Saturday 3 September 2011

MANAJEMEN EKONOMI MENURUT AGAMA BUDDHA


MANAJEMEN EKONOMI MENURUT AGAMA BUDDHA
Oleh: Lasino
A.  Pendahuluan
Kehidupan sebagai perumah tangga bertanggung jawab terhadap keluarga tidak  terlepas dari persoalan ekonomi, maka diperlukan cara  mengatur ekonomi rumah tangga, untuk mencapai kesejahteraan hidup. Buddha tidak mengajarkan ilmu ekonomi, tetapi prinsip moral dan agama yang diajarkan-Nya, melatar belakangi ilmu ekonomi bagi pemeluk agama Buddha. Ekonomi Buddhis adalah cara memperoleh kekayaan dengan memiliki mata pencaharian yang benar dan menggunakan dengan cara yang benar pula. Kehidupan dalam agama Buddha ada dua pilihan yaitu hidup sebagai perumah tangga dan kehidupan sebagai samana. Perumah tangga penyokong keluarga dan kehidupan petapa tidak memiliki ikatan keduniawian (Sn.220). Kehidupan perumah tangga memiliki ikatan-ikatan duniawi, keterikatan pada anak, istri dan harta kekayaan jauh lebih kuat dari belenggu yang dari besi, kayu ataupun tali jerami (Dhp.345).
Ilmu ekonomi agama Buddha dipandang berbeda dengan ilmu ekonomi yang berdasarkan materialisme modern. Penganut Buddha mengutamakan pada pembebasan, sedangkan kaum materialisme berminat pada barang. Buddha mengajarkan Jalan Tengah,  bukan    berarti    memusuhi kesejahteraan materiil. Harta bukan  merupakan  penghalang  untuk  mencapai pembebasan,  namun  keterikatan  pada  kekayaan  itu  yang  menimbulkan  penghalang, mengalami segala yang dinikmati tidak salah, tanpa kehausan akan yang dinikmati (Wijaya-Mukti.2003.402).
Ekonomi Buddhis tidak mengukur segalanya dengan uang, namun dasar ekonomi Buddhis adalah kesederhanaan dan tanpa kekerasan. Ekonomi modern menganggap konsumsi dan faktor-faktor produksi, tanah, buruh dan modal sebagai alat. Ilmu ekonomi modern berusaha memaksimalkan konsumsi dengan pola produksi yang optimal (Wijaya-Mukti.2003.402).
Pemikiran Buddhis memaksimumkan kepuasan manusia dengan pola konsumsi optimal, perumah tangga yang giat bekerja, mengumpulkan kekayaan dipergunakan untuk menimbun jasa kebajikan. Perumah tangga yang pada masa mudanya tidak menjalankan kehidupan suci, tidak juga mengumpulkan kekayaan, akan merana seperti bangau tua yang tinggal di kolam tanpa ikan (Dhp.155). Kesucian dan kekayaan merupakan dua hal yang  tidak bertentangan, kehidupan  spiritual dan material saling menunjang dan mendukung.
Kegiatan mengumpulkan uang tidak berhubungan dengan agama, namun orang bisa taat beragama dengan harapan mendapatkan berkah berupa kekayaan. Agama tidak hanya memberi kekayaan rohani bagi penganutnya, tetapi juga menjanjikan kekayaan duniawi. Setiap manusia wajar mengharapkan kekayaan, nama baik atau kedudukan, berumur panjang dan setelah meninggal dunia terlahir di surga. Keempat hal itu akan dapat diperoleh pada waktunya dengan memiliki keyakinan, moral kebajikan, kemurahan hati dan kebijaksanaan (A.IV.281-283).
 Perumah tangga dalam mengatur ekonomi yang diperoleh dengan cara seimbang tidak melebihi dari penghasilan. Perumah tangga yang menjadi seorang pengusaha atau memiliki penghasilan yang basar dengan membagi kekayaan seperti yang diajarkan oleh Sang Buddha. “Kekayaan yang diperoleh dibagi menjadi empat bagian, sebagian dibelanjakan untuk kebutuhan sehari-hari, dua bagian digunakan untuk modal usaha, sebagian untuk ditabung untuk berjaga-jaga pada saat sulit” (D.III.188).
Perumah tangga memperoleh kekayaan dengan bekerja keras dan digunakan dengan sebaik-baiknya. Penggunaan kekayaan dimanajemen dengan baik sehingga kesejahteraan keluarga tercapai,  kemajuan  ekonomi rumah tangga diukur dari fakta penalokasian kekayaan seperti yang diajarkan Sang Buddha.
Kekayaan yang diperoleh dengan benar, dibelanjakan dengan penuh kewaspadaan, sesuai dengan kebutuhan dengan mempertimbangkan kesehatan dan mendahulukan kebutuhan primer daripada kebutuhan sekunder. Makanan, bahkan yang berupa sisa sekalipun, pantang disia-siakan, perbuatan membuang bilasan periuk atau mengkuk yang dicuci disungai dan kolam dengan harapan makhluk-makhluk di dalamnya mendapatkan makanan, diakui akan menghasilkan kebajikan (A.I.16).
Penggunaan kekayaan dengan cara yang benar, tanpa kekerasan, akan memperoleh kesenangan dan kenikmatan bagi diri sendiri,  membaginya dengan orang lain, serta melakukan perbuatan-perbuatan terpuji, mengunakan tanpa keserakahan, tanpa keterikatan, bebas dari kejahatan, waspada dan tiada tercela (S.IV.332).
Tabungan untuk berjaga-jaga dalam menghadapi bencana kebakaran, kebanjiran, kehilangan, tekanan penguasa, musuh, simpanan dibatasi seperempat bagian  kelebihan harta menjadi bagian yang dipergunakan untuk kepentingan orang lain, dengan berbagai kebagi kebahagiaan atau meningkatkan produktivitas.  Bagian kekayaan lebih bermanfaat digunakan untk menambah unit produksi atau modal usaha, membuka lapangan kerja baru ketimbang hanya dijadikan simpanan saja.
Penggunaan kekayaan yang sesuai dengan ajaran Buddha  diterapkan setiap perumah tangga, kesejahteraan ekonomi keluarga akan dicapai. Tingkat kemajuan ekonomi keluarga, menurut pandangan Buddhis diukur dari pengalokasian kekayaan seperti yang diajarkan oleh sang Buddha. Buddha mengingatkan, bahwa kebahagiaan karena memiliki usaha sendiri ( Atthi-sukha), adanya kekayaan yang dapat dimanfaatkan (bhoga-sukha), kebahagiaan itu pantas dinikmati karena tidak mempunyai utang ( anana-sukha) dan tidak melakukan pekerjaan atau perbuatan yang tercela (anvajja-sukha) (A.III.68 ).
Berdasarkan uraian di atas yang menjadi penyebab penderitaan rumah tangga adalah manajemen ekonomi yang tidak matang, sehingga perumah tangga dalam menggunakan kekayaan, pembelanjaan melebihi penghasilan. Manajemen ekonomi rumah tangga bertujuan untuk mengatur penggunaan penghasilan dengan cara seimbang untuk mencapai kesejahteraan hidup keluarga. Di dalam agama Buddha mencapai kesejahteraan ekonomi dalam rumah tangga untuk menopang kesejahteraan spiritual yang merupakan salah satu sarana untuk mencapai pembebasan.
B.     TINJAUAN EKONOMI BUDDHIS
Sebelum penulis mendifinisikan tentang ekonomi terlebih dahulu penulis akan mengetengahkan beberapa pendapat dari beberapa ahli. Ekonomi adalah “pengetahuan dan penyelidikan mengenain asas-asas penghasilan (produksi), pembagian (distribusi) dan pemakaian barang-barang serta kekayaan, urusan rumah tangga dan kehematan” (Poerwadarminta.1987.267). Kata ekonomi berasal dari kata “oekosnomos yaitu pengelolaan rumah tangga” (Wijaya-Mukti.2003.392). Jadi ekonomi adalah pengelolaan penghasilan, pembagian dan pemakaian barang-barang serta kekayaan dalam rumah tangga.
1.  Pengertian Ekonomi Menurut Buddhis.
Prinsip-prinsip ekonomi dalam tradisi Zen diungkapkan “Tidak ada brang satupun yang menyamai makan dan berpaiakan. Diluar itu tidak ada Buddha ataupun Patriak”. Penghayatan dan penyembpurnaan batin yaitu realisasi Dhamma, diperoleh dari kehidupan sehari-hari. Menurut Han Shan dalam syairnya yang dipetik oelh Krisnanda Wijaya-Mukti ( 391) mengemukakan:
Berbicara tentang makanan tak akan mengenyangkan perutmu
Menggerutu tentang pakaian tak akan menghangatkan tubuh
Hanya semangkok nasi yang dapat membuat perutmu kenyang
Cuma diperlukan sepotong pakaian membuat hangat badan
Tetapi tidak berhenti untuk berbincang tentang maslaha ini
Engkau terus berkata bahwa Buddha sukar ditemukan
Tariklah pikiranmu ke dalam. Di sanalah ditemukan
 Mengapa mencarinya keluar?

Ekonomi pada umumnya menfokuskan perhatian kepada kepentingan manusia, sehingga sering melanggar kepentingan makhluk lain. Ekonomi selalu berpengaruh pada ekologi dan ekologi mempengaruhi ekonomi. Agama Buddha bertujuan untuk mensejahterakan hidup semua makhluk, sehingga berkepentingan terhadap ekonomi dan ekologi, Ekonomi menyangkut makanan, pakaian dan sumber daya alam yang tersedia.
Manusia memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup dengan menggunakan akal budaya. Akal budaya yang dikembangkan dengan baik mendorong manusia untuk mencari nafkah atau pendapatan yang dapat dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Mencari nafkah hanya dapat diperoleh dengan bekerja dan berkarya.
Ilmu ekonomi secara implisit maupun eksplisit mengetahui adanya perjuangan untuk hidup, yaitu persaingan bebas. Dalam teori Adam Smith, persaingan bebas adalah persaingan pengusaha dan masyarakat umumnya. Buddhis menghindari persaingan bebas yang tidak sehat, pertikaian menciptakan situasi menang dan kalah. Dalam perselisihan akan binasa (Dhp.6).
Buddha tidak mengajarkan ilmu ekonomi, tetapi prinsip moral dan gama yang diajarkan melatar belakangi ilmu ekonomi pemeluk agama Buddha. Prinsip-prinsip ini bisa tidak dipahami secara totalitas, tidak komperehensif diterapkan dalam kegiatan ekonomi sehari-hari. Sumacher menyimpulkan bahwa ilmu ekonomi agama Buddha itu pasti ada. Mata pencaharian atau penghidupan yang benar adalah salah satu unsur dari jalan mulia berunsur delapan di dalam agama Buddha.
Perumah tangga yang menjalankan penghidupan benar tidak akan merugikan mahkluk lain. Mata pencaharian yang baik tidak mencelakakan, tidak menyakiti atau membuat pihak lain menderita. Buddha memperhatikan baik buruknya suatu barang diperdagangkan, sehubungan dengan ajaran sila. “Lima perdagangan yang harus perlu dihindari yaitu berdagang senjata, mahkluk hidup, daging, minuman keras dan racun” (A.III.207).
Ekonomi Buddhis tidak mengukur segalanya dengan uang, namun ekonomi Buddhis adalah kesederhanaan dan tanpa kekerasan. Namun kesederhanaan dalam sistem ekonomi Buddhis tidak identik dengan kemiskinan. Menanggulangi kemiskinan merupakan prioritas utama yang dilakukan oleh perumah tangga yang baik dengan memiliki penghidupan yang benar. Kemiskinan dan kemelaratan mendatangkan berbagai bentuk kejahatan. Dari kemiskinan muncul pencurian, tindak kekerasan, pembunuhan, dustam fitnah, dan zina (D.III.65-75).
Penanggulangan kemiskinan dengan cara mengatur keseimbangan antara pengeluaran  yang disesuaikan dengan pendapatan. Disamping itu juga perumah tangga perlu memiliki pekerjaan yang baik dan benar untuk memperoleh perhasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
2. Konsep Manajenem Ekonomi Rumah Tangga Buddhis.
Manajemen adalah proses merencanakan dan mengambil keputusan, mengorganisasikan, mempimpin dan mengendalikan sumber daya manusia, keuangan, fisik dan informasi guna mencapai sasaran organisasi dengan cara yang efisien dan efektif (Ensiklopedi Nasional Indonesi.1990.115). Manajenmen ekonomi timbul karena usaha manusia untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran dalam kehidupan sehari-hari.
 Manajemen Ekonomi Buddhis adalah suatu proses perencanaan, pengorganisasian, pengaturan, pengendalian serta penggunaan sumber daya ekonomi untuk mencapai tujuan perekonomian yang dipengaruhi ajaran agama Buddha. Dalam pengelolaan sumber daya, seorang Buddhis hanya memanfaatkan apa yang dibutuhkan seperlunya. Untuk mencapai kesejahteraan seseorang memerlukan pekerjaan, sehingga mendapatkan penghasilan atau kekayaan. Bekerja membuat hidup menjadi lebih baik, sekaligus membuat hidup berarti bagi orang lain. Alasan pertama untuk mengejar kekayaan bukian hanya untuk menyenangkan diri sendiri, tetapi juga memelihara dan membuat keluarga, karyawan dan pengikutnya bahagia (A.III.45).
Seorang pekerja yang bekerja untuk kepentingan orang lain, tetapi sesungguhnya bekerja untuk diri sendiri. Dengan bekerja mengembangkan potensi yang dimiliki secara maksimal berarti mengaktualisasi diri. Setiap orang mempunyai arah tujuan sendiri untuk menciptakan masa depannya. Diri sendiri sebagai pelindunng bagi dirinya, karena itu orang perlu mengendalikan diri untuk memenuhi kebutuhan sendiri juga bergantung pada diri sendiri.
Setiap individu memerlukan motivasi yang menyebabkan berbuat atau bertingkah laku, sesuai dengan visi dan misi yang ingin dicapai untuk memeproleh kesejahteraan. Semua orang dengan senang hati akan melakukan perbuatan yang memberi keuntungan bagi diri sendiri, keuntungan tidak selalu berbentuk materi, tetapi pada umumnya satu pekerjaan menghasilkan keuntungan yang bersifat psikis. Menurut George R. Terry, hal-hal yang mempengaruhi motivasi adalah keinginan dan kebutuhan tujuan dan persepsi dari individu atau kelompok, cara mencapai kebutuhan dan tujuan.
Perumah tangga mencari kekayaan dan menggunakan kekayaan yang dimiliki tidak terikat dengan kekayaan, karena keterikatan dapat menimbulkan penderitaan. Cara pengumpulan harta dengan cara-cara yang tidak jujur, melanggar hukum, kikir, menghabiskan dengan sia-sia atau tidak digunakan untuk mengurangi penderitaan orang lain merupakan cara pengumpulan harta yang tidak benar. Mencari kekayaan dengan cara yang tidak benar, melakukan kejahatan, tidak akan memperoleh kebahagiaan, karena tidak pernah dapat hidup dengan tentram. Tercela karena membuat tidak membuat orang lain bahagia dan tidak menghasilkan jasa kebajikan (S.IV.331). Perumah tangga yang pantas dipuji akan mencari harta dengan cara yang baik dan mempergunakan untuk kebaikan dan kebahagiaan dirinya dan orang lain. Perumah tangga akan memberikan sokongan pada sangha dengan harta yang dimiliki serta menggunakan dalam usaha untuk melenyapkan penderitaan dan kemiskinan yang diderita oleh orang lain.
Seseorang yang mengumpulkan kekayaan, dengan cara yang sah dan tanpa kekerasan maka akan memperoleh kenikmatan dan suka cita, membaginya dengan orang lain serta melakukan perbuatan baik, menggunakannya tanpa keserakahan dan kehausan, tanpa melakukan pelanggaran-pelanggaran, menyadari bahaya dalam menyalah gunakan dan sadar akan tujuan hidupnya yang tertinggi, maka ia patut dipuji dan tidak dicela (S.IV.332).
Kekayaan yang diperoleh dengan cara yang benar dan sah dipergunakan sesuai dengan kebutuhan sehari-hari, dengan penuh kewaspadaan, ketelitian dan mempertimbangkan kesehatan. Kekayaan yang diperoleh dibagi menjadi empat bagian , sebagian dibelanjakan dan dinikmati, dua bagian digunakan sebagai modal usaha dan sebagian ditabung untuk persediaan pada saat sulit (D.III.188).
Perumah tangga yang berkecukupan dalam bidang ekonomi tidak terlena dalam kemewahan yang ada, tidak hidup berfoya-foya karena perbuatan itu akan membawa kemerosotan dalam kehidupan. Senang bermain perempuan, mabuk-mabukan, berjudidan menghambur-hamburkan apa yang telah diperolehnya, ini penyebab kemerosotan (Sn.106). Kewaspadaan, keteilitian dan hemat diperlukan dalam mengatur ekonomi rumah tangga, ekonomi yang teratur akan membawa kesejahteraan hidup keluarga. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya perumah tangga bekerja dengan sekuat tenaga, Buddha mencela kebiasaan bermalas-malas.
Seorang perumah tangga tidak bekerja dengan alas an terlalu dingin, atau masih terlalu panas, begitu pula karena masih terlalu pagi, atau terlalu siang, terlalu lapar atau terlalu kenyang. Dengan alasan-alasan itu orang membiarkan kesempatan bekerja berlalu begitu saja. Karena malas ia tidak akan sukses atau mendapatkan kekayaan, sebaliknya yang terjadi adalah kemerosotan (D.III.184).

Produktifitas seorang manusia dibatasi oleh waktu ketika usia menjadi tua, kemampuan untuk bekerja keras semakin menurun, ketika jatuh sakit tidak produktif lagi. Perumah tangga memanfaatkan dengan baik dan tidak membuang waktu sekarang ini. Sewaktu muda, sehat, sebelum musim paceklik tidak ada bencana kelaparan, amam dan damai, bersatu, manusia mengerahkan segala tenaga untuk mencapai yang belum tercapai, menguasai yang belum dikuasai, menyadari yang belum disadari (A.III.103-105).
Bekerja dengan sekuat tenaga sewaktu muda merupakan syarat untuk mencapai kesuksesan ekonomi rumah tangga. Bekerja dengan baik dan benar bukan berarti berusaha terlalu keras, sehingga menimbulkan kesibukan berlebihan sehingga mengabaikan keluarga. Banyak orang yang bekerja keras tetapi tidak bias menjamin kebutuhannya terpenuhi. Seperti guru dan pegawai negeri yang telah bekerja keras secara sah pada jam kerja, namun kondisi ekonominya kurang mencukupi, karena pekerjaannya tidak langsung meningkatkan penghasilannya. Namun produktifitas bagi pengusaha dan wiraswastawan langsung meningkatkan penghasilan dan tingkat perolehannya. Bekerja dengan baik dan benar akan memberi ketenangan hidup, tidak menambah ketidakpuasan yang menimbulkan tekanan batin dan berbagai bentuk penderitaan.
Manajenen ekonomi rumah tangga adalah pengelolaan, pembagian dan pemakaian barang-barang serta kekayaan rumah tangga secara efisien untuk mencapai sasaran. Buddha mengajarkan cara mengatur penghasilan dalam kehidupan sehari-hari  yaitu dengan menempuh hidup serasi. Menempuh hidup serasi berarti mengendalikan keseimbangan antara pengeluaran dan penghasilan, sehingga tidak terguncang pasang surutnya penghasilan (A.III.6.53).

C.     CARA MEMANAJEMEN  EKONOMI RUMAH TANGGA MENURUT PANDANGAN AGAMA BUDDHA.
1.    Cara Menggunakan Kekayaan Untuk Memenuhi Kebutuhan.
Penggunaan kekayaan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari tidak terlepas dari gaya hidup seseorang. Masyarakat yang mengakui perbedaan derajat, kelas menurut keturunan atau kasta, setiap golongan memelihara jarak dan mempertahankan gaya hidup sendiri. Gaya hidup juga menyangkut jabatan, pendidikan, lingkungan, tempat tinggal, selera dan prefensi lain, yang terlihat dari irama atau tempo kerja, setiap tingkah laku, sopan santun, pakaian hingga makanan.
Seseorang mengidentifikasi dirinya akan mempengaruhi gaya hidupnya. Indetifikasi adalah proses psikologi yang terjadi pada diri seseorang, karena membayangkan dirinya seperti orang lain yang dikagumi. Untuk menghindari hal-hal seperti itu perlu pengendalian diri dan memiliki prinsip hidup untuk diri sendiri, karena gaya hidup akan mempengaruhi masa depan seseorang, termasuk suatu tatanan, serangkaian prinsip atau kreteria pada setiap pilihan yang dibuat individu itu dalam hidup sehari-hari (Wijaya-Mukti.2003.370).
Pembelanjaan sebagian kekayaan untuk memenuhi kebutuhan dengan cara yang benar merupakan tindakan ekonomi. Buddha tidak pernah melarang para umatnya untuk mencari kekayaan, tetapi kekayaan yang diperoleh dengan cara yang benar dan sah, yang dapat dipergunakan untuk hal-hal yang bermanfaat baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Dengan kekayaan yang dihimpun secara benar dan diperoleh melalui usaha sendiri,  ia membagi makanan dan minuman kepada makhluk-makhluk lain yang membutuhkan (It.66). Kekayaan yang diperoleh tdak dipergunakan hanya untuk kepentingan diri sendiri, tetapi juga untuk orang lain.
Keberhasilan individu selalu berhubungan dengan kehidupan dan kesejahteraan sosial. Manusia diajarkan untuk menghormati dan menghargai makhluk hidup lainnya, termasuk binatang dan tumbuhan. Kemajuan seseorang namun dengan merugikan orang lain dilihat sebagai suatu yang memalukan. Eksploitasi, konfrontasi dan persaingan selalu dihindari, sedangkan persatuan, kebersamaan dan keharmonisan diperkuat (Sivarksa.2001.6). Menghadapi keterbatasan sumberdaya, umat Buddha yang menghindari pertentangan dan kekerasan,  berusaha menggunakan sedikit mungkin dan sehemat mungkin. Kualitas kehidupan tidak diukur dengan besarnya konsumsi dalam waktu tertentu. Orang yang konsumsinya banyak sering dikatakan lebih kaya, namun belum tentu sejahtera. Konsumsi (pendapatan) minimum, sedangkan kesejahteraan yang diperoleh maksimum, dinamakan efisien atas daya guna yang tepat guna. Perumah tangga yang hemat menggunakan daya, termasuk biaya, tenaga dan waktu adalah perumah tangga yang hidup dengan tanggung jawab.
Perumah tangga yang menggunakan kekayaan disesuaikan dengan kebutuhan hidup sehari-hari dengan waspada dengan mempertimbangkan kesehatan dan tidak boros. Penggunaan kekayaan dengan cara yang hemat yaitu menggunakan kekayaan dengan hati-hati, tanpa menyia-nyiakan barang-barang bekas yang sudah tidak dipakai lagi. Semua barang yang masih dipergunakan masih dapat dipergunakan sampai habis seperti sandang, pangan dan tempat tinggal. Sebagai contoh  cara mempraktikan hidup hemat yaitu:
Bhikkhu Ananda siswa Buddha yang terkemuka, menerima hadiah sebanyak lima ratus jubah dari selir Raja Udena, semula raja merasa kecewa dan mengecam Ananda , apakah Pertapa Ananada akan berdagang pakaian? Ia menemui Ananda dan menanyakan apa yang akan diperbuat oleh bhikkhu dengan jubah sebanyak itu. Ananda menjawab bahwa jubah itu akan dibagikan kepada para bhikkhu yang jubahnya sudah usang. Raja bertanya pula jubah yang sudah usang dipergunakan untuk apa. Bhikkhu Ananda menjelaskan bahwa jubah yang sudah usang akan dipergunakan untuk jubah luar, jubah luar yang sudah tidak terpakai digunakan sebagai penutup kasur, penutup kasur yang sudah tidak terpakai digunakan sebagai penyeka kaki, dan penyeka kaki yang tidak terpakai dihancurkan dan diaduk dengan tanah digunakan sebagai plesteran lantai (Vin.II.291-292).

Menghadapi keterbatasan sumber daya, umat Buddha yang menghindari pertentangan dan kekerasan, berusaha menggunakan sumber daya sedikit mungkin dan sehemat mungkin. Tingkat kehidupan menyangkut kualitas tidak diukur dengan besarnya konsumsi dalam waktu tertentu. Orang yang konsumsinya lebih banyak sering kali dikatakan lebih kaya tetapi belum tentu lebih sejahtera. Bila konsumsi atau masukan minimum, sedangkan kesejahteraan atau keluaran yang diperoleh maksimum itu yang dinamakan efisien atau daya guna yang tepat guna.

Buddha mengajarkan makanan bahkan yang berupa sisa sekalipun, pantang disia-siakan perbuatan membuang bilasan periuk atau mangkuk yang dicuci di sungai dan kolam dengan harapan makhluk-makhluk di dalamnya mendapatkan makanan diakui akan menghasilkan kebajikan (A.I.161). Makanan tidak dibiarkan terbuang begitu saja, namun sisa makanan dimanfaatkan untuk memberi makan binatang piaraan, atau dibuang disungai agar dimakan ikan-ikan dan binatang sejenisnya.
Perumah tangga menggunakan kekayaan dengan cara yang salah, serakah, terbelenggu oleh kekayaan, membuat kejahatan, tidak waspada terhadap penggunaan yang salah dan lupa pada keselamatan dirinya, akan membuat keluarga dan dirinya ke dalam penderitaan. Harta yang dimiliki dapat membawa bencana karena menjadi sasaran kejahatan, atau disalahgunakan dan tidak dapat dimanfaatkan untuk melakukan kebaikan.
Pembelanjaan kekayaan dengan cara berlebihan tidak akan membuat puas bahkan akan menambah keserakahan, karena banyak keinginan yang disadari tidak muncul dalam perbuatan, sedangkan banyak kebutuhan yang tidak disadari dapat diinterprestasikan oleh orang lain melalui perbuatan. Untuk mencapai kepuasan perumah tangga perlu meneladani para samana, sekalipun hanya makan sehari sekali dan hidup menyepi, namun bisa menikmati kepuasan hingga merasa bahagia.
Mereka tidak meratapi apa yang telah berlalu
Mereka tidak merindukan apa yang tidak datang
Dengan apa adanya sekarang mereka memelihara dirinya
Sehingga mereka tampak berseri-seri
Dengan merindukan apa yang tidak datang
Dengan meratapi apa yang telah berlalu
Maka Orang yang dungu luluh lantak
Nyeri bagai luka teriris sembilu (S.I.5).

Keinginan-keinginan tidak pernah terpuaskan sehingga menimbulkan penderitaan. Keiginan yang rendah merupakan suatu keinginan yang tidak sesuai dengan kemampuan diri sendiri. Jika seorang anggota keluarga yang berpngaruh, yang memlikiki ambisi membara, namun tidak memiliki sarana memadai, yang mengejar kekuasaan atau ingin menguasai orang lain, inilah penyebab kemerosotan (Sn.114). Perumah tangga yang tidak dapat menahan nafsu keinginan yang rendah akan terjebak dalam penderitaan.
Penggunaan kekayaan untuk kebutuhan sehari-hari dengan benar yaitu dengan mengendalikan keinginan yang rendah, dan mengembangkan keinginan baik untuk menolong makhluk lain yang menderita. Kebutuhan yang bersifat objektif dan bersifat subjektif, dengan mempertimbangkan lingkungan dan berpedoman pada pengalaman yang lampau.
Kreteria baik dan buruk diantaranya dengan mempertimbangkan tujuan dan manfaat. Sesuatu yang baik itu benar-benar bermanfaat dan tepat pada waktunya (M.I.395). Sesuatu yang benar beerdasarkan hukum kebenaran, tidak menyimpang dari etika dan moral, bermanfaat  tidak hanya bagi yang bersangkutan tetapi mengutamakan kepentingan semua pihak yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung. Hak hidup dengan baik bukan hanya milik seseorang tetapi milik semua makhluk. Hak untuk hidup dengan layak dan baik juga bukan milik mereka yang ada sekarang tetapi juga milik mereka yang hadir belakangan. Melindungi kehidupan sekarang dan kelak merupakan kewajiban bagi setiap perumah tangga untuk kesejahteraan di kehidupan sekarang maupun di kehidupan mendatang.
2.    Kekayan Digunakan Sebagai Modal Usaha
Pengalokasian kekayaan sebagai modal usaha, akan lebih bermanfaat, karena dipergunakan untuk meningkatkan produktifitas. Kekayaan yang digunakan untuk menambah unit produksi yang membuka lapangan kerja baru lebih baik daripada hanya dijadikan simpanan saja. Tabungan atau simpanan yang terlalu banyak hanya menguntungkan pemiliknya. Walaupun memiliki harta, asset, kekayaan berlimpah, namun dinikmati semua itu sendirian, merupakan peyebab kemerosotan (Sn.102).
Perumah tangga yang ingin membuka usaha memerlukan pengetahuan, pengalaman dalam bidang usaha yang akan dilakukan. Orang yang dapat dipercaya dan mempercayai orang lain, sekaligus pintar karena memiliki pengetahuan dan ahli karena memiliki keterampilan, akan maju usahanya (A.I.116). Sukses kekayaan yang diraih seorang pengusaha datang dari kepercayaan rekanan dan pelanggannya. Kepercayaan lahir dari perbuatan yang patut dipuji, dibenarkan oleh moral dan agama.
Seorang yang melakukan kegiatan usaha komersial, selalu mencari untung, usaha komersial sering kali mengorbankan nilai-nilai lain, seperti moral, sosial budaya. Dalam dunia pengusaha terdapat suatu peraturan untuk dunia usaha baik bersifat umum maupun khusus. Seorang Pengusaha akan mengkalkulasi tentang hasil usahanya, usaha yang dilakukan akan mendatangkan kerugian atau keuntungan, kalau merugi usaha itu akan ditutup.
Pengusaha yang sukses pada dasarnya tidak meremehkan hal-hal yang kecil. Suatu yang kecil apabila diremehkan akan membawa dampak yang sangat besar pada dunia usaha. Tanpa memperhatikan hal-hal yang kecil, orang tidak akan berhasil menangani suatu pekerjaan yang besar. Banyak orang menjadi kaya dengan mengumpulkan penghasilanya sedikit demi sedikit. Buddha mengumpamakan dengan sarang semut yang menumpuk semakin tinggi (D.III.189).
Melakukan pekerjaan merupakan suatu cara atau pelaksanaan untuk mencapai tujuan yaitu kesuksesan. Kesuksesan dalam hal ini adalah suatu keberhasilan yang memuaskan dari suatu usaha yang dilaksanakan. Kesuksesan dapat berupa keuntungan yang sebanyak-banyaknya, keberhasilan atau sistem tercapainya target dari suatu kenyataan bahwa dalam hal mendapatkan keuntungan yang sebanyak-banyaknya dalam bisnis dipandang masuk akal dan perlu untuk stabilitas sistem ekonomi. Untuk merealisasinya diperlukan kesederhanaan dalam hidup, hemat, bijak, melihat kemasa depan, bersemangat dan bekerja keras.
Pelaku ekonomi yang egoistik, ketika ingin mempraktikkan ekonomi Buddhis akan mengambil jalan tengah, sehingga tidak hanya mempertimbangkan keuntungan untuk diri sendiri, tetapi juga memperhatikan pihak lain. Seorang pedagang boleh mengambil keuntungan yang wajar dan menjamin barangnya bukan barang palsu , selundupan atau barang hasil curian.
Menjalankan penghidupan secara benar tidak merugikan makhluk lain, tidak mencelakakan orang lain, tidak menyakiti atau membuat pihal lain menderita. Perumah tangga yang membuka usaha perdagangan dengan berdagang yang benar, dan akan menghindari lima perdagangan yang salah. Lima perdagangan yang dihindari yaitu berdagang senjata,  makhluk hidup,  daging, minuman keras dan racun (A.III.207).
Perdagangan senjata dan racun berhubungan dengan pembunuhan, tindak kekerasan dan penganiayaan. Perdagangan senjata juga akan menjadi penyebab timbulnya kesuruhan dimana-mana seperti pengeboman tempat-tempat keramaian yang strategis. Berdagang racun juga akan menjadi penyeban pembunuhan, karena orang yang membeli racun pasti akan digunakan untuk membunuh mahkluk yang dianggap mengganggu.  Memperdagangkan makhluk hidup, praktik perbudakan, menjual bayi atau anak dan wanita, termasuk kejahatan. Menjual minuman keras, obat-obatan terlarang akan membahayakan dan merusak mental generasi muda. Akibat mengkonsumsi bahan yang menimbulkan ketagihan, memboroskan kekayaan menambah pertengkaran, membuat mudah terkena penyakit, hilangnya watak baik, menampilkan diri secara memalukan, melemahkan daya pikir atau mengurangi kecerdasan (D.III.182).
Penghidupan yang salah, yaitu hidup dengan jalan menipu orang lain (kalana), membual atau menjilat (lapana), memeras dengan menyindir atau memfitnah (nemittakata), menggelapkan (nippesikata), mengambil keuntungan yang berlebihan (labha) (M.III.75). Mengambil keuntungan yang berlebihan, seperti lintah darat sama saja dengan merampok atau kurupsi yang menyelewengkan atau manipulasi.
Menipu orang lain, menjilat, memeras dengan menyindir atau menfitnah, menggelapkan barang dan mengambil keuntungan yang sangat besar merupakan suatu perbuatan yang sangat merugikan orang lain. Seseorang yang terkena tipu atau membeli sesuatu barang yang sangat mahal pasti akan menderita dan tidak mau  berhubungan lagi baik secara pribadi maupun dalam hal bisnis.
Perjudian perbuatan yang berakar pada keserakahan dan kebodohan, akibat buruk yang ditimbulkan karena berjudi yaitu melanggar sila. Perjudian merupakan usaha yang perlu dihindari karena akan menimbulkan penderitaan bagi diri sendiri maupun keluarga. Bagi penggemar judi, Buddha mengingatkan bahaya dari berjudi.
Jika menang ia dibenci orang, jika kalah ia menyesali kehilangan harta
Dengan menghamburkan hartanya iapun jatuh miskin
Sehingga dipengadilan ucapannya tidak dipercaya orang lain
Dipandang rendah oleh kawan dan pejabat pemerintah
Ia tidak disukai oleh yang mencari manantu
Karena seorang penjudi tidak bisa memelihara keluarga dengan baik
(D.III.183).

Perumah tangga yang memilih mata pencaharian sebagai pengusaha, akan menjadi pengusaha yang baik apabila memperhatikan bawahan dan para pekerja. Seorang pengusaha sebagai atasan dan pemberi kerja memberi perlindungan kepada pekerjanya. Salah satu kewajiban atasan yang mengharapkan perlindungan dari bawah adalah memperhatikan keselamatan dan kesehatan bawahan. Majikan atau pemberi kerja harus menjamin perawatan karyawannya yang sakit (D.III.31).  Atasan yang melaksanakan kewajiban dengan baik kepada para pekerja, maka para bawahan juga akan bekerja dengan baik, sehingga kenyamanan kerja di perusahaan akan terlaksana.
Seorang majikan menginginkan pegawainya menghasilkan banyak dan membayar upah yang semurah-murahnya. Di pihak lain seorang pegawai cenderung bekerja sedikit mungkin, tetapi mengharapkan penghasilan yang besar. Maka hubungan kerjasama yang baik antara majikan dan pegawai ditandai perbedaan kepentingan yang terkait pada egoisme masing-masing. Dalam perspektif Buddhis, majikan dan pegawai bekerjasama demi kepentingan dan kebahagiaan bersama.
Produktivitas yang memberi keuntungan kepada pemberi kerja juga dapat dinikmati oleh pekerja. Kedua belah pihak saling membantu, saling melindungi atas dasar cinta kasih dan saling membuang-jauh-jauh egoisme masing-masing. Dengan melindungi diri sendiri seseorang itu melindungi orang lain, dengan melindungi orang lain seseorang melindungi diri sendiri (S.V.169). Keharmonisan antara atasan dan pekerja akan membawa kemajuan dalam perusahaan sehingga mendatangkan keuntungan yang besar.
Pengusaha yang baik akan menghindari praktik monopoli yang didasarkan oleh nafsu rendah, karena akan merugikan orang lain. Dalam dunia ekonomi monopoli membuat orang tamak dapat memainkan penyediaan barang dan mengeruk keuntungan yang besar, hal ini akan merugikan masyarakat. Monopoli yang baik yang dapat dipergunakan untuk melindungi dan menimbulkan kemakmuran orang banyak, itu yang perlu diperhatikan oleh para pengusaha.
Pengusaha akan mencapai kesuksesan dalam bekerja atau berusaha apabila memenuhi empat iddhipada yaitu merasa puas dan gembira ketika mengerjakan sesuatu pekerjaaan (chanda), usaha yang bersemangat dalam mengerjakan sesuatu pekerjaan (virya), memperhatikan dengan sungguh-sungguh ketika melakukan suatu pekerjaan tanpa melalaikan (citta), dan merenungkan serta menyelidiki alasan-alasan atau cara-cara yang terbaik dari pekerjaan yang sedang dikerjakan (vimamsa) (A.IV.285).
Merasa puas dan gembira ketika mengerjakan suatu pekerjaan (chanda) adalah melakukan pekerjaan yang telah dimiliki dengan baik, sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab. Mendapatkan pekerjaan suatu yang diharapkan oleh setiap perumah tangga, maka bekerja dengan penuh tanggung jawab akan membuat tenang dan merasa puas dengan apa yang dikerjakan.
Kepuasan dan kegembiraan dalam mengerjakan sesuatu sangat membantu dalam membangun kinerja Buddhis yang sehat, sehingga manusia memilih dan mengarahkan kepada pilihan perkejaan tertentu yang sesuai dengan bakat dan kemampuannya. Manusia juga memiliki kekliruan anggapan bahwa dengan bekerja akan memperoleh kepuasan atau kegembiraan pada hasil akhir saja, sehingga tidak menikmati kepuasan atau kegembiraan selama mengejakan pekerjaan itu. Apabila seseorang tidak memperoleh hasil yang diharapkan akan mudah kecewa, hal ini merupakan dorongan hawa nafsu yang besar yaitu penderitaan, kekecewaan dan ketidak puasan. Kepuasan yang dinikmati pada saat berkiprah dalam suatu pekerjaan adalah terpusatnya perhatian pada pekerjaan yang sedang dikerjakan, ini yang merupakan faktor pendukung keberhasilan suatu pekerjaan.
Usaha yang bersemangat dalam mengerjakan sesuatu pekerjaan (virya) adalah kegigihan, keuletan merupakan salah satu faktor pembentuk sikap kerja yang positif. Seseorang yang bersemangat dalam bekerja akan menghasilkan kepuasan tersendiri. Semangat dalam bekerja akan meningkatkan produktivitas yang akan mempengaruhi tingkat penghasilan. Meningkatkan produktivitas sendiri bukan berarti bekerja lebih berat atau lebih lama, tetapi dengan memperbaiki prosedur atau cara kerja dengan menambah sarana dan alat dengan cara mendayagunakan teknologi yang canggih.
Memperhatikan dengan sungguh-sungguh ketika melakukan suatu pekerjaan tanpa melalaikan (citta) adalah melakukan suatu pekerjaan dengan lebih terarah, penuh perhatian dan tidak mengabaikan pekerjaan, karena melalaikan sesuatu akan menyebabkan kerugian dan penderitaan. Bekerja dengan baik dan benar akan memberikan ketenagan, menimbulkan kepuasan dan menambah keuntungan.
Merenungkan serta menyelidiki alasan-alasan atau cara-cara yang terbaik dari pekerjaan yang sedang dikerjakan (vimamsa) adalah melakukan instropeksi diri dalam bekerja. Pekerjaan menyimpan banyak pendapatan, gagasan, ide baru yang tidak tampak mata tetapi akan tampak jelas apabila dilakukan perenungan atau penyelidikan seksama terhadap pekerjaan tesebut. Makin luas wawasan perenungan serta penyelidikan, makin lebar ide dan gagasan yang dapat dujangkau dalam bentuk apapun. Mendapatkan penemuan batu merupakan orang yang berjasa dalam mengembangkan pekerjaan atau hasil karya. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan hasil ide atau gagasan yang baik dari orang yang penuh perhatian disertai perenungan dan penyelidikan terhadap apa yang dikerjakan. Sehingga manusia dengan pekerjaan atau hasil karyanya akan berkembang maju bersama-sama. Dengan perenungan dan penyelidikan terhadap pekerjaan akan memperoleh hasil yang memuaskan dalam suatu pekerjaan.
3.    Penggunaan Sebagian Kekayaan Sebagai Tabungan.
Penggunaan sebagaian kekayaan sebagai tabungan untuk cadangan pada saat-saat sulit. Tabungan yang berupa uang atau emas yang disimpan dapat dipergunakan dalam keadaan darurat. Simpanan dibatasi tidak lebih dari seperempat bagian, dengan pembatasan simpanan kelebihan harta dapat dipergunakan untuk kepentingan orang lain dengan berbagi kebahagiaan atau untuk meningkatkan produktifitas. Alasan-alasan untuk menimbun harta di dunia ini:
Harta seorang ditimbun dalam dasar sebuah sumur
Ia berpikir bila ia membutuhkan bantuan, harta yang di sana untuk menolong diriku
Untuk membebaskan diriku bila raja marah, atau untuk uang tebusan kepada perampok
Bila ditahan sebagai sandera, untuk melunasi utang-utang
Dalam keadaan sukar atau celaka (Khp.8).

Menabung merupakan suatu perbuatan yang hanya menguntungkan diri sendiri dan keluarga. Dengan menabung harta seseorang akan terkumpul, namun tidak bermanfaat bagi orang lain. Harta kekayaan termasuk emas, perak dapat musnah terbakar, kena banjir, disita penguasa, dirampok, direbut oleh musuh, dihabiskan oleh ahli waris yang boros. Harta dunia sifatnya tidak kekal, timbunan harta yang tidak bisa habis:
Gemar beramal atau memiliki prilaku yang baik.
Atau pandai menahan diri, mengendalikan diri
Suatu timbunan jasa telah terkumpulkan dengan baik oleh seorang pria maupun wanita
Dalam cetiya-cetiya atau pada sangha
Pada Seseorang atau pada tamu-tamu
Pada seorang ibu atau ayah
Bahkan pada seorang saudara tua
Inilah sebuah harta yang disimpan paling sempurna
Tak mungkin hilang
Diantara hal-hal yang ditinggalkan
Jika harus meninggal ia membawanya
Tak seorangpun akan dapat mengambilnya (Khp.8).
Harta duniawi bukan merupakan suatu yang utama, namun untuk mencapai kesejahteraan hidup duniawi seseorang membutuhkan harta benda sebagai sarana untuk mencapai kebahagiaan yang akan datang. Harta duniawi juga sebagai sarana untuk melakukan kebajikan, karena untuk melakukan kebajikan membutuhkan pengetahuan dan keterampilan yang dapat dicapai melalui pendidikan yang baik, pendidikan memerlukan modal kekayaan. Dengan melakukan kebajikan akan menikmati kebahagiaan sekarang maupun dikemudian hari. Untuk menikmati kebahagiaan sekarang maupun dikemudian hari, perlu melakukan perlindungan diri sendiri dengan menolak segala kejahatan. Melakukan perbuatan tercela dengan meminta bantuan atau berhutang kepada orang lain dalam mengatasi kesulitan, lebih utama menyisihkan sedikit harta untuk berjaga-jaga pada saat sulit menimpa.
Menabung uang di bank berarti juga meminjamkan modal kepada orang lain, maka dibutuhkan kejelian dan kewaspadaan. Buddha menjelaskan bahwa seorang yang mau meminjamkan modal kepada orang yang dikenalnya selain pintar atau jeli (Cakkhuma), memiliki kesanggupan atau keahlian (vidhuro), dan dapat dipercaya (nissaya-sampanno), sehingga sewaktu-waktu mengembalikan lebih sebagai imbalan atau keuntungan yang didapat dari pinjaman modal tersebut (A.I.116). Suatu pinjaman diberikan untuk menolong, maka pengembaliannya sewaktu-waktu dengan pertimbangan kemampuan bayar.
Meminjamkan modal kepada orang yang dikenal selain pintar atau jeli (cakkhuma), yaitu memberikan modal dan menabung uang di bank dengan hati-hati, dengan menyelidiki atau mengenal karakter bank atau orang yang diberi pinjaman modal, sehingga tidak tertipu. Pada jaman sekarang banyak orang menipu dengan berbagai alasan, cara yang halus sehingga apabila tidak hati-hati akan tertipu.
Memiliki kesanggupan atau keahlian (vidhuro), dimaksudkan orang yang diberi pinjaman modal mempunyai kesanggupan atau jaminan untuk mengembalikan pinjamannya dan memiliki keahlian dalam usaha. Menabung uang di bank juga memerlukan ketelitian, kewaspadaan, karena banyak sekali bank yang belum bonavite dan belum dijamin oleh pemerintah, sehingga kalau bank tersebut bermasalah penabung akan mengalami kerugian. Pada jaman sekarang ini banyak bank yang menawarkan tabungan baik yang berupa deposito maupun tabungan biasa dengan bunga yang tinggi, namun jangan tergiur kewaspadaan dan ketelitian sangat dimanfaatkan dalam hal ini.
Suatu pinjaman yang diberikan untuk menolong, maka pengembaliannya dinyatakan sewaktu-waktu, dengan pertimbangan kemampuan bayar. Pengembalian lebih dari pinjaman atau tabungan sebagai bagi hasil atau bunga dibenarkan diterima, sepanjang batas yang wajar. Bunga adalah tanda terima kasih, pembalas jasa atau ganti rugi yang diberikan kepada seseorang yang meminjamkan modal. Dengan meminjamkan uang kepada orang lain, seseorang tidak hanya menahan diri atau menunda untuk memakainya sendiri, tetapi juga menghadapi beberapa resiko. Resiko berupa kehilangan, atau berupa perubahan nilai sehubungan dengan pengaruh waktu, termasuk adanya inflasi. Bunga sebenarnya ditentukan oleh penawaran dan permintaan yang tidak bersifat memaksa. Sukar mengenali orang yang memberi pertolongan sejati (pubbakari), sukar pula menemukan orang yang menyadari akan pertolongan orang lain yang telah diberikan kepadanya dan merasa berterima kasih ingin membalas budi (katannukatavedi)(A.I.86).
Sudah menjadi sifat manusia, orang lebih senang menerima atau menikmati sesuatu yang menyenangkan, baik itu jasa atau barang tanpa perlu menuggu lagi. Mau menunggu bila perolehannya lebih besar dari yang bisa didapat segera. Jika seseorang meminjamkan kepada pihak lain ataupun menabung, tentu mengharapkan hasil kemudian lebih besar. Tetapi mengharapkan atau menuntut berlebihan, pertanda tamak, jelas tidak dibenarkan. Pungutan atau bunga yang terlalu tinggi sama saja dengan lintah darat, karena menindas dan melupakan maksud menolong. Orang yang batinnya dikuasai oleh keserakahan dan keinginan rendah, akan melakukan apa yang seharusnya tidak boleh dikerjakan dan akan lalai terhadap apa yag seharusnya dikerjakan (A.II.66). Tabungan dipergunakan untuk berjaga-jaga pada saat sulit dan tidak disalahgunakan, untuk menambah modal untuk memupuk kekayaan pribadi.
Ada empat kondisi yang menuntun seseorang untuk mencapai keberhasilan dan kebahagiaan di dunia ini yakni: tingkat ketekunan, kewaspadaan, persahabatan atau persekutuan dan keserasian hidup. Sedangkan kegiatan atau mata pencaharian seseorang dalam segala keahlian, kecerdasan dan tak kenal lelah didukung akal yang tajam, mempertimbangkan cara dan sarana, cakap mengatur dan melaksanakan tugasnya itulah prestasi dan ketekunan. Suatu pekerjaan yang dilaksanakan dengan kesungguhan dan tekat yang teguh, bekerja keras, akan memperoleh keberhasilan. Dalam hal kewaspadaan apapun sukses yang diperolehnya secara sah, seseorang akan berhemat dan mencegah terjadinya kerugian dan kehilangan. Sedangkan persahabatan yang baik diperlukan tidak hanya dilingkungan kerja, tetapi juga dilingkungan tempat tinggal selain itu juga memantapkan keyakinan, kebajikan, kemurahan hati dan kearifan.
Penggunaan kekayaan dengan membagi menjadi empat bagian yaitu sebagian untuk dibelanjakan dan dinikmati, dua bagian untuk modal usaha dan sebagian untuk ditabung, ukuran ini hanya berlaku untuk perumah tangga yang memiliki penghasilan yang sangat besar seperti pengusaha yang telah sukses. Sedangkan perumah tangga yang berpenghasilan kecil hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan cara  menempuh hidup yang serasi berarti “mengendalikan keseimbangan antara penerimaan dan pengeluaran, sehingga tidak terguncang pasang surut penghasilan” (A.VIII.6.53).

D.    KESEJAHTERAAN EKONOMI RUMAH TANGGA
1.    Kesejahteraan Keluarga
Kesejahteraan Keluarga tercapai karena penataan ekonomi rumah tangga yang baik dan benar. Tingkat kemajuan ekonomi Keluarga menurut  pandangan agama Buddha diukur dari pengalokasian kekayaan seperti yang telah diajarkan oleh Sang Buddha. Buddha mengingatkan bahwa kebahagiaan karena memiliki (atthi-sukha), adanya kekayaan yang dapat dimanfaatkan (bhoga-sukha), kebahagiaan itu pantas dinikmati karena tidak mempunyai utang (anana-sukha) dan tidak melakukan pekerjaan atau perbuatan tercela (anavajja-sukha) (A.III.68).
          a.     Kebahagiaan karena mimiliki (atthi-sukha), yaitu kebahagiaan karena memiliki kesehatan, kekayaan, umur panjang, kecantikan, kesenangan, tanah milik, kekuatan, Keluarga, anak-anak. Kebahagiaan yang diaraih karena usaha sendiri dengan keras, sekuat tenaga serta kemauan yang kuat Memiliki kekayaan atau harta benda, maka dapat terhindar dari munculnya pikiran-pikiran atau perbuatan-perbuatan yang tidak baik, seperti penipuan, pencurian, perampokan, penculikan, penjualan wanita dan anak-anak. Selain itu dapat terhindar dari perasaan gelisah atau cemas dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarga seperti biaya pendidikan anak, kebutuhan sandang dan pangan, biaya pengobatan apabila sakit.
    b.  Adanya kekayaan yang dapat dimanfaatkan (bhoga-sukha), yaitu setiap perumah tangga pada umumnya berharap untuk menikmati sendiri. Kenikmatan kekayaan hanya terletak pada penggunaan untuk diri sendiri, tetapi juga untuk kesejahteraan pihak lain. Apabila seseorang yang memiliki harta kekayaan, namun tidak dapat menikmati kekayaan itu maka tidak akan merasakan kebahagiaan. Misalnya karena sakit, makannya dibatasi dengan makanan tertentu, atau karena terlalu pelit, sehingga dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dilakukan dengan sangat dibatasi. Maka orang seperti itu tidak akan bahagia memiliki kekayaan yang berlimpah-limpah, karena hidupnya seperti orang miskin.
              c.     Tidak mempunyai hutang (anana-sukha) yaitu suatu sumber kebahagiaan yang lain. Puas dengan apa yang dimiliki dan hemat, tidak perlu hutang pada siapapun untuk memenuhi kebutuhan dengan berhutang tidak membuat bahagia karena dalam tekanan memenuhi kewajiban pada kreditur. Hidup sederhana, bebas dari hutang akan hidup bahagia dan sejahtera secara batiniah.
             d.     Menjalankan kehidupan yang tanpa cela  (anavajja-sukha) adalah suatu sumber kebahagiaan yang terbaik bagi perumah tangga. Seorang yang tanpa cela merupakan berkah bagi dirinya dan pihak lain. Seseorang yang berpikir mulia hanya memperhatikan kehidupan yang tanpa cela dan tidak terpengaruh oleh penerimaan pihak luar, tidak melekat dengan kesenangan-kesenangan materi.
Untuk mencapai kesejahteraan dalam rumah tangga, seseorang dalam menjalankan roda kehidupan mengacu pada tujuh syarat  kesejahteraan suatu Negara seperti yang diajarkan oleh Sang Buddha. Tujuh syarat kesejahteraan :
Selama suku vajji kerap kali berkumpul dan mengadakan banyak pertemuan.
Selama mereka bertemu dalam persatuan, berkumpul dalam persatuan dan melaksanakan tugas mereka dalam persatuan.
Selama mereka tidak membuat suatu peraturan, bertindak sesuai dengan dasar-dasar suku Vajji yang telah dikembangkan.
Selama  mereka mendukung, menghargai. Menghormati dan memuji tua-tua Vajji yang lebih tua dan memperhatikan nasehat berharga mereka.
Selama tidak ada wanita atau gadis dalam keluarga mereka diambil dengan paksa atau diculik
Selama mereka mendukung, menghargai, memuji, menghormati obyek pemujaan dalam batin dan perbuatan dan tidak mengabaikan upacara yang telah diselenggarakan sebelumnya
Selama melindungi, membela dan mendukung para Arahat dengan benar dilaksanakan suku Vajji, sehingga para Arahat yang belum dating akan memasuki alamnya dan mereka yang sudah masuk dalam alamnya dapat hidup dengan damai selama itu dapat diterapkan suku Vajji tidak akan runtuh, melainkan sejahtera (D.II.91).

Perumah tangga yang menerapkan tujuh syarat kesejahteraan dalam keluarganya akan mencapai kesejahteraan kesejahteraan. Syarat kesejahteraan dalam rumah tangga saling terbuka, saling menghargai, selalu mengadakan musyawarah, puas dengan apa yang dimiliki, tidak serakah, tidak ada rahasia yang disimpan diantara angota keluarga, dan tidak mengabaikan kepentingan pihak lain. Dalam pengaturan ekonomi juga terbuka di antara anggota keluarga  tidak ada hal yang disembunyikan.
Perumah tangga yang menginginkan keberhasilan dalam kehidupan ini secara materi, dengan merapkan prinsip-peinsip Dhamma dan mencapai batin yang lebih baik. Hal itu akan tercapai apabila memiliki keyakinan (sadha), moral kebajikan (sila), kemurahan hati (caga), dan kebijaksanaan (panna). (A.II.66).
Keyakinan (sadha) adalah keyakinan terhadap kebenaran Dhamma yang diajarkan oleh Sang Buddha, keyakinan yang teguh dan kuat, bukan keyakinan yang membabi buta, tetapi keyakinan yang berdasarkan pada hal-hal yang masuk akal dan secara akal sehat dapat dibuktikan. Keyakinan dan kebijaksanaan sangat penting, karena sakan menjadi benteng diri, agar tidak tenggelam dalam permainan nafsu duniawi maupun keserakahan. Orang yang telah menjadi kaya, tetapi tidak mempunyai keyakinan akan berbahaya, karena dapat terjerumus ke dalam kebencian dan keserakahan.
Moral kebajikan (sila) perlu dimiliki karena manusia adalah makhluk sosial, yang selalu beinteraksi dan dibatasi oleh hukum Negara dan hukum agama. Buddha mengajarkan moral bukan untuk melarang untuk melakukan kejahatan, tetapi  memberikan rambu-rambu kepada manusia agar menjadi sadar dan dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk. Dengan melaksanakan sila, dapat menghindari perbuatan buruk, sehingga terlatih dan perbuatan baik akan berkembang.
Kemurahan hati (caga) yang berdasarkan kasih sayang adalah ladang yang subur untuk berbuahnya benih kamma baik. Dengan kemurahan hati, dapat mematahkan kejahatan, keserakahan dalam kehidupan seseorang. Kemurahan hati juga penting sebagai persiapan apabila setelah memperoleh kekayaan dapat bermanfaat untuk diri sendiri, keluarga, sanak keluarga, teman, bawahan dan untuk berbuat kebajikan untuk para leluhur.
Kebijaksanaan (panna) merupakan dasar dari perkembangan mental, moral, spiritual dan intelektual seseorang. Kebijaksanaan akan muncul dari pengalaman teori baik dan dari pengalaman melaksanakan ajaran Buddha. Kebijaksanaan penting untuk dikembangkan agar setelah berhasil tidak mengabaikan kepentingan mhkluk lain.
Kesejahteraan ekonomi seabagai suatu syarat bagi kenyamanan manusia, tetapi pengembangan moral dan spiritual adalah syarat kehidupan yang bahagia, damai dan memuaskan. Untuk mencapai kesejahteraan, kemakmuran, kemasyuran serta kekayaan ada empat syarat yang dipenuhi dalam kehidupan ini. Hidup di daerah yang sesuai, bergaul dengan orang yang baik, menyiapkan diri dengan baik dan jasa yang dikumpulkan dalam kehidupan yang lampau (A.II.32).
Hidup di daerah yang sesuai merupakan lingkungan tempat tinggal sangat mempengaruhi kehidupan seseorang. Untuk mendapatkan kemakmuran dan ketenangan dalam hidup berkeluarga diperlukan tempat tinggal yang baik yang dapat mendukung sumber penghasilan, atau mudah dalam mencapai pekerjaan dan daerah itu bukan daerah sarang kejahatan. Gaya hidup manusia tidak hanya datang dari diri sendiri namun pengaruh lingkungan sangat berperan dalam kehidupan. Gaya hidup dari pola makan, cara berbusana, penampilan dipengaruhi oleh lingkungan tempat tinggal, maka dibutuhakan keteguhan, dan pendirian yang kuat untuk mempertahankan diri supaya tidak terpengaruh pada lingkungan. Apabila kurang pengendalian diri akan mudah tergiur pada pola hidup di lingkungan tempat tinggal.
Bergaul dengan orang-orang baik sangat mendukung dalam pencapaian kemakmuran dan kesejahteraan. Bergaul dengan orang yang baik yaitu bergaul dengan orang yang dapat dijadikan sahabat yang baik yang dapat menolong apabila sedang mendapatkan kesulitan, yang dapat menasehati apabila melakukan perbuatan yang tidak baik dan dapat dijadikan tempat untuk membagi suka dan duka. Orang yang baik memiliki moral yang baik dan pebuatan yang baik pula sehingga bergaul dengan orang yang baik akan membuat hidup menjadi nyaman, aman dan tentram.
Menyaipkan diri dengan baik adalah menyiapkan moral dan spiritual yang baik yang disertai keyakinan sehingga dapat menghadapi segala macam tantangan kehidupan.  Seseorang yang menginginkan kesejahteraan persiapan diri diawali dari melakukan perbuatan yang baik, menjalankan sila, berdana kepada orang yang membutuhkan sehingga dalam kehidupan sekarang maupun yang akan datang akan mencapai kemakmuran dan kesejahteraan.
Jasa yang dikumpulkandalam kehidupan lampau adalah timbunan-timbunan kamma-kamma baik di waktu yang lampau. Kamma baik masa lampau seseorang sangat mendukung keberhasilan dalam mencapai kesejahteraan hidup. Seseorang yang dalam kehidupan lampau suka berdana, gemar melakukan kebajikan akan memperoleh kesejahteraan, kemakmuran dan kekayaan dalam kehidupan ini, dan dapat membuat Keluarga hidup makmur dan berkecukupan. Begitu pula apabila dalam kehidupan sekarang gemar melakukan perbuatan baik sebagai akibatnya juga menerima kebaikan baik dalam kehidupan sekarang maupun dalam kehidupan yang akan datang.
Empat syarat tersebut yang harus dipenuhi apabila mendambakan kesejahteraan dan kemakmuran serta kemasyuran dalam keluarga. Tetapi apabila orang gagal dalam usaha untuk mencapai tujuan maka yang dilakukan  menghibur diri dengan berkata “bahwa ia harus mengerahkan segala apa yang telah diperbuatnya, tidak berputus asa melainkan berpikir”, menggunakan kemampuan untuk mendapatkan kesejahteraan. Apabila memenuhi syarat-syarat untuk mencapai kemakmuran, kemasyuran, kekayaan, untuk menempuh hidup bahagia dan sejahtera, maka kemungkinan gagal sangat kecil.
Seseorang yang menjalani kehidupan perumah tangga menginginkan tercapainya kesejahteraan dan kebahagiaan dunia. Untuk mencapai kebahagian duniawi ada empat hal yang mendukung: ketekunan (utthana sampada), kewaspadaan (arakkha sampada), ketekunan (kalyana mittata) dan hidup seimbang (samajivita) (A.IV.281).
Ketekunan (utthana sampada) adalah terampil, efisien dan bersungguh-sungguh dan bersemangat dalam profesi apapun yang dijalani. Di dalam mengerjakan tugas dan pekerjaan, jauhkan perasaan suka dan tidak sukan, senang dan tidak senang, ketika manerima tugas, namun tugas dikerjakan dengan rajin dan bersemangat. Salah satu kegagalan manusia yang utama karena terlalu banyak mengeluh, malas dan tidak bersemangat. Pekerjaan yang dikerjakan dengan semangat, teliti dan penuh perhatian akan membawa perbaikan di kemudian hari. Orang yang terampil dan produktif, mampu menerapkan manajeman yang baik untuk mengolah pekerjaan dengan gembira, rajin, teliti dan penuh tanggung jawab akan segera menghasilkan buah.
Sahabat yang baik (kalyana mittata) adalah sahabat yang selalu menasehati untuk melakukan perbuatan yang baik, dan mengingatkan agar tidak melakukan hal yang tidak bermanfaat. Di dunia ini sangat sulit ditemukan seorang sahabat yang baik, maka diperlukan kewaspadaan dalam memilih teman.
Hidup seimbang (samajivita) adalah hidup yang serasi dapat mengatur keseimbangan antara pengeluaran dengan pendapatan. Pengeluaran tidak melampaui pendapatan, juga tidak terlalu sedikit atau pelit sehingga tidak ada orang yang mau bergaul. Jadi pengeluaran disesuaikan dengan anggaran berdasarkan situasi dan kondisi ekonomi, dalam kehidupan sehari-hari dengan demikian kesejahteraan keluarga akan tercapai .
2.    Sejahtera karena hidup sederhana
Hidup sederhana adalah hidup yang sesuai dengan batas  kemampuan, tidak banyak menuntut, tidak berkeinginan hidup mewah, maupaun kaya tetapi batas kemampuan tidak mencukupi sehingga batin dan perasaan tidak tenang dan terbelenggu oleh keinginan. Hidup seadanya tidak mengada-ada, sesuai dengan kemampuan penghasilan yang diperoleh dalam kehidupan sehari-hari akan membawa pada ketenangan dalam kehidupan keluarga, tidak saling menuntut kemauan masing-masing anggota keluarga yang tidak sesuai dengan kondisi ekonomi keluarga, melainkan disesuaikan dengan kemampuan. Perumah tangga dianjurkan untuk hidup sederhana sesuai dengan batas kemampuan yang dimilikinya (A.IV.281).
Kesederhanaan dalam kehidupan berumah tangga merupakan kuci kesuksesan dalam menjalan roda perekonomian dalam suatu keluarga. Keluarga seorang Buddhis perlu mencontoh kesederhanaan yang dilaksanakan oleh para bhikkhu, yang merasa puas dengan empat kebutuhan pokoknya dalam kehidupan sehari-harinya.
Kekayaan bukan sutau ukuran kesejahteraan suatu keluarga, orang kaya diukur dari seberapa  banyak uang atau barang yang dimiliki dan kehidupan mewah yang dinikmati. Namun banyak orang kaya yang berhutang untuk menjadi kaya. Kekayaan duniawi bukan ukuran kebahagiaan, karena orang kaya belum tentu menikmati kebahagiaan sepanjang waktu, tanpa diganggu kekawatiran, kemarahan, penyakit dan penderitaan lain. Buddha Gotama tanpa tahta dan tanpa harus memiliki kekayaan pribadi diakui lebih bahagia dan dapat mempertahankan kebahagiaan sepanjang waktu (M.I.94).
Kesejahteraan dalam kehidupan perumah tangga bukan didapat dari kekayaan, melainkan dari kesederhanaan dan pengaturan ekonomi yang baik. Pengaturan ekonomi tidak akan berhasil dengan baik apabila tidak disertai dengan gaya hidup sederhana. Kesederhanaan tidak hanya menandai gaya hidup anggota Sangha tetapi juga mempengaruhi gaya hidup perumah tangga. Seorang raja, penguasa atau pemimpin yang bijaksana, seharusnya hidup sederhana. Kesederhanaan adalah salah satu dari kewajiban Raja (Ja.III.274).
Seseorang mungkin hidup sederhana karena terpaksa, namun seorang pengikut Buddha hidup sederhana asketis karena memang menghargai nilai-nilai kesederhanaan, walau sangat kaya, gaya hidupnya tidak mewah berlebihan. Menjadi orang modern pun tetap sederhana, kesederhanaan merupakan obat mujarab bagi penyakit modern. Kesederhanaan menjauhkan seseorang dari keserakahan atau keinginan yang berlebihan. Dengan memiliki sedikit keinginan membebaskan diri dari hawa nafsu, batin dan jasmani akan tenang. Meraka yang mampu hidup bersahaja lewat pengendalian rangsangan indra menikmati kepuasan seperti yang dialami oleh para dewa, sehingga tidak sampai terbakar oleh hawa nafsu (M.I.505).
Kesederhanaan memiliki kaitan dengan tanpa kekerasan, karena sumber daya fisik dimana-mana terbatas, orang yang memenuhi kebutuhannya dengan jalan menggunakan sumber daya sedikit mungkin, maka permusuhan dengan pihak lain berkurang dibanding dengan orang-orang yang menggunakan sumber daya yang lebih banyak. Pemeluk Buddha memandang hakikat peradapan itu bukan di dalam berlipat gandanya kebutuhan melainkan di dalam memurnikan watak manusia.
Pemikiran Buddhis yaitu menacapai kesejahteraan setinggi mungkin dengan konsumsi sedikit mungkin yang diaplikasikan dalam gaya berbusana. Tujuan orang berpakaian yaitu untuk melindungi tubuh dan supaya enak dipandang mata, dapat dicapai secara efisien. Berpakaian secara sederhana bukan berarti berpaian lusuh dan jelek, namun memakai pakaian yang modelnya sederhana dan pantas. Kesejahteraan hidup dalam rumah tangga dapat dicapai dengan cara hidup sederhana dalam gaya hidup dari berpakaian, makan dan penampilan dalam kehidupan sehari-hari.
Kesederhanaan bukan berarti kemiskinan, orang miskin yang menghadapi kesulitan mudah terlibat hutang. Bila terlibat hutang harus membayar cicilan dan bunganya, ketika tidak mampu membayar tagihan yang sudah jatuh tempo ia tetap dipaksa membayar. Jika tidak membayar, akan mengalami tekanan, disakiti dan akhirnya ini menyerupai apa yang terjadi pada orang yang tidak memiliki keyakinan dan kehati-hatian, tidak takut berbuat salah, tidak bersemangat, tidak memiliki pengetahuan tentang hal-hal yang benar, sehingga melakukan kejahatan melalui pikiran, ucapan dan tindakan (A.III.352).
Seseorang yang telah terlilit hutang dan tidak mampu membayar akan melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak terpuji seperti menipu, mencuri dan merampok. Dengan memiliki banyak utang orang juga bisa berbuat nekat melakukan pembantaian dan bunuh diri karena ketakutan dikejar-kejar oleh kreditur.
Mempunyai hutang seringkali mengganggu ketentraman  batin. Buddha menghubungkan utang dengan rintangan bathin, seperti halnya penyakit atau penjara, perbudakan dan perjalanan yang berbahaya melalui hutan yang angker (D.I.72-73). Hutang mungkin membuat seseorang memiliki kekayaan dan dengan memanfaatkan kekayaan tersebut orang bisa merasa senang. Tetapi kalau tidak hati-hati dalam menggunakan hasil pinjaman atau utang akan membuat hidup seseorang menjadi lebih menderita dan bisa menjadi bangkrut. Lilitan hutang sering kali membuat orang miskin bertambah menjadi miskin dan semakin terjerumus dalam penderitaan. Dengan hidup sederhana, apa adanya dan hati-hati akan membuat perumah tangga hidup sejahtera, tanpa harus terlibat dalam hutang.

E.     PENUTUP
Manajenen  ekonomi rumah tangga menurut pandangan agama Buddha adalah penggunaan kekayaan secara efektif menurut agama Buddha. Penggunaan kekayaan sebanding antara pendapatan dan pengaluaran, pengaluaran tidak lebih besar dari pendapatan. Bagi perumah tangga yang menjadi pengusaha dengan penghasilan yang sangat besar, kekayaan yang diperoleh dengan sah dan benar, tanpa keserakahan, kekerasan dipergunakan dengan cara membagi empat bagian, sebagian dipergunakan untukdibelanjakan dan dinikmati, dua bagian dipergunakan untuk modal usaha dan sebagian ditabung untuk cadangan pada saat sulit (D.III.188).
Penggunaan kekayaan untuk dibelanjakan atau dinikmati, dengan efektif  tidak dihambur-hamburkan. Pembelanjaan disesuaikan dengan kebutuhan sehari-hari dengan penuh kewaspadaan dengan mempertimbangkan kesehatan dan kepentingan pihak lain, tanpa keserakahan.
Penggunakana kekayaan sebagai modal usaha akan lebih bermanfaat, maka diberi porsi lebih banyak. Kekayaan yang dipergunakan sebagai modal usaha akan bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain, karena dipergunakan untuk menambah unit produksi, dimana dengan bertambahnya unit produksi akan bertambah pula lapangan kerja baru sehingga lebih banyak orang yang mendapat pekerjaan.
Penggunaan kekayaan sebagai tabungan, bermanfaat untuk berjaga-jaga pada saat sulit. Kekayaan  dipergunakan sebagai tabungan lebih cenderung dipergunakan untuk diri sendiri, namun apabila terjadi hal-hal yang tidak diharapkan tabungan itu dapat dimanfaatkan dengan mudah.
Perumah tangga yang memiliki penghasilan kecil, dengan menjaga keseimbangan antara pengeluaran tidak melebihi dari pemasukan, juga menyisihkan sedikit dari penghasilan  sebagai tabungan untuk berjaga-jaga apabila terjadi sesuatu di kemudian hari. Menempuh hidup serasi berarti mengendalikan keseimbangan anatar penerimaan dan pengeluaran, sehingga tidak terguncang pasang surutnya penghasilan (A.VII.6.53).
Kesejahteraan hidup berumah tangga diperoleh dari cara pengaturan ekonomi yang baik, dengan cara mengembangkan gaya hidup sederhana. Kesederhanaan bukan berarti kemiskinan, melainkan gaya hidup yang apa adanya tidak terlalu mewah.
Manajemen ekonomi rumah tangga diharapkan untuk dilaksanakan bagi setiap perumah tangga. Manajemen ekonomi rumah tangga yang dilaksanakan oleh setiap perumah tangga, akan membawa pada kesejahteraan hidup dengan berpola hidup sederhana, tidak mementingkan diri sendiri, namun juga mengutamakan kesejahteraan pihak lain.
Perumah tangga yang melaksanakan  pengaturan ekonomi rumah tangga menurut pandangan agama Buddha, akan selalu waspada dan hati-hati dalam menggunakan kekayaan, penuh pengendalian diri, sehingga pengeluaran lebih kecil dari pendapatan dan dapat terkontrol dengan baik.
Penelitian Manajemen Ekonomi Rumah Tangga Menurut Pandangan Agama Buddha bersifat deskriptif  studi kepustakaan, masih bersifat teoritik, maka disarankan agar dilaksanakan terapan dengan obyek penelitian yang sama.
 RUJUKAN
Dhammapada Atthakata, Kisah-kisah Dhammapada, dipublikasikanoleh Samvara, 2005. Medan: Bodhi Buddhis Centre Indonesia.
Dialogues Of The Buddha (Digha-Nikaya). Transleted T.W. & AF. Rhys. Davids, 1977. London, The Pali Texs Society.
Dialogues Of The buddha (Digha-Nikaya). Transeleted Vorious Oriental Scholars.1989. Oxford: The Pali Texs Society.
Esiklopedi Nasional Indonesia. 1990. Jakarta: PT. Cipta adi Pustaka.
Sivakasa, Sulak.2001. Benih Perdaian. Jakarta: Yayasan Pencerahan dan Himpunan Mahasiswa Buddhis Indonesia.
Sutta-Nipata, Kitab Suci Agama Buddha, alih bahasa Lanny Anggawati dan Wena Cintiawati, 1999. Klaten: Vihara Bodhivamsa.
Stories Of The Buddha’s  (Jataka). Transleted EB. Cowell, 1981. London: The Pali Texs Society.
The Book Of Gradual saying (Anguttara-Nikaya) . Transleted FL. Woodward, 1989. Oxford: The Pali Texs Society.
The Book Of Gradual Saying ( Anguttara-Nikaya), Transleted FL. Woodward, M.A. 1986. London: The Pali Texs Society.
The Book Of Gradual Saying (Angguttara-Nikaya), Transleted FL. Woodward, M.A. 1982. London and Boston: The Pali Texs Society.
The Book Of Gradual Saying (Anguttara-Nikaya) Vol IV, Transleted by Hare E,M. 1989. Oxford : The Pali Texs Society.
The Book Of The Kindred Saying (Samyutta-Nikaya) Part IV. Transleted By FL. Woodward, 1980. London: The Pali Texs Society.
The Book Of The Discipline (Vinaya-Pitaka), transeted I.B. Honer.1975. London: The Pali Texs Society.
The Midle Length Sayings (Majjhima-Nikaya), Transeted I.B.Horner,M.A., 1989.Oxford: The Pali Texs Society.
The Minor Readings (Khuddakapatha), Transleted Bhikkhu Nanamolo, 1978. London: The Pali Texs Society.
Wijaya-Mukti, Krisnanda. 2003. Wacana Buddha Dharma. Jakaerta: yayasan Dharma Pembangunan dan Ekayana Buddhis Centre.
Wijaya-Mukti, K.2003. Berebut Kerja berebut Surga. Jakarta: Yayasan Dharma Pembangunan.
Wowor, Cornelis, 2004. Pandangan Sosial Agama Buddha, Jakarta: CV Nitra Kencana Buana

No comments: