yang memiliki penghasilan yang sangat
besar seperti pengusaha yang telah sukses. Sedangkan perumah tangga yang
berpenghasilan kecil hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan
cara menempuh hidup yang serasi berarti “mengendalikan
keseimbangan antara penerimaan dan pengeluaran, sehingga tidak terguncang
pasang surut penghasilan” (A.VIII.6.53).
D. KESEJAHTERAAN EKONOMI RUMAH TANGGA
1. Kesejahteraan Keluarga
Kesejahteraan
Keluarga tercapai karena penataan ekonomi rumah tangga yang baik dan benar.
Tingkat kemajuan ekonomi Keluarga menurut
pandangan agama Buddha diukur dari pengalokasian kekayaan seperti yang
telah diajarkan oleh Sang Buddha. Buddha mengingatkan bahwa kebahagiaan karena
memiliki (atthi-sukha), adanya
kekayaan yang dapat dimanfaatkan (bhoga-sukha),
kebahagiaan itu pantas dinikmati karena tidak mempunyai utang (anana-sukha) dan tidak melakukan
pekerjaan atau perbuatan tercela (anavajja-sukha)
(A.III.68).
a. Kebahagiaan karena mimiliki (atthi-sukha), yaitu kebahagiaan karena
memiliki kesehatan, kekayaan, umur panjang, kecantikan, kesenangan, tanah
milik, kekuatan, Keluarga, anak-anak. Kebahagiaan yang diaraih karena usaha
sendiri dengan keras, sekuat tenaga serta kemauan yang kuat Memiliki kekayaan
atau harta benda, maka dapat terhindar dari munculnya pikiran-pikiran atau
perbuatan-perbuatan yang tidak baik, seperti penipuan, pencurian, perampokan,
penculikan, penjualan wanita dan anak-anak. Selain itu dapat terhindar dari
perasaan gelisah atau cemas dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, dapat
memenuhi kebutuhan hidup keluarga seperti biaya pendidikan anak, kebutuhan
sandang dan pangan, biaya pengobatan apabila sakit.
b. Adanya kekayaan yang dapat dimanfaatkan (bhoga-sukha), yaitu setiap perumah
tangga pada umumnya berharap untuk menikmati sendiri. Kenikmatan kekayaan hanya
terletak pada penggunaan untuk diri sendiri, tetapi juga untuk kesejahteraan
pihak lain. Apabila seseorang yang memiliki harta kekayaan, namun tidak dapat
menikmati kekayaan itu maka tidak akan merasakan kebahagiaan. Misalnya karena
sakit, makannya dibatasi dengan makanan tertentu, atau karena terlalu pelit,
sehingga dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dilakukan dengan sangat
dibatasi. Maka orang seperti itu tidak akan bahagia memiliki kekayaan yang
berlimpah-limpah, karena hidupnya seperti orang miskin.
c. Tidak mempunyai hutang (anana-sukha) yaitu suatu sumber
kebahagiaan yang lain. Puas dengan apa yang dimiliki dan hemat, tidak perlu hutang
pada siapapun untuk memenuhi kebutuhan dengan berhutang tidak membuat bahagia
karena dalam tekanan memenuhi kewajiban pada kreditur. Hidup sederhana, bebas
dari hutang akan hidup bahagia dan sejahtera secara batiniah.
d. Menjalankan kehidupan yang tanpa cela (anavajja-sukha)
adalah suatu sumber kebahagiaan yang terbaik bagi perumah tangga. Seorang yang
tanpa cela merupakan berkah bagi dirinya dan pihak lain. Seseorang yang
berpikir mulia hanya memperhatikan kehidupan yang tanpa cela dan tidak terpengaruh
oleh penerimaan pihak luar, tidak melekat dengan kesenangan-kesenangan materi.
Untuk
mencapai kesejahteraan dalam rumah tangga, seseorang dalam menjalankan roda
kehidupan mengacu pada tujuh syarat
kesejahteraan suatu Negara seperti yang diajarkan oleh Sang Buddha.
Tujuh syarat kesejahteraan :
Selama suku vajji kerap kali berkumpul dan
mengadakan banyak pertemuan.
Selama mereka bertemu dalam persatuan,
berkumpul dalam persatuan dan melaksanakan tugas mereka dalam persatuan.
Selama mereka tidak membuat suatu
peraturan, bertindak sesuai dengan dasar-dasar suku Vajji yang telah
dikembangkan.
Selama
mereka mendukung, menghargai. Menghormati dan memuji tua-tua Vajji yang
lebih tua dan memperhatikan nasehat berharga mereka.
Selama tidak ada wanita atau gadis dalam keluarga
mereka diambil dengan paksa atau diculik
Selama mereka mendukung, menghargai,
memuji, menghormati obyek pemujaan dalam batin dan perbuatan dan tidak
mengabaikan upacara yang telah diselenggarakan sebelumnya
Selama melindungi, membela dan mendukung
para Arahat dengan benar dilaksanakan suku Vajji, sehingga para Arahat yang
belum dating akan memasuki alamnya dan mereka yang sudah masuk dalam alamnya dapat
hidup dengan damai selama itu dapat diterapkan suku Vajji tidak akan runtuh,
melainkan sejahtera (D.II.91).
Perumah
tangga yang menerapkan tujuh syarat kesejahteraan dalam keluarganya akan
mencapai kesejahteraan kesejahteraan. Syarat kesejahteraan dalam rumah tangga
saling terbuka, saling menghargai, selalu mengadakan musyawarah, puas dengan
apa yang dimiliki, tidak serakah, tidak ada rahasia yang disimpan diantara
angota keluarga, dan tidak mengabaikan kepentingan pihak lain. Dalam pengaturan
ekonomi juga terbuka di antara anggota keluarga
tidak ada hal yang disembunyikan.
Perumah
tangga yang menginginkan keberhasilan dalam kehidupan ini secara materi, dengan
merapkan prinsip-peinsip Dhamma dan mencapai batin yang lebih baik. Hal itu
akan tercapai apabila memiliki keyakinan (sadha),
moral kebajikan (sila), kemurahan
hati (caga), dan kebijaksanaan (panna). (A.II.66).
Keyakinan (sadha) adalah keyakinan terhadap
kebenaran Dhamma yang diajarkan oleh Sang Buddha, keyakinan yang teguh dan
kuat, bukan keyakinan yang membabi buta, tetapi keyakinan yang berdasarkan pada
hal-hal yang masuk akal dan secara akal sehat dapat dibuktikan. Keyakinan dan
kebijaksanaan sangat penting, karena sakan menjadi benteng diri, agar tidak
tenggelam dalam permainan nafsu duniawi maupun keserakahan. Orang yang telah
menjadi kaya, tetapi tidak mempunyai keyakinan akan berbahaya, karena dapat
terjerumus ke dalam kebencian dan keserakahan.
Moral
kebajikan (sila) perlu dimiliki
karena manusia adalah makhluk sosial, yang selalu beinteraksi dan dibatasi oleh
hukum Negara dan hukum agama. Buddha mengajarkan moral bukan untuk melarang untuk
melakukan kejahatan, tetapi memberikan
rambu-rambu kepada manusia agar menjadi sadar dan dapat membedakan antara yang
baik dan yang buruk. Dengan melaksanakan sila, dapat menghindari perbuatan
buruk, sehingga terlatih dan perbuatan baik akan berkembang.
Kemurahan
hati (caga) yang berdasarkan kasih
sayang adalah ladang yang subur untuk berbuahnya benih kamma baik. Dengan
kemurahan hati, dapat mematahkan kejahatan, keserakahan dalam kehidupan
seseorang. Kemurahan hati juga penting sebagai persiapan apabila setelah
memperoleh kekayaan dapat bermanfaat untuk diri sendiri, keluarga, sanak
keluarga, teman, bawahan dan untuk berbuat kebajikan untuk para leluhur.
Kebijaksanaan
(panna) merupakan dasar dari
perkembangan mental, moral, spiritual dan intelektual seseorang. Kebijaksanaan
akan muncul dari pengalaman teori baik dan dari pengalaman melaksanakan ajaran
Buddha. Kebijaksanaan penting untuk dikembangkan agar setelah berhasil tidak
mengabaikan kepentingan mhkluk lain.
Kesejahteraan
ekonomi seabagai suatu syarat bagi kenyamanan manusia, tetapi pengembangan
moral dan spiritual adalah syarat kehidupan yang bahagia, damai dan memuaskan.
Untuk mencapai kesejahteraan, kemakmuran, kemasyuran serta kekayaan ada empat
syarat yang dipenuhi dalam kehidupan ini. Hidup di daerah yang sesuai, bergaul
dengan orang yang baik, menyiapkan diri dengan baik dan jasa yang dikumpulkan
dalam kehidupan yang lampau (A.II.32).
Hidup di daerah
yang sesuai merupakan lingkungan tempat tinggal sangat mempengaruhi kehidupan
seseorang. Untuk mendapatkan kemakmuran dan ketenangan dalam hidup berkeluarga
diperlukan tempat tinggal yang baik yang dapat mendukung sumber penghasilan,
atau mudah dalam mencapai pekerjaan dan daerah itu bukan daerah sarang
kejahatan. Gaya hidup manusia tidak hanya datang dari diri sendiri namun
pengaruh lingkungan sangat berperan dalam kehidupan. Gaya hidup dari pola
makan, cara berbusana, penampilan dipengaruhi oleh lingkungan tempat tinggal, maka
dibutuhakan keteguhan, dan pendirian yang kuat untuk mempertahankan diri supaya
tidak terpengaruh pada lingkungan. Apabila kurang pengendalian diri akan mudah
tergiur pada pola hidup di lingkungan tempat tinggal.
Bergaul
dengan orang-orang baik sangat mendukung dalam pencapaian kemakmuran dan
kesejahteraan. Bergaul dengan orang yang baik yaitu bergaul dengan orang yang
dapat dijadikan sahabat yang baik yang dapat menolong apabila sedang
mendapatkan kesulitan, yang dapat menasehati apabila melakukan perbuatan yang
tidak baik dan dapat dijadikan tempat untuk membagi suka dan duka. Orang yang
baik memiliki moral yang baik dan pebuatan yang baik pula sehingga bergaul
dengan orang yang baik akan membuat hidup menjadi nyaman, aman dan tentram.
Menyaipkan
diri dengan baik adalah menyiapkan moral dan spiritual yang baik yang disertai
keyakinan sehingga dapat menghadapi segala macam tantangan kehidupan. Seseorang yang menginginkan kesejahteraan
persiapan diri diawali dari melakukan perbuatan yang baik, menjalankan sila,
berdana kepada orang yang membutuhkan sehingga dalam kehidupan sekarang maupun
yang akan datang akan mencapai kemakmuran dan kesejahteraan.
Jasa yang
dikumpulkandalam kehidupan lampau adalah timbunan-timbunan kamma-kamma baik di
waktu yang lampau. Kamma baik masa lampau seseorang sangat mendukung
keberhasilan dalam mencapai kesejahteraan hidup. Seseorang yang dalam kehidupan
lampau suka berdana, gemar melakukan kebajikan akan memperoleh kesejahteraan,
kemakmuran dan kekayaan dalam kehidupan ini, dan dapat membuat Keluarga hidup
makmur dan berkecukupan. Begitu pula apabila dalam kehidupan sekarang gemar
melakukan perbuatan baik sebagai akibatnya juga menerima kebaikan baik dalam
kehidupan sekarang maupun dalam kehidupan yang akan datang.
Empat
syarat tersebut yang harus dipenuhi apabila mendambakan kesejahteraan dan kemakmuran
serta kemasyuran dalam keluarga. Tetapi apabila orang gagal dalam usaha untuk
mencapai tujuan maka yang dilakukan
menghibur diri dengan berkata “bahwa ia harus mengerahkan segala apa
yang telah diperbuatnya, tidak berputus asa melainkan berpikir”, menggunakan
kemampuan untuk mendapatkan kesejahteraan. Apabila memenuhi syarat-syarat untuk
mencapai kemakmuran, kemasyuran, kekayaan, untuk menempuh hidup bahagia dan
sejahtera, maka kemungkinan gagal sangat kecil.
Seseorang
yang menjalani kehidupan perumah tangga menginginkan tercapainya kesejahteraan
dan kebahagiaan dunia. Untuk mencapai kebahagian duniawi ada empat hal yang
mendukung: ketekunan (utthana sampada),
kewaspadaan (arakkha sampada),
ketekunan (kalyana mittata) dan hidup
seimbang (samajivita) (A.IV.281).
Ketekunan (utthana sampada) adalah terampil,
efisien dan bersungguh-sungguh dan bersemangat dalam profesi apapun yang
dijalani. Di dalam mengerjakan tugas dan pekerjaan, jauhkan perasaan suka dan
tidak sukan, senang dan tidak senang, ketika manerima tugas, namun tugas
dikerjakan dengan rajin dan bersemangat. Salah satu kegagalan manusia yang
utama karena terlalu banyak mengeluh, malas dan tidak bersemangat. Pekerjaan
yang dikerjakan dengan semangat, teliti dan penuh perhatian akan membawa
perbaikan di kemudian hari. Orang yang terampil dan produktif, mampu menerapkan
manajeman yang baik untuk mengolah pekerjaan dengan gembira, rajin, teliti dan
penuh tanggung jawab akan segera menghasilkan buah.
Sahabat
yang baik (kalyana mittata) adalah
sahabat yang selalu menasehati untuk melakukan perbuatan yang baik, dan
mengingatkan agar tidak melakukan hal yang tidak bermanfaat. Di dunia ini
sangat sulit ditemukan seorang sahabat yang baik, maka diperlukan kewaspadaan
dalam memilih teman.
Hidup
seimbang (samajivita) adalah hidup
yang serasi dapat mengatur keseimbangan antara pengeluaran dengan pendapatan.
Pengeluaran tidak melampaui pendapatan, juga tidak terlalu sedikit atau pelit
sehingga tidak ada orang yang mau bergaul. Jadi pengeluaran disesuaikan dengan
anggaran berdasarkan situasi dan kondisi ekonomi, dalam kehidupan sehari-hari
dengan demikian kesejahteraan keluarga akan tercapai .
2. Sejahtera karena hidup sederhana
Hidup
sederhana adalah hidup yang sesuai dengan batas
kemampuan, tidak banyak menuntut, tidak berkeinginan hidup mewah,
maupaun kaya tetapi batas kemampuan tidak mencukupi sehingga batin dan perasaan
tidak tenang dan terbelenggu oleh keinginan. Hidup seadanya tidak mengada-ada,
sesuai dengan kemampuan penghasilan yang diperoleh dalam kehidupan sehari-hari
akan membawa pada ketenangan dalam kehidupan keluarga, tidak saling menuntut
kemauan masing-masing anggota keluarga yang tidak sesuai dengan kondisi ekonomi
keluarga, melainkan disesuaikan dengan kemampuan. Perumah tangga dianjurkan
untuk hidup sederhana sesuai dengan batas kemampuan yang dimilikinya (A.IV.281).
Kesederhanaan
dalam kehidupan berumah tangga merupakan kuci kesuksesan dalam menjalan roda
perekonomian dalam suatu keluarga. Keluarga seorang Buddhis perlu mencontoh
kesederhanaan yang dilaksanakan oleh para bhikkhu, yang merasa puas dengan
empat kebutuhan pokoknya dalam kehidupan sehari-harinya.
Kekayaan
bukan sutau ukuran kesejahteraan suatu keluarga, orang kaya diukur dari
seberapa banyak uang atau barang yang
dimiliki dan kehidupan mewah yang dinikmati. Namun banyak orang kaya yang
berhutang untuk menjadi kaya. Kekayaan duniawi bukan ukuran kebahagiaan, karena
orang kaya belum tentu menikmati kebahagiaan sepanjang waktu, tanpa diganggu
kekawatiran, kemarahan, penyakit dan penderitaan lain. Buddha Gotama tanpa
tahta dan tanpa harus memiliki kekayaan pribadi diakui lebih bahagia dan dapat
mempertahankan kebahagiaan sepanjang waktu (M.I.94).
Kesejahteraan
dalam kehidupan perumah tangga bukan didapat dari kekayaan, melainkan dari
kesederhanaan dan pengaturan ekonomi yang baik. Pengaturan ekonomi tidak akan
berhasil dengan baik apabila tidak disertai dengan gaya hidup sederhana.
Kesederhanaan tidak hanya menandai gaya hidup anggota Sangha tetapi juga
mempengaruhi gaya hidup perumah tangga. Seorang raja, penguasa atau pemimpin
yang bijaksana, seharusnya hidup sederhana. Kesederhanaan adalah salah satu
dari kewajiban Raja (Ja.III.274).
Seseorang
mungkin hidup sederhana karena terpaksa, namun seorang pengikut Buddha hidup
sederhana asketis karena memang menghargai nilai-nilai kesederhanaan, walau
sangat kaya, gaya hidupnya tidak mewah berlebihan. Menjadi orang modern pun
tetap sederhana, kesederhanaan merupakan obat mujarab bagi penyakit modern.
Kesederhanaan menjauhkan seseorang dari keserakahan atau keinginan yang
berlebihan. Dengan memiliki sedikit keinginan membebaskan diri dari hawa nafsu,
batin dan jasmani akan tenang. Meraka yang mampu hidup bersahaja lewat
pengendalian rangsangan indra menikmati kepuasan seperti yang dialami oleh para
dewa, sehingga tidak sampai terbakar oleh hawa nafsu (M.I.505).
Kesederhanaan
memiliki kaitan dengan tanpa kekerasan, karena sumber daya fisik dimana-mana terbatas,
orang yang memenuhi kebutuhannya dengan jalan menggunakan sumber daya sedikit
mungkin, maka permusuhan dengan pihak lain berkurang dibanding dengan
orang-orang yang menggunakan sumber daya yang lebih banyak. Pemeluk Buddha
memandang hakikat peradapan itu bukan di dalam berlipat gandanya kebutuhan
melainkan di dalam memurnikan watak manusia.
Pemikiran
Buddhis yaitu menacapai kesejahteraan setinggi mungkin dengan konsumsi sedikit
mungkin yang diaplikasikan dalam gaya berbusana. Tujuan orang berpakaian yaitu
untuk melindungi tubuh dan supaya enak dipandang mata, dapat dicapai secara
efisien. Berpakaian secara sederhana bukan berarti berpaian lusuh dan jelek,
namun memakai pakaian yang modelnya sederhana dan pantas. Kesejahteraan hidup
dalam rumah tangga dapat dicapai dengan cara hidup sederhana dalam gaya hidup
dari berpakaian, makan dan penampilan dalam kehidupan sehari-hari.
Kesederhanaan
bukan berarti kemiskinan, orang miskin yang menghadapi kesulitan mudah terlibat
hutang. Bila terlibat hutang harus membayar cicilan dan bunganya, ketika tidak
mampu membayar tagihan yang sudah jatuh tempo ia tetap dipaksa membayar. Jika
tidak membayar, akan mengalami tekanan, disakiti dan akhirnya ini menyerupai
apa yang terjadi pada orang yang tidak memiliki keyakinan dan kehati-hatian,
tidak takut berbuat salah, tidak bersemangat, tidak memiliki pengetahuan
tentang hal-hal yang benar, sehingga melakukan kejahatan melalui pikiran,
ucapan dan tindakan (A.III.352).
Seseorang
yang telah terlilit hutang dan tidak mampu membayar akan melakukan
perbuatan-perbuatan yang tidak terpuji seperti menipu, mencuri dan merampok.
Dengan memiliki banyak utang orang juga bisa berbuat nekat melakukan
pembantaian dan bunuh diri karena ketakutan dikejar-kejar oleh kreditur.
Mempunyai
hutang seringkali mengganggu ketentraman
batin. Buddha menghubungkan utang dengan rintangan bathin, seperti
halnya penyakit atau penjara, perbudakan dan perjalanan yang berbahaya melalui
hutan yang angker (D.I.72-73). Hutang
mungkin membuat seseorang memiliki kekayaan dan dengan memanfaatkan kekayaan
tersebut orang bisa merasa senang. Tetapi kalau tidak hati-hati dalam
menggunakan hasil pinjaman atau utang akan membuat hidup seseorang menjadi
lebih menderita dan bisa menjadi bangkrut. Lilitan hutang sering kali membuat
orang miskin bertambah menjadi miskin dan semakin terjerumus dalam penderitaan.
Dengan hidup sederhana, apa adanya dan hati-hati akan membuat perumah tangga
hidup sejahtera, tanpa harus terlibat dalam hutang.
E. PENUTUP
Manajenen ekonomi rumah tangga menurut pandangan agama
Buddha adalah penggunaan kekayaan secara efektif menurut agama Buddha. Penggunaan
kekayaan sebanding antara pendapatan dan pengaluaran, pengaluaran tidak lebih
besar dari pendapatan. Bagi perumah tangga yang menjadi pengusaha dengan
penghasilan yang sangat besar, kekayaan yang diperoleh dengan sah dan benar,
tanpa keserakahan, kekerasan dipergunakan dengan cara membagi empat bagian,
sebagian dipergunakan untukdibelanjakan dan dinikmati, dua bagian dipergunakan
untuk modal usaha dan sebagian ditabung untuk cadangan pada saat sulit (D.III.188).
Penggunaan
kekayaan untuk dibelanjakan atau dinikmati, dengan efektif tidak dihambur-hamburkan. Pembelanjaan
disesuaikan dengan kebutuhan sehari-hari dengan penuh kewaspadaan dengan
mempertimbangkan kesehatan dan kepentingan pihak lain, tanpa keserakahan.
Penggunakana
kekayaan sebagai modal usaha akan lebih bermanfaat, maka diberi porsi lebih
banyak. Kekayaan yang dipergunakan sebagai modal usaha akan bermanfaat bagi
diri sendiri dan orang lain, karena dipergunakan untuk menambah unit produksi,
dimana dengan bertambahnya unit produksi akan bertambah pula lapangan kerja
baru sehingga lebih banyak orang yang mendapat pekerjaan.
Penggunaan
kekayaan sebagai tabungan, bermanfaat untuk berjaga-jaga pada saat sulit. Kekayaan dipergunakan sebagai tabungan lebih cenderung
dipergunakan untuk diri sendiri, namun apabila terjadi hal-hal yang tidak
diharapkan tabungan itu dapat dimanfaatkan dengan mudah.
Perumah
tangga yang memiliki penghasilan kecil, dengan menjaga keseimbangan antara
pengeluaran tidak melebihi dari pemasukan, juga menyisihkan sedikit dari
penghasilan sebagai tabungan untuk
berjaga-jaga apabila terjadi sesuatu di kemudian hari. Menempuh hidup serasi
berarti mengendalikan keseimbangan anatar penerimaan dan pengeluaran, sehingga
tidak terguncang pasang surutnya penghasilan (A.VII.6.53).
Kesejahteraan
hidup berumah tangga diperoleh dari cara pengaturan ekonomi yang baik, dengan
cara mengembangkan gaya hidup sederhana. Kesederhanaan bukan berarti
kemiskinan, melainkan gaya hidup yang apa adanya tidak terlalu mewah.
Manajemen
ekonomi rumah tangga diharapkan untuk dilaksanakan bagi setiap perumah tangga.
Manajemen ekonomi rumah tangga yang dilaksanakan oleh setiap perumah tangga, akan membawa pada kesejahteraan hidup dengan
berpola hidup sederhana, tidak mementingkan diri sendiri, namun juga
mengutamakan kesejahteraan pihak lain.
Perumah
tangga yang melaksanakan pengaturan
ekonomi rumah tangga menurut pandangan agama Buddha, akan selalu waspada dan hati-hati dalam
menggunakan kekayaan, penuh pengendalian diri, sehingga pengeluaran lebih kecil
dari pendapatan dan dapat terkontrol dengan baik.
Penelitian
Manajemen Ekonomi Rumah Tangga Menurut Pandangan Agama Buddha bersifat
deskriptif studi kepustakaan, masih
bersifat teoritik, maka disarankan agar dilaksanakan terapan dengan obyek
penelitian yang sama.
RUJUKAN
Dhammapada Atthakata, Kisah-kisah Dhammapada, dipublikasikanoleh Samvara, 2005. Medan:
Bodhi Buddhis Centre Indonesia.
Dialogues Of The Buddha (Digha-Nikaya). Transleted T.W. & AF. Rhys. Davids,
1977. London, The Pali Texs Society.
Dialogues Of The buddha (Digha-Nikaya). Transeleted Vorious Oriental
Scholars.1989. Oxford: The Pali Texs Society.
Esiklopedi
Nasional Indonesia. 1990.
Jakarta: PT. Cipta adi Pustaka.
Sivakasa,
Sulak.2001. Benih Perdaian. Jakarta:
Yayasan Pencerahan dan Himpunan Mahasiswa Buddhis Indonesia.
Sutta-Nipata, Kitab Suci Agama Buddha, alih bahasa Lanny Anggawati dan Wena
Cintiawati, 1999. Klaten: Vihara Bodhivamsa.
Stories Of The Buddha’s (Jataka). Transleted EB. Cowell, 1981. London: The Pali
Texs Society.
The Book Of Gradual saying (Anguttara-Nikaya) . Transleted FL. Woodward, 1989. Oxford:
The Pali Texs Society.
The Book Of Gradual Saying ( Anguttara-Nikaya), Transleted FL. Woodward, M.A. 1986.
London: The Pali Texs Society.
The Book Of Gradual Saying (Angguttara-Nikaya), Transleted FL. Woodward, M.A. 1982.
London and Boston: The Pali Texs Society.
The Book Of Gradual Saying (Anguttara-Nikaya) Vol
IV, Transleted by Hare E,M. 1989. Oxford : The Pali Texs Society.
The Book Of The Kindred Saying (Samyutta-Nikaya) Part
IV. Transleted By FL. Woodward, 1980. London: The Pali Texs Society.
The Book Of The Discipline (Vinaya-Pitaka), transeted I.B. Honer.1975. London: The
Pali Texs Society.
The Midle Length Sayings (Majjhima-Nikaya), Transeted I.B.Horner,M.A., 1989.Oxford:
The Pali Texs Society.
The Minor Readings (Khuddakapatha), Transleted Bhikkhu Nanamolo, 1978.
London: The Pali Texs Society.
Wijaya-Mukti,
Krisnanda. 2003. Wacana Buddha Dharma.
Jakaerta: yayasan Dharma Pembangunan dan Ekayana Buddhis Centre.
Wijaya-Mukti,
K.2003. Berebut Kerja berebut Surga.
Jakarta: Yayasan Dharma Pembangunan.
Wowor, Cornelis, 2004. Pandangan Sosial Agama Buddha, Jakarta: CV Nitra Kencana Buana
No comments:
Post a Comment