MENGAPA DENDAM ?
Oleh: Lasino,S.Ag
A.
PENDAHULUAN
Individu sebagai makhluk sosial tidak
dapat hidup sendiri di dalam kehidupannya tanpa individu lain. Di tengah-tengah lingkungannya tidak bisa
membanyangkan keharmonisan dan ketentraman sampai kematian datang. Pada umumnya
manusia masih diliputi oleh sifat dendam atau keinginan-keinginan untuk
membalas segala sesuatu yang dialaminya.
Berbagai alasan dilakukan untuk dapat
melakukan kejahatan demi mencelakai individu lain. Individu yang masih diliputi
kebencian atau cenderung memilki sifat pendendam memilki watak dosa atau benci (raga carita), karena sifat-sifat khususnya dekat dengan sifat-sifat
kebencian. Secara negatif kebencian bersifat tidak senang dan tidak akan
melekati obyeknya (Nanamoli, 1979:60).
Individu
yang masih memiliki hawa nafsu, dicengkeram kebencian, atau diliputi
kebodohan, melakukan kejahatan dalam perbuatan, perkataan maupun pikiran, akan
menderita dan putus asa, tidak menyadari manfaat bagi dirinya dan pihak lain.
Tetapi manusia yang tidak lagi dilanda hawa nafsu, tidak dicengkeram kebencian
dan tidak diliputi kebodohan, tidak lagi melakukan kejahatan dengan perbuatan,
perkataan maupun pikiran, maka tak akan menderita dan putus asa, menyadari
manfaat bagi dirinya sendiri dan individu lain (A.i.156).
Individu yang telah melakukan kejahatan
atau kesalahan dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari, yang menyebabkan
pikiran akan berisi berderet-deret daftar nama-nama yang menjengkelkan,
menyakiti hati, bahkan yang merusak. Setiap saat peristiwa-peristiwa yang
menyakitkan, menjengkelkan, mengecewakan dapat muncul secara berganti-ganti,
sehingga mengganggu ketenangan pikiran dan menyebabkan keinginan untuk membalas
dendam muncul. Dendam dan amarah muncul melalui pikiran dan merupakan akibat dari
suatu peristiwa yang terjadi yang menimbulkan kekecewaan atau kebencian.
Individu yang masih diliputi sifat
dendam pada dasarnya belum bisa mengembangkan cinta kasih kepada semua makhluk.
Pikiran yang sudah diliputi oleh kebencian dan keinginan untuk membalas dendam
terhadap apa yang telah dialami, akan menyebabkan pikiran semakin sulit untuk
dikendalikan dan ketenangan hidup juga akan semakin sulit didapatkan. Pikiran
itu sangatlah sulit dikendalikan, bergerak sangat cepat menuju kemana mau pergi, melatih pikiran adalah baik,
pikiran yang terkendali akan membawa kebahagiaan (Dhp.iii.35).
Penyebab semua itu adalah pikiran, dimana
pikiran itu muncul akan mengakibatkan suatu tindakan. Individu yang pikirannya
sudah diliputi kebencian maka muncul suatu dendam pada yang lainnya, sehingga
dengan adanya kebencian dan dendam tersebut akan memunculkan kekerasan,
timbulnya kekerasan bisa berbentuk pembunuhan, penganiayaan dan sebagainya yang
bisa menimbulkan penderitaan.
Individu yang pikirannya masih diliputi
oleh lobha, kebencian dan rasa dendam
masih melekat padanya sebagai keinginan yang belum terpenuhi. Sedangkan dosa dan moha yaitu kebencian terhadap individu sehingga muncullah rasa
dendam. Sedangkan irsia, adalah
perasaan irihati terhadap pihak lain
yang akan menyebabkan manusia melakukan apa yang diinginkan. Keadaan-keadaan
apapun yang tidak baik dan baik, yang merupakan bagian dari yang baik dan tidak
baik, berhubungan dari yang baik dan tidak baik senua ini didahului oleh
pikiran (A.vi.70).
Pikiran adalah awal dari segala tindakan
baik maupun buruk maka untuk mengendalikan dari pikiran yang buruk, harus
dikembangkan metta, karuna, mudita
dan upekkha, dimana hal tersebut akan
mengendalikan pikiran buruk yang ada. Segala peristiwa yang terjadi, baik
menyenangkan atau tidak menyenagkan merupakan akibat dari suatu perbuatan, baik
dilakukan dalam kehidupan sekarang ataupun perbuatan pada kehidupan lampau yang
belum berbuah.
Sikap untuk menyadari bahwa apapun yang
terjadi adalah akibat dari perbuatan yang telah dilakukan merupakan sikap baik dan merupakan sikap
berpikir yang amat penting. Kejahatan yang dilakukan tidak hanya akan
menyebabkan penderitaan individu lain, perbuatan tersebut juga akan menyebabkan
penderitaan bagi pelakunya. Sebaliknya kebaikan yang dilakukan akan membawa
manfaat kepada semua. Sesuai dengan benih yang telah ditabur begitulah buah
yang akan dipetik, pembuat kebaikan akan memetik kebaikan pembuat kejahatan
akan memetik kejahatan ( S.i.227 ).
Diceritakan dalam cerita jataka (guttila
jataka) kisah ketika Buddha di undang
oleh umatnya untuk makan dirumahnya. Dengan undangan tersebut maka Beliau
mengunjungi rumahnya. Umat tersebut bukannya melayani dengan baik, tetapi
mencelanya dengan kata-kata kotor dan kasar. Dengan perlakuan yang demikian
Buddha tidak membalas. Buddha
menasehatkan agar tidak membalas dendam. “kebencian tidak akan pernah berakhir
apabila dibalas dengan kebencian. Tetapi kebencian akan berakhir bila dibalas dengan tidak membenci (Dhp.I.5 ).
Manusia yang dicela atau dicemooh akan
muncul perasaan marah dan dalam pikirannya muncul keinginan untuk membalas
dendam. Buddha bersabda “jika ada yang berbicara menghina Buddha, menghina
Dhamma atau menghina sangha, janganlah meresa marah, tidak senang atau
mendendam kepadanya. Jika ada yang berbicara memuji Buddha, memuji dhamma atau
memuji sangha janganlah menjadi senang atau gembira didalam batinmu” (D.i.3).
Mempumyai sifat pemarah, tidak mempunyai
kehalusan pikiran, mempunyai pendidikan yang rendah, mencerap obyek yang tidak
baik dan mempunyai rasa dendam merupakan sebab dari timbulnya dendam atau
kejahatan (Kaharuddin,1991:16). Buddha menjelaskan kepada para siswanya, bahwa ada lima cara dimana
seseorang dapat bebas dari dendam , yaitu dengan mengembangkan cinta kasih,
mengembangkan kasih sayang, mengembangkan ketenangseimbangan dan menerapkan
fakta kepemilikan hukum karma (A.ii.234).
B.
PENGERTIAN
SIFAT DENDAM
Dendam adalah usaha untuk membalas
kejahatan atau keinginan untuk membalas (Tim Penyusun, 2002: 250)). Tindakan
untuk membalas suatu kejahatan merupakan bentuk aktif dari akusala dhamma, dengan kesadaran atau pikiran menbenci sebagai
akarnya dan kemarahan sebagai sebab utamanya. Dosa secara etis adalah kebencian tetapi secara psikologis adalah
pukulan berat dari pikiran terhadap obyek yaitu pertentangan atau konflik. Dosa disebut juga patigha atau dendam, byapada atau
kemauan jahat (Mettadewi,1994:105)
Dosa
tidak hanya bersifat kejam, tetapi juga mengotori pikiran. Kebencian tidak
hanya liar dan kasar, tetapi juga menekan dan mengakibatkan kepribadian rendah
dan penuh ketakutan. Duka cita, kesedihan, ketakutan, tekanan, amarah, dendam,
merencanakan pembunuhan semua merupakan kebencian atau dosa. Dosa mmucul bersamaan
dengan ketakutan dan kekejaman. Idividu yang marah, kejam sesungguhnya juga
mudah timbul rasa takut dalam dirinya. Kekejaman merupakan kebencian yang
memuncak, sedangkan ketakutan merupakan kebencian yang berkurang, karena rasa
takut akan akibat dari perbuatan buruk yang muncul dari kebencian.
Manusia mempunyai sifat mudah marah,
jengkel berakar dari batin yang diliputi oleh kebencian atau dosa. Kebencian (dosa) sebagai akar dari kesadaran atau pikiran buruk atau dosamula citta (Mettadewi,1993:49).
Kejahatan muncul karena pada dasarnya manusia masih diliputi oleh keserakahan (lobha), kebencian (dosa), kebodohan (avijja) dan irihati (irsia). Keserakahan, kebencian,
kebodohan dan irihati merupakan noda batin yang bersifat laten selama manusia
belum mencapai tingkat kesucian. Lobha,
dosa, moha merupakan noda, musuh, penusuk, pembunuh dan lawan atau musuh
manusia dari dalam (It.88).
Kejahatan adalah keserakahan (lobha), kebencian (dosa), marah dan balas dendam…..memandang rendah dan menguasai….,
irihati dan kikir…., menipu dan memaksa…, keras kepala dan kelancangan…,
kesombomgan dan kecongkakan (M.i.15-16). Kebencian
(dosa) merupakan bentuk-bentuk batin
yang tidak baik. Kesadaran atau citta
selalu timbul bersama dengan bentuk-bentuk batin (cetasika). Bentuk-bentuk batin atau cetasika merupakan kesadaran yang bersekutu dengan kesadaran (citta)
Cetasika
atau bentuk-bentuk batin mempunyai empat macam sifat, yaitu timbul bersama
dengan citta (ekupada), padam bersama
dengan citta (ekaniroda), mempunyai obyek yang sama dengan citta (ekalambana), dan
pemakaian obyek yang sama dengan citta
(ekavutthaka). Kelompok batin yang
terdiri dari citta dan cetasika selalu muncul dan padam secara
bersamaan.
Dosamula
citta dalam kesadaran selanjutnya mempumyai dosa cetasika. Dosamula citta
dapat menjadi dosa cetasika
karena di dalam citta terdapat patighasampayuttam, yaitu bersekutu
dengan dendam. Patigha merupakan dosa cetasika yang mempunyai sifat kejam
dan kasar (Mettadewi,1994: 49).
Bentuk-bentuk batin yang baik timbul
mengikuti kesadaran atau pikiran yang
baik dan membentuk kejadian-kejadian yang baik dari kesadaran makhluk. Bentuk-bentuk
batin tidak baik timbul mengikuti pikiran atau kesadaran yang tidak baik.
Bentuk-bentuk batin yang tidak baik membentuk kejadian yang tidak baik dari
kesadaran makhluk (Mettadewi,1994:103).
Manusia yang mempunyai bentuk-bentuk
batin tidak baik cenderung melakukan perbuatan yang tidak baik. Perbuatan tidak
baik berakar dari pikiran yang diliputi lobha,
dosa dan moha. Manusia yang mudah
marah dan diliputi kebencian adalah manusia yang memiliki sifat dosa yang lebih menonjol. Manusia yang
diliputi kebencian dan belum dapat mengatasi kebencian maka kebencian akan
semakin meningkat. Kebencian yang semakin meningkat dapat menjadi watak
kebencian atau dosa carita. Manusia
yang mempunyai kebencian atau dosa
disebut memilki watak kebencian atau dosa
carita (Vism.104).
Manusia yang masih mempunyai watak
kebencian atau dosa carita di
dalam kondisi batin sering terjadi keadaan-keadaan
yang tidak baik seperti kemarahan, permusuhan, meremehkan, menguasai, irihati
dan kebencian (Vism.107). Manusia
yang mempunyai watak kebencian cenderung memiliki sifat dendam, mudah marah dan
mudah panas, ketika mencerap obyek yang tidak baik.
Ajaran Buddha menekankan pada praktek
cinta kasih atau mettta yang
dipancarkan kepada semua makhluk. Penerapan cinta kasih dapat menekan kondisi
batin yang tidak baik, seperti kemarahan, dendam dan sifat mementingkan diri
sendiri. Harapan manusia dalam mempraktekkan ajaran cinta kasih adalah
kebahagian semua makhluk. “Kemarahan harus dilakahkan dengan cinta kasih,
kejahatan dengan kebaikan, kekikiran dikalahkan dengan kemurahan hati dan
kebodohan dikalahkan dengan kejujuran”
(Dhp.223).
Kebodohan batin (avijja) menjadi pondasi atau pijakan dari nafsu keinginan (tanha). Buddha mengajarkan bahwa semua
hal berakar pada keinginan (tanha)
(A.x.58). Avijja adalah tidak
melihat sesuatu sebagimana adanya, sehingga tidak memahami kebenaran tentang
kehidupan. Dalam Abhidhamma Pitaka kebodohan dijelaskan sebagai akar dari semua
penyakit dan merupakan akibat dari tidak adanya pengertian benar (samma ditthi). Tanpa kondisi yang
tepat, tanpa latihan yang tepat dan tanpa instrumen yang tepat, manusia tidak
dapat melihat sesuatu sebagaimana adanya selama manusia belum memperoleh
kebijaksanaan.
Manusia yang mempunyai kebencian disebut
memiliki watak dosa atau kebencian
atau dosa carita (Vism.104). Manusia
yang mempunyai watak kebencian (dosa
carita) cenderung mudah marah, karena kebencian (dosa) sebagai salah satu faktor yang paling dominan. Dosa carita adalah
kecenderungan-kecenderungan pemarah dan kebencian yang tanpa alasan (Vism.101). Bentuk-bentuk perilaku
manusia yang muncul dalam kehidupan sehari-hari merupakan wujud dari kondisi
batin, karena manusia mempunyai watak atau carita
tertentu. Dalam diri manusia yang berwatak dosa,
sering terjadi keadaan-keadaan seperti kemarahan (kodha), permusuhan, meremehkan, irihati dan kebencian (Vism.107).
Manusia dapat dikenali wataknya melalui
perbuatan-perbuatan yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Sumber untuk
mengetahui watak manusia yaitu melelui kebiasaan lampau dan sumbernya terletak
pada unsur dan cairan-cairan pembentuk watak. Manusia yang mempunayi watak
kebencian atau dosa carita pada
kehidupan lampau telah banyak melakukan perbuatan membacok, menyiksa, brutal
dan muncul kembali setelah kematian dari salah satu alam neraka atau dari
kehidupan sebagai naga atau ular (Vism.103).
Manusia yang mempunyai watak kebencian
atau dosa carita dapat dikenali
dengan cara-cara sebagai berikut: (1) dari faktor yang mendominasi, (2) sikap
badan, (3) cara melihat, (4) tindakannya, (5) penangkal kelemahannya, (6) jenis
jalan menuju tempat tinggalnya.
Manusia yang mempunyai watak kebencian (dosa carita) dapat dilihat dari faktor
yang mendominasi atau kecenderungan yaitu melaksanakan sesuatu berdasarkan
kebencian, cenderung panas hati, suka marah, jengkel, irihati, tidak senang
melihat kesalahan individu lain walaupun kecil, tidak mau tahu terhadap
kebaikan individu lain walaupun besar, suka bermusuhan, memandang rendah orang
lain, suka memerintah dan mendikte orang lain (Vism.107).
Dilihat dari sikap badan (iriyapada), manusia yang mempunyai
watak kebencian (dosa carita),
berjalan seolah-olah menghentak dengan ujung kaki, menurunkan dan mengangkat
kaki dengan cepat dan langkah kaki diseret (Vism.104).
Apabila dilihat dengan sikap badan berdiri (thana),
yaitu berdiri dengan kaku (Vism.105).
Apabila dilihat sewaktu tidur, menata tempat tidur dengan cepat, tidur dengan
tubuh dijatuhkan, tidur dengan kerutan dialis, ketika dibangunkan bangkit
dengan cepat dan menjawab seolah-olah jengkel (Vism.105).
Manusia yang mempunyai watak kebencian (dosa carita) dapat dilihat dari cara
melihat (dossanadita), yaitu tidak memandang obyek dengan
lama walaupun agak menyenangkan seolah-olah lelah, membesar-besarkan kesalahan
kecil, mengecilkan kebajikan, jika bepergian melakukannya tanpa rasa sesal
seolah-olah memang ingi pergi (Vism.106).
Manusia yang mempunyai watak kebencian (dosa carita) dapat dilihat dari
tindakan (kicca), yaitu memegang sesuatu dengan erat sekali, melakukan pekerjaan
tidak bersih dan tidak mantap, suara kasar, bergegas, dan melempar sesuatu
kesegala arah (Vism.105). Apabila
dilihat dari cara makan (bhojana)
menyukai makanan asam dan kasar, ketika makan membuat gumpalan yang memenuhi
mulut, makan tergesa-gesa tanpa menikmati cita rasa makanan dan nudah marah
ketika mendapat sesuatu yang tidak enak (Vism.106).
Melalui penangkal kelemahannya juga
dapat dilihat manusia yang mempunyai watak kebencian (dosa carita), yaitu sesuatu bersih, bagus, lingkungan asri,
pakaian dari bahan halus dengan warna hijau atau warna lain yang lembut,
peralatan berkualitas, makanan yang mengundang selera. Apabila dilihat dari tempat istirahat (sappaya) yaitu tidak terlalu tinggi
atau rendah, tersedia tempat yang teduh dan air, dinding, tiang dan anak tangga
yang baik, dekorasi dan kisi-kisi yang disiapkan dengan baik, dibuat bergairah
dengan bermacam-macam luisan, lantai licin, halus dan rata, dihiasi dengan
rangkaian bunga, parfum atau wewangian lain yang bertujuan untuk membuat orang
lain bahagia dan gembira walau hanya melihat saja (Vism. 108).
Manusia yang mempunyai watak kebencian (dosa carita) dilihat dari jenis jalan menuju tempat tinggal yang
bebas dari bahaya, tanah rata, bersih dan disiapkan dengan baik (Vism.108). Perabot tempat tinggal tidak
banyak, terdapat satu tempat tidur dan kursi, pakaian bermutu tinggi seperti
kain cina dan diwarnai dengan baik, mangkuk dari besi, jalan tempat untuk
berpindapatta bebas dari bahaya, rata, menyenangkan, desa tidak terlalu jauh
atau dekat yang cocok bagi sseorang pertapa. Orang yang melayaninya harus
tampan, menyenangkan, mandi bersih, memakai wewangian, pakaian dari kain indah,
melakukan pekerjaan dengna hati-hati. Jenis bubur , nasi dan makanan keras memilki warna, cita rasa,
aroma, sari gizi, menarik, berkualitas dan cukup semua keinginan. Jenis sikap
badan yaitu berbaring dan duduk. Obyek perenungan dari salah satu kasina dan
mulai dari warna biru (Vism.109).
Dosa
carita merupakan watak pemarah dan pembenci, obyek yang cocok digunakan untuk bermeditasi samatha bhavana yaitu empat kediaman
luhur (brahma vihara) yaitu metta, karuna, mudita, dan upekkha, dan empat kasina yaitu warna
kuning (nila kasina), warna putih (odata kasina), warna merah (lohita kasina) dan warna kuning (pita kasina) (Vism.114). Delapan ini
dapat melenyapkan dosa carita dengan
berusaha dikembangkan dalam perenungan meditasi agar dosa carita padam sedikit demi sedikit.
C.
TINJAUAN
DENDAM
Dosamula
citta merupakan kesadaran atau pikiran yang mempunyai kemarahan sebagai
sebab utama atau kesadran atau pikiran yang mempunyai kebencian sebagai
pemimpin. Dosamula citta disebut juga
patigha citta. Patigha citta adalah kesadaran atau pikiran yang menyentuh obyek
yang tidak disenangi.
Dosamula
citta atau patigha terdiri dari
dua bulatan, yaitu: (1) kesadaran atau pikiran yang timbul tanpa ajakan, disertai kesenangan, bersekutu dengan dendam (domanassasahagatam patighasampayuttam asankharikam, (2) kesadarn atau pikiran yang timbul dengan
ajakan, disertai ketidaksenangan, bersekutu dengan dendam (domanassasahagatam patighasampayuttam sasankharikam)
Dosamula
citta dua bulatan ini yang harus dipahami adalah (1) domanassa Sahagatam, yaitu timbulnya disertai ketidaksenangan. Domanassa jenis ini adalah vedana
atau perasaan yang disebut domanassa
vedana. Domanassa vedana timbul
hanya bersama dengan dosa citta dua
bulatan, dan tidak dapat timbul bersama dengan kesadaran atau pikiran yang
lain. Domanassa ini adalah vedana cetasika yang mencerap obyek yang
tidak baik. Domanassa ini apabila
dihubungkan dengan pancakkhandha atau
lima kelompok kehidupan adalah vedana
khandha atau kelompok perasaan, (2) patighasampayuttam
yaitu bersekutu dengan dendam. Patigha
adalah dosa cetasika yang mempunyai
sifat kejam dan kasar. Apabila dihubungkan dengan pancakkhandha atau lima kelompok kehidupan adalah sankhara khandha atau kelompok
bentuk-bentuk pikiran.
Domanassa
dan patigha mempunyai perbedaan
tetapi domanassa dan patigha muncul secara bersamaan, yaitu
apabila ada ketidaksenangan atau kebencian (domanassa), maka didalamnya terdapat dendam (patigha) (Kaharuddin,1991:16-18). Patigha merupakan bagian yang kelima
dari samyojana atau sepuluh macam
belenggu, yaitu patighasamyojana yang
berarti kebencian, dendam, kamauan jahat. Ujud aslinya adalah dosa cetasika dalam dosamula citta 2. (kaharuddin,1990:143).
Manusia yang dapat mengatasi kebencian
dapat hidup dengan tenang. Kebencian mendatangkan permusuhan
dengan semua makhluk. Buddha menjelaskan bahwa kebencian harus dibalas dengan
cinta kasih yang tulus sehingga dapat membuat kebahagiaan semua makhluk. Karena
kebencian ditaklukkan dengan kebancian, maka pikiran menjadi terjerat dalam
pola pikir yang buruk dan manusia akan terbawa menuju kehidupan yang jahat
dalam perbuatan jasmani, ucapan dan pikiran, dan tidak dapat mengartikan
kesejahteraan dirinya sendiri, kesejahteran orang lain, maupun kesejahteraan
kedua belah pihak. Jika kebencian dapat diatasi, maka manusia tidak akan
terbawa menuju kehidupan yang jahat dalam perbuatan jasmani, ucapan dan
pikiran, dan menuju kenyataan, akan mengenal kesejahteraan dirinya sendiri,
kesejahteraan orang lain, maupun kesejahteraan kedua belah pihak (A.iii.55).
Batin yang diliputi kebencian dapat
mendorong munculnya perilaku-perilaku jahat berupa dendam, kebencian dan
perbuatan yang mengarah pada munculnya penderitaan karena diliputi kebencian.
Buddha menjelaskan bahwa terdapat tiga macam api, yaitu api keserakahan, api
kebencian, dan api kebodohan batin.
Api
keserakahan membakar makhluk hidup yang dirangsang oleh kesenangan-kesenangan
indera; api kebencian membakar makhluk hidup yang berhati dengki, yang membunuh
makhluk hidup lain; api kebodohan batin membakar yang tidak peduli pada dhamma
orang suci (It.93).
C.
MUNCULNYA DENDAM
Setiap manusia tidak terlepas dari lobha, dosa, dan moha. Manusia mempunyai kebutuhan baik jasmani maupun rohani,
berapa besar kebutuhan tersebut tergantung karakter, sifat, kebiasaan,
perbuatan yang dibawanya dari hasil karma
lalu dan hasil perbuatan karma
sekarang. Adanya kebutuhan-kebutuhan akan muncul keinginan, kemauan untuk
memenuhi keinginannya. Dari keinginan tersebut manusia akan melakukan segala
macam upaya. Bila upayanya berhasil, tentu manusia tersebut akan merasa
gembira, tidak menutup kemungkinan akan muncul kesombongan. Tetapi jika
upayanya tidak berhasil, ketidakpuasan, kemarahan, sifat mohanya muncul karenanya segala uasaha akan dilakukan untuk mencapai
tujuannya sehingga manusia menjadi jahat. Perbuatan jahat tersebut bisa
berkembang menjadi iri, dengki, penuh dengan kecurigaan, benci dan penuh dengan
rasa dendam, sehingga sifat dosanya berkembang
terus.
Buddha menjelaskan bahwa ada sembilan
cara dimana dendam itu terbentuk, yaitu: (1) dia telah menjahati aku, (2) dia
sedang menjahati aku, (3) dia akan menjahati aku, (4) dia telah menjahati orang
yang aku cintai, (5) dia sedang menjahati orang yang kucintai, (6) dia akan
menjahati orang yang kucintai, (7) dia telah berbuat baik pada orang yang tidak
aku suka, (8) dia sedang berbuat baik pada orang yang tidak aku suka, (9) dia
akan berbuat baik pada orang yang tidak aku suka (navaka nipata) (A.ix.524).
Sebab yang menimbulkan dosa atau patigha ada lima
macam, yaitu: (1) mempunyai sifat pemarah, (2) tidak mempunyai kehalusan
pikiran, (3) mempunyai pendidikan yang rendah, (4) menyentuh obyek yang tidak
menyenangkan, (5) mempunyai rasa dendam (Kaharuddhin,1991:16).
A.
Mempunyai Sifat Pemarah (Dosajjhasayata)
Manusia pikirannya masih diliputi sifat
pemarah, yang merupakan dampak pelampiasan yang tidak terpenuhi. Kemarahan
merupakan dosa cetasika atau kondisis pikiran yang bersekutu dengan patigha dan byapada (Kaharuddhin, 1991:16). Manusia yang memiliki sifat pemarah
ketika mencerap obyek yang tidak disenangi akan timbul reaksi, yaitu perasaan
benci yang selanjutnya dilampiaskan dalam bentuk kemarahan. Dalam kondisi aktif
usaha untuk membalas dendam dapat dilakukan. Individu yang masih diliputi
kemarahan akan menaruh dendam terhadap obyek yang tidak disenangi dan melakukan
usaha untuk membalas dendam dalam melampiaskan kemarahannya (D.iii.254; A.iv.8).
Celaan atau cercaan yang diterima
sebagai obyek yang tidak disenangi akan meyebabkan kejengkelan dan rasa marah.
Mencari cara dan berusaha untuk membalas dendam akan memperburuk keadaan,
tetapi memanfaatkan kesempatan tersebut untuk melatih kesabaran akan lebih
bermanfaat daripada merasa dimusuhi. Manusia yang dicela atai dicemooh akan
muncul perasaan marah dan dalam pikirannya akan muncul keinginan untuk membalas
dendam. Buddha bersabda “ Jika ada yang berbicara menghina Buddha, Dhamma dan
Sangha, janganlah menjadi marah, tisdak senang atau merasa dendam. Jika ada
yang berbicara memuji Buddha, Dhamma dan sangha, janganlah menjadi senang,
gembira atau bahagia (D.i.3)”.
Dendam, kemauan jahat, kebencian
merupakan bentuk kekotoran batin (kilesa).
Kekotoran batin muncul karena terpancing oleh obyek-obyek yang diterima. Mata
melihat, telinga mendengar, hidung mencium sesuatu, lidah memakan, fisik
menyentuh sesuatu, maka semua itu yang menyebabkan indera terpancing dan
kemudian mamancing nafsu untuk amuncul, sehinnga timbullah kejengkelan,
kemarahan, kebencian.
1.
Tidak Mempunyai Kehalusan Pikiran (Agambhirakatita)
Pemikiran yang tidak
mendalam dan disertai kemasabodohan dalam psikologis Buddhis bersekutu dengan mohamula
citta dua jenis yang terdiri dari upekkhasahagatam
vicikicchasampayuttam, yaitu kesadaran atau pikiran yang timbul disertai
masa bodoh, bersekkutu dengan keraguan dan upekkhasahagatam
uddhaccasampayuttam, yaitu kesadaran atau pikiran yang timbul disertai masa
bodoh dan bersekutu dengan kegelisahan (Dhs.1058-1063).
Makhluk yang mempunyai pengetahuan rendah disebut sebagai orang bodoh, orang
yang kurang cerdas (manda pugala).
Manusia mempunyai pengetahuan yang rendah karena diliputi oleh lobha, dosa dan moha ( M.iii.153).
Dendam muncul melalui
pikiran dan sebagai akibat dari suatu perisriwa yang terjadi, yang menimbulkan
kekecewaan atau kebencian. Pikiran yang selalau diliputi kebencian menyebabkan
timbulnya dendam. Dengan adanya dendam akan menyebabkan kebancian semakin sulit
dihilangkan. Dendam membuat manusia berusaha untuk membalas pada individu yang
telah menyakitinya, karena setiap manusia mempunyai temperamen panas sehinnga
mudah diliputi rasa dendam. Namun apa yang dialami manusia bukanlah semata-mata
hasil perbuatan sebelumnya. Tidak ada manusia yang ditakdirkan menjadi pemarah,
pencuri aatu pendusta, misalnya sebagai kelanjutan dari karma kehidupan
terdahulu. Manusia bisa mengubah dirinya dalam hidup sekarang (A.iii.61).
Manusia sering
bertengkar untuk hal yang tidak membawa manfaat, tetapi hanya memperoleh
ketidaksenangan dan permusuhan. Buddha menjelaskan manusia yang selalu mencari
kesalahan orang lain dan tidak memperhatikan kesalahan sendiri, maka pikirannya
akan tercemar. Memiliki pola pikir secara positif untuk menghindari prasangka
dan perselisihan yang timbul dari kesalahpahaman adalah hal yang baik yang
harus dilakukan (Nyanakumuda, 2005:23).
Kondisi pikiran yang
ternoda oleh kebencian menimbulkan ketidaksenangan yang dapat menyebabkan sulit
memperoleh ketenangan batin dan akhirnya menyebabkan manusia lebih sulit
mempraktekkan Dhamma dalam kehidupan sehari-hari. Kondisi seperti ini akan mempermudah
munculnya reaksi negatif jika ada aksi dari pihak lain yang tidak disenangi,
sehingga muncul suatu dendam. Masalah-masalah dapat terjadi hanya karena
berawal dari masalah-masalah kecil. Maklhuk yang terkotori kebencian akan
terlahir di alam yang buruk (It.i.2).
Manusia yang
pikirannya sudah diliputi kebencian maka timbul dendam pada pihak lain,
sehinnga dengan adanya kebencian dan dendam tersebut akan menimbulkan
kekerasan. Timbulnya kekerasan bisa berbentuk pembunuhan, penganiayaan dan
sebagainya yang menimbulkan penderitaan. Keadaan-keadaan apapun yang tidak baik
dan yang baik yang merupakan bagian dari yang baik dan tidak baik, berhubungan
dengan yang baik dan tidak baik semua didahului oleh pikiran (A.iv.70)
Pikiran mendahului
semua keadaan. Pikiran adalah pelopor, semuanya merupakan ciptaan pikiran.
Buddha mengajarkan kesengsaraan disebabkan oleh perbuatan yang berawal dari
ketidaktauan. Beliau menunjukkan pada umatnya cara membuang penderitaa, dan
manusia sendirilah yang harus berusaha mendapatkan kebahagiaan. Hendaklah
pikiran dipenuhi cinta kasih yang tak terbatas, menyelimuti dunia, ke atas ke
bawah dan sekelilingnya tanpa rintangan, tanpa kebencian, serta tanpa rasa
permusuhan.
( S.i.150)
Air mata dan
kesedihan mendalam yang mengikuti perselisihan dan pertengkaran; kata sang
Buddha kecongkakan dan kesombongan rasa dendam serta penghinaan yang muncul
bersamanya, semua merupakan akibat dari satu hal. Semua muncul karena memiliki
rasa lebih suka, mengakui hal-hal yang berharga dan disenangi. Penghinaan lahir
dari perselisihan, sedangkan rasa dendam tidak bisa dipisahkan dari
pertengkaran.
Semua kekuatan
negatif dapat dicabut hingga keakar-akarnya dengan metode pengembangan batin
yang benar, karena pikiran yang tidak terlatih adalah sumber utama segala
masalah. Buddha berkata bahwa pikiran itu sulit dimengerti, sangat halus dan
berkeliaran sesukanya, pikiran yang dijaga dengan baik akan membawa kebahagiaan
(Dhp.iii.36).
2.
Mempunyai
Pendidikan Rendah (Appasutata)
Pikiran yang ternoda
oleh kebodohan akan menyebabkan manusia tidak mempu membedakan mana sesuatu
yang baik dan mana sesuatu yang tidak baik dari sisi norrna hukum, agama,
maupun etika yang berlaku dalam masyarakat. Dalam hal ini manusia sulit
membedakan mana yang bermanfaat dan mana yang tidak bermanfaat, sesuatu yang
benar dan sesuatu yang tidak benar. Kebodohan adalah penyebab kemalamgan,
kebodohan batin mengacaukan pikiran, orang tidak memehami hal ini sebagai
bahaya yang dihasilkan dari dalam (It.iii.88).
Kebodohan dapat mendorong individu untuk berbuat sesuatu yang merugikan pihak
lain seperti balas dendam.
Ajaran Buddha
bersifat tepat dan benar sejalan dengan sebab akibat, sesuai dengan kebenaran
dan prinsip-prinsip kebenaran. Kebodohan batin menumpuk dalam diri manusia.
Kegelapan dan kebutaan mengisi hati orang yang bodoh, sehingga tidak tahu arah
mana yang harus dituju. Kegelapan batin tidak dapat berlalu begitu saja,
kecuali manusia tersebut berusaha untuk mengikisnya. Oleh karena itu individu
harus menghalau kebodohan yang disebabkan ketidaktahuan agar pikiran menjadi
terang
Perilaku manusia juga
dipengaruhi oleh tingkat pendidikan yang terdah dan pemahaman agama Buddha yang
rendah yang menimbulkan kesadaran dan kebijaksanaan yang rendah pula, sehingga
kemarahan, rasa dendam dan keinginan-keinginan jahat lainnya mudah muncul.
Kebencian senantiasa meliputi kehidupan manusia, apabila hal ini tidak
terkendali maka akan menciptakan kecenderungan individu memusuhi maklhuk lain,
perasaan tidak senang terhadap pihak lain, rasa curiga dan dendam. Manusia
sering bertindak atas dasar kemarahan, kebencian dan rasa dendam yang melekat
pada pikirannya. Sejarah umat manusia akan berbeda jika kebaikan dan
timbang rasa dijalankan pada setiap
masa. Namun, sepanjang sejarah, manusia lebih tertarik untuk memicu penderitaan
daripada meninggalkannya (Dhammananda,2004:117). Akibat ketidaktahuan dan
kebodohan batin manusia mengakibatkan tidak bisa merasakan rasa sakit atau
penderitaan yang ditimbulkan pada maklhuk lain. Menganiaya binatang yang tidak
berdaya atau memeras semua manusia merupakan tindakan jahat. Tertawa dan senang
melihat perbuatan semacam ini mengungkapkan sisi lemah dari kepribadian
manusia. Manusia dungu merasa gembira meakukan perbuatan jahat akibat pandangan
salah mengenai kesenangan. Selama hasil
dari perbuatan jahat belum masak, maka manusia yang bodoh akan menganggapnya
manis seperti madu; tetapi apabila hasil dari perbuatan tersebut telah masak,
maka akan merasakan pahitnya penderitaan (Dhp,v.69).
Asurinda, seorang
pengikut brahmana bharadvaja,
mendengar bahwa pimpinan kaumnya telah memasuki sangha Pertapa Gautama. Dengan
marah dan merasa tidak senang, pergi ketempat Pertapa Gautama berada dan
mencerca serta memakinya dengan kata-kata kasar. Setelah selesai berbicara,
Bhagava tetap diam, dan Asurinda berkata “ Engkau telah terkalahkan pertapa,
engkau telah terkalahkan!”. Buddha menjelaskan manusia yang bodoh berpikir
bahwa pertempuran dimenangkan ketika berhasil mencacimaki dengan kata-kata
kasar, tetapi dengan mengetahui bagaimana harus bersabar itulah manusia yang
telah menang. Yang lebih buruk diantara keduanya adalah yang ketiaka dimaki
membalas dimaki. Manusia yang tidak membalas memenangkan suatu pertempuran yang
sulit dimenangkan (Dhammika, 2006:250-251).
Kebodohan batin (avijja) menjadi pondasi atau pijakan
dari nafsu keinginan (tanha). Buddha menjelaskan bahwa segala
sesuatu berakar pada keiginan (A.x.58).
Avijja adalah tidak melihat sesuatu sebagaimana adanya, sehingga tidak memahami
kebenaran tentang kehidupan. Kebodohan merupakan akar dari semua penyakit dan
merupakan akibat dari tidak adanya pengertian benar (samma dithi). Tanpa kondisi yang tepat, tanpa latihan yang tepat
dan tanpa instrument yanga tepat, manusia tidaka dapat melihat sesuatu
sebagaimana adanaya. Selama manusaia belum memperoleh kebijaksanaan, maka tidak
mengetahui sifat dari segala sesuatu.
3.
Menyentuh Obyek Yang Tidak Baik (Anittharamanasamayogo)
Peristiwa-peristiwa
yang negatif seperti yang terlihat, terdengar, tercium, terasa dan teraba
setelah dicerna dan dipilah akan menimbulkan hasil yang menyenangkan, tidak
menyenangkan dan masuk ke dalam pikiran yang berkembang menjadi tidak suka,
berkembang menjadi marah, menjadi benci dan akhirnya menjadi dendam dan ini
adalah sumber dari penderitaan. Nafsu kemarahan, kebencian dan dendam mulai
membara di dalam batin bagaikan kumpulan kayu-kayu bakar yang mulai menyala dan
manusia terus mengkonsumsinya, kondisi ini membelenggu manusia terus menerus,
dan pembalasan dendam tiada hentinya.
Dosa cetasika merupakan kondisi pikiran yang bersekutu dan patigha (kaharuddin, 1991:16) dan byapada (A. iii. 446). Ketika mencerap
obyek yang tidak disenangi akan timbul perasaan benci yang selamanya
dilampiaskan dalam bentuk kondisi aktif yaitu dendam. Manusia diliputi
kemarahan akan menaruh dendam (patigha)
terhadap obyek yang tidak disukai dan melakukan balas dendam untuk melampiaskan
kemarahannya (D.iii.254; A.iv.8). Dosamula
citta muncul ketika indera mencerap obyek yang tidak baik atau tidak menyenangkan sehingga muncul perasaan benci,
marah dan dendam. Kesadaran pada saat indera mencerap obyek yang tidak baik,
maka muncul domanassasahagatam
patighasampayuttam yaitu kesadaran atau pikiran yang timbul tanpa ajakan
disertai ketidaksenangan dan bersekutu dengan dendam.
Proses berpikir (citta vithi) saat muncul dendam adalah
melalui proses atimaharamana vithi, yaitu proses berpikir sampai pada
tadaramana (Kaharuddhin, 2004:58).
Pada proses berpikir sampai pada tadaramana
adalah melalai panacadvara yang mencerap
obyek yang tidak disenangi sampai kesadaran pikiran muncul kemarahan yang
diungkapkan dalam bentuk dendam.
4.
Mempunyai Rasa Dendam (Agatavatthusamayogo)
Manusia yang
mempunyai sifat dendam suka mencari-cari kesalahan pihak lain, dan sangat mudah
untuk dipengaruhi oleh rasa dendam karena mempunyai sifat dasar ketidaksenangan
yang kuat yang menimbulan dendam. Psikologis Buddhis menjelaskan tentang
manusia yang mempunyai karakter pendendam maka kebencian (dosa) akan semakin berkembang.
Manusia yang masih
mempunyai watak kebencian atau dosa
carita di dalam kondisi batin sering
terjadi keadaan-keadaan yang tidak baik seperti kemarahan, permusuhan,
meremehkan, menguasai, irihati dan kebencian (Vism.107). Manusia yang mempunyai watak kebencian cenderung
memiliki sifat dendam, mudah marah dan mudah panas, ketika mencerap obyek yang
tidak baik. Rasa dendam yang dimiliki oleh manusia akan menyebabkan
pengendalian diri sulit untuk dilakukan. Berbagai upaya akan dilakukan untuk
membalas dendam sebagai pelampiasan terhadap kemarahannya.
Perkataan yang
menyakitkan dapat menimbulkan dendam yang berkepanjangan diantara kedua belah
pihak. Dendam akan memunculkan perilaku-perilaku yang tidak terduga sebelumnya
oleh pihak lawan. Perilaku-perilaku dalam kehidupan masyarakat pada umumnya
yang mendorong timbulnya dendam, kadang hanya diawali dengan perilaku sepele.
Dengan kelalaiaan yang kadang hanya tampak sepele bisa berakibat fatal hanya
karena dendam. Janganlah meremehkan kejahatan walaupun kejahatan yang dilakukan
sangat kecil, ibarat air yang jatuh setetes demi setetes akhirnya dapat
memenuhitempayan (Dhp.121).
D. UPAYA
MENGHILANGKAN DENDAM
Perasaan dendam yang melekat pada
individu dapat diatasi melalui empat appamana
(empat keadaan yang tidak terbatas) dan penerapan fakta kepemilikan hukum
karma, untuk melemahkan kemarahan, rasa dendam, kebencian, nafsu yang dapat
menimbulkan penderitaan (A.v.161).
Mempraktekkan salah satu dari keempat keadaan yang tidak terbatas ini akan
membawa kebahagiaan yang timbul dari pandangan terang dan mencapai suatu
kehidupan yang bahagia.
Tujuan dari pelaksanaan empat appamana adalah untuk menghancurkan
itikat jahat, kekejaman, irihati dan kenafsuan secara berturt-turut. Metta citovimutti adalah kebebasan dari
kemauan jahat, karuna cetovimutti
adalah kebebasan dari kekejaman, mudita
kebebasan dari irihati dan rasa tidak senang atas kelebihan individu lain
sedangkan upekkha kebebasan dari hawa
nafsu (A.iii.291).
1.
Mengembangkan Cinta Kasih
Mengatasi dendam
melalaui appamana yang pertama dengan cinta kasih (metta). Individu harus mempraktekkan prinsip mulia tentang tanpa
kekerasan dan harus siap mengatasi keegoisan dan menunjukkan jalan yang benar
kepada orang lain. Melalui cinta kasih akan melemahkan kejahatan. kawan-kawan
sesungguhnya kebebasan malalui cinta kasih merupakan kebebasan dari kejahatan (M.i.279). Tanpa kekerasan adalah
senjata yang efektif untuk melawan kejahatan daripada pembalasan dendam,
membalas dendam hanya akan meningkatkan kejahatan. Buddha telah menjelaskan
secara rinci sifat cinta kasih dalam agama Buddha, bagaikan seorang ibu mau
melindungi anak satu-satunya bahkan dengan resiko hidup sendiri, dengan
demikian biarlah orang mengembangkan hati yang tidak terbatas bagi semua makhluk
hidup (Sn.i.149). Cinta kasih
merupakan kebajikan besar yang diwujudkan Buddha dengan rela meninggalkan
keluarga, kerajaan dan kesenangan agar dapat berjuang untuk menemukan jalan
untuk membebaskan manusia dari penderitaan.
Cinta kasih (metta) mempunyai ketamakan (lobha) sebagai musuh dekatnya. Ketamakan
bertindak seperti seorang musuh yang disembunyikan, sehingga dengan medah dapat
menemukan kesempatan untuk melakukan kejahatan. Jadi cinta kasih harus dijaga
dengan baik dari ketamakan. itikat jahat yang berbeda dengna ketamakan
merupakan musuh jauh dari cinta kasih. Cinta kasih harus dilatih bebas dari
rasa takut untuk mengembangka cinta kasih. (Vism.319)
Memiliki pengertian dari bahaya yang timbul dari
kebencian manusia dapat menghilangkan dendam yang dimilikinya. Kawan, jika
idividu membenci, maka ia menjadi mangsa dari kebencian dan pikirannya akan
teropsesi oleh kebencian (A.i.216).
Pengembangan cinta kasih harus simulai dengan tujuan untuk memisahkan
pikirannya dari kebencian yang dilihatnya sebagai bahaya, dan memasukkannya
dalam pikirannya kesabaran yang dilihatnya sebagai keuntungan (Vism.295).
Pengembangan cinta
kasih dilakukan melalui pertimbangan baik buruknya suatu kebencian, manfaat
membuang kebencian, mempertimbangkan kenyataan sesuai dengan karma bahwa
sesungguhnya tidak ada yang harus dibenci. Kebencian adalah perasaan bodoh yang
menimbulkan kegelapan dan menghalangi pengertian benar (Piyadasi, 2003:250).
Pengembangan cinta kasih merupakan suatu cara agar manusia meniliki rasa toleransi,
saling menghargai, menghormati dan memperlakukan sesama dengan pikiran, ucapan
dan perbuatan yang penuh dengan cinta kasih (M.i.322-323),
sehingga kedamaian, ketentraman dan kerukunan hidup tercipta. Pengembangan
cinta kasih dilakukan dengan cara selalu mengembangkan pikiran positif yang
tidak terbatas dan menyingkirkan pikiran buruk.
Mengembangkan cinta
kasih kepada semua makhluk membawa manfaat bagi kelangsungan hidup manusia.
Pengembangan cinta kasih menunjukkan suatu fenomena bahwa kebencian dan keinginan
untuk membalas dendam adalah hal yang tidak baik, membawa penderitaan dan
menghalangi pengertian benar. Cinta kasih melepaskan diri dari perasaan
membenci, membebaskan manusia dari belenggu kebencian, menimbulkan kedamaian,
menenangkan manusia yang tidak tenang, menolong yang selalu diliputi kebencian,
sehingga melalui pemahaman yang benar menciptakan kedamaian, ketentraman dan
kebahagiaan hidup. Dalam Maha Rahulovada
Sutta (M.i.424) Buddha memberikan
nasehat kepada Rahula Thera untuk mempraktekkan metta dengan dasar, apabila metta dikembangkan kemaraha akan
lenyap. Dalam meghiya sutta (A.iv.354),
metta dianjurkan kepada Meghiya yang
pada mulanya gagal untuk mencapai kesuksesan dalam meditasi karena timbul
pikiran-pikiran jahat secara terus menerus. Meghiya Thera akhirnya mencapai
tingkat arahat setelah melenyapkan pikiran-pikiran yang jahat dengan cara
pengembangan cinta kasih.
Kebencian atau rasa
dendam dapat muncul dalam diri individu ketika pikirannya ditujukan kepada
individu yang dianggap sebagai musuhnya karena selalu mengingat perbuatan jahat
yang pernah dilakukan oleh musuhnya tersebut. Kebencian atau rasa dendam
tersebut harus dilenyapkan dengan cara berulang-ulang masuk ke dalam jhana
cinta kasih (metta jhana) terhadap
musuhnya (Vism.298).
Terdapat tujuh hal
yang diharapkan individu terhadap musuhnya, yaitu: mengharapkan musuhnya
menjadi buruk rupa karena tiodak senang dengan kecantikan musuhnya,
mengharapkan musuhnya sakit, mengharapkan agar tidak mempunyai rejeki,
mengharapkan agar tidak bisa kaya, mengharapkan agar tidak bisa terkenal,
berharap agar musuhnya tidak mempunyai teman, dan berharap supaya setelah
meninggal, tidak terlahir di alam surga yang penuh dengan kebahagian (Vism.299). dalam keadaan ini manusia
yang marah menjadi mangsa dari kemarahannya, dikuasai oleh kemarahannya,
berbuat jahat melalui tindakan jasmani, ucapan dan pikirannya atas dasar
kemarahan. Dengan berbuat jahat melalui tindakan jasmani, pikiran dan ucapan
maka setelah meninggal, akan terlahir di alam yang rendah, di alam yang tidak
behagia, di neraka karena menjadi mangsa dari kemarahannya (A.iv.94).
Kebencian merupakan
akar kejahatan yang muncul karena tidak menginginkan individu lain bahagia.
Kebencian dan dendam muncul karena adanya kesalahan atau perbuatan buruk yang
telah dilakukan oleh pihak lain. Lenyapnya kebencian dan hilangnya dendam akan
membuat cinta kasih semakin berkembang. Berpikir untuk tidak menyakiti atau
berwelas asih terhadap semua maklhuk untuk memghilangkan kekejaman, kebencian
dan kebodohan dengan berusaha untuk mengembangkan pikiran yang diliputi dengan
cinta kasih, kasih sayang, rasa simpati dan keseimbangan batin. Pikiran
dikembangkan dengan memberikan penyamaan pada diri sendiri dan orang lain.
Buddha bersabda “begitu aku begitu orang lain, begini orang lain begitu juga
aku. Setelah memiliki penyamaan diri sendiri dan orang lain seperti itu,
hendaknya tidak mencelakai siapapun atau menyebabkan yang lainnya celaka” (Sn.705).
Manfaat mengembangkan
cinta kasih menunjukkan suatu gambaran bahwa pengembangan cinta kasih membawa
kebahagiaan. Mengembangkan cinta kasih dengan benar menjadikan perasaan cinta
kasih menjadi kuat, pikiran menjadi sejuk, penuh kebahagiaan, ketenangan dan
kedamaian. Manfaat pengembagan cinta kasih menunjukkan suatu gambaran bahwa
cinta kasih membawa kebahagiaan dikehidupan sekarang dan kehidupan yang akan
datang.
Kebahagiaan
dikehidupan sekarang karena pikiran terbebas dari rasa dendam dan kebencian
sehingga dapat tidur dengan tenang, ketika tidur tidak bermimpi buruk, sehingga
bangun tidur dengan perasaan senang dan bahagia. Cinta kasih membuat indah
ekspresi wajah, semua maklhuk mencintai dan menyanyangi, bahkan para dewa yang
tidak terkihat oleh mata biasa akan selalu melindunginya. Kebahagiaan
dikehidupan yang akan datang, bagi yang mengembangkan cinta kasih adalah
terlahir di alam bahagia atau brahma. Buddha menjelaskan bahwa manusia yang
mengembangkan cinta kasih kepada semua makhluk maka ketika meninggal akan
terlahir di alam bahagia. “manusia yang selalu berpikir penuh cinta kasih
semoga semua makhluk hidup terbebas dari permusuhan, kebencian, kekhawatiran
dan hidup bahagia. Maka perbuatan benar sesuai dengan dharma memungkinkannya
untuk terlahir di alam bahagia (M.i.285-289).
2.
Mengembangkan Kasih Sayang
Manusia yang ingin
mengembangkan kasih sayang (karuna ) harus memulai latihan dengan merenungkan
dan melihat bahaya dari tidak adanya kasih sayang dan keuntungan dari adanya
kasih sayang. Kasih sayang secara berturt-terut dapat dimunculkan kepada orang
yang disayangi, orang yang netral, dan kepada seorang musuh.
Kasih sayang
mempunyaikesedihan yang berdasarkan pada kehidupan rumah tangga sebagai musuh
dekatnya, karena karuna dan kesedihan sama-sama memberi perhatian dalam melihat
kegagalan. Kekejaman adalah musuh jauh dari kasih sayang.
Manusia yang melaksanakan meditasi dengan
subyek kasih sayang harus memunculkan rasa kasih sayang kepada orang yang
melakukan kejahatan (Vism.315).
Mengatasi dendam melalui karuna dirumuskan sebagai sesuatu yang dapat
menggetarkan hati terasa kasihan bila melihat pihak lain sedang menderita, atau
mempunyai kehendak untuk meringankan penderitaan makhluk lain. Hati yang penuh
kasih sayang lebih halus daripada sari bunga, tidak akan berhenti dan tidak
puas sebelum dapat meringankan penderitaan individu yang lain, yang membutuhkan
bantuan, yang sakit, yang bodoh, jahat, yang mulia tanpa membedakan agama
(Narada, 1993:70).
Individu yang kejam,
pemarah, pendendam pantas mendapatkan kasih sayang, tidak seharusnya dibenci,
dicemooh atau dihina. Buddha memberikan kasih sayang yang sangat besar kepada
Ambapali seorang wanita pelacur, dan angulimala seorang pembunuh dan perampok
yang kejam hinnga akhirnya mereka sadar dan menjadi orang baik. Menghindarkan
diri dari individu yang jahat bukan berarti tidak boleh bergaul dengannya,
tetapi untuk mengubah sifat-sifat jahatnya.
Sesungguhnya unsur
kasih sayanglah yang mendorong individu untuk menolong yang lain dengan
ketulusan hati. Manusia yang mempunyai kasih sayang murni tidak hidup hanya
untuk dirinya sendiri, malainkan untuk semua makhluk, mencari kesempatan untuk
dapat menolong tanpa mengharapkan balas jasa apapun. Kasih sayang (karuna) harus dipancarkan tanpa batas
terhadap semua makhluk yang menderita dan yang patut ditolong, termasuk
binatang.
Buddha menjelaskan “O
para bikkhu seandainya pencuri-pencuri dan perampok-perampok memotong
anggota-anggota tubuh dengan sebuah gergaji, dan seorang bikkhu membuat
batinnya menjadi marah, dalam hal demikian bukanlah pengikut agama-Ku”(M.i.129). Lebih baik dari hal tersebut
adalah yang dibenci membalas dengan membenci, tetapi ketika dihina tidak
membalas menghina adalah pemenang dari pertempuran. Untuk menjadikan situasi
yang baik manusia dapat mengusahakan menenangkan kemarahannya sendiri ketika
melihat individu lain marah (M.i.222). Menjadi marah dan menahan dendam akan
mempersulit pengembangan kasih sayang.
3.
Mengembangkan Perasaan Simpati
Mudita diterjemahkan
dengan simpati atau kegembiraan. Rasa simpati mempunai ciri khas sebagai rasa
ikut bergembiraatas keberhasilan pihak lain. Mudita mencakup kegenbiraan atas
kegahagiaan atau kesejahteraan individu yang lain. Bebas dari irihati adalah
intisarinya. Perwujudannya adalah penghancuran rasa tidak senang melihat
kondisi kesejahteraan makhluk lain. Mudita dipancarkan kapada semua makhluk
yang makmur dan sejahtera, yang merupakan sikap ikut merasa berbahagia dan
bersyukur.
Rasa simpati (mudita) mempuyai kegembiraan yang
berdasarkan kehidupan rumah tangga sebagi musuh dekatnya, karena mudita dan kegembiraan sama-sama memberikan
perhatian dalam melihat keberhasilan pihak lain. Keengganan (kebosanan)
merupakan musuh jauh dari mudita.
Mangatasi dendam
melelui rasa simpati (mudita), yaitu
merasa bahagai melihat individu lain bahagia. Sering terjadi manusia tidak
tahan dan tidak senang melihat keberuntungan dan kebehagiaan yang lain,
sebaliknya merasa senang melihat kegagalan pihak lain, tidak mau memberikan
selamat bagi yang beruntung ungkapan rasa ikut merasa bahagia, tetapi melakukan
perbuatan-perbuatan yang buruk seperti memfitnah, mengancam atau
menjelekkannya. Mengembangkan mudita merupakan
cara untuk mengatasi keadaan tersebut. Mengembangkan perasaan bahagia melihat
kebahagiaan pihak lain dapat menolong pihak lain utuk terlepas dari kejahatan,
rasa dendam karena melalui mudita manusia tidak akan menghalangi kemajuan dan
kesejahteraan yang lainnya.
Buddha mendorong para
pengikutnya untuk menumbuhkan simpati dan kegembiraan ketika melihat kebahagian
individu lain, yang merupakan penangkal dari irihati. Mempertahankan dan pengembangan
sikap mental yang positif dapat membebaskan diri dari kesulitan dan kejatuhan,
khususnya pada saat dendam dan perbuatan buruk berkambang dari pikiran yang
dipenuhi irihati (Dhammananda, 2004:94). Seorang bikkhu berdiam dan mencari
satu penjuru dunia dengan batin yang disertai rasa mudita, ketika melihat
individu yang sangat dicintai memperolah kebahagiaan, maka akan merasa
bergembira, demikian seorang bikkhu mencari semua makhluk dengan rasa mudita (Vibh.274). Setelah memancarkan perasaan
simpati terhadap individu yang dicintai, rasa simpati harus dikembangkan lagi
terhadap individu yang netral, kemudian terhadap musuh sehingga dendam yang ada
dapat diatasi.
4.
Mengembangkan Keseimbangan Batin
Keseimbangan batin (upekkha) merupakan keseimbangan yang
muncul atas dasar memiliki pandangan benar. Pandangan benar yang dimaksud dalam
upekkha sebagai salah satu kondisi batin luhur, merupakan pengertian benar
terhadap hukum karma, yaitu bahwa semua maklhuk merupakan pewaris dari karmanya
masing-masing. Pandangan benar tersebut memunculkan sikap seimbang yaitu
terbebas dari kemelekatan, rasa dendam dan kebencian.
Keseimbangan (upekkha) mempunyai rasa acuh atau masa
bodoh atau keseimbangan dari ketidaktahuan, yang berdasarkan pada kehidupan
diniawi sebagi musuh dekatnya karena upekkha
dan rasa acuh tak acuh sama-sama memberi perhatian dalam mengabaikan
kesalahan-kesalahan atau kebajikan-kebajikan. Ketamakan dan kemarahan adalah
musuh jauh dari upekkha (Vism.320).
Keseimbanagn batin
muncul berdasarkan adanya pemahaman benar atas bahaya yang dapat timbul dari
perasaan menyenangkan dan perasaan tidak menyenangkan (Vism.317). keseimbangan batin lebih mengacu pada tiada kemelekatan
pada obyek yang menyenangkan maupun kebencian pada obyek yang tidak
menyenangkan. Keseimbangan batin sebagai salah satu kondisi batin luhur
mempunyai ciri khas mengembangkan aspek kenetralan terhadap semua makhluk (Vism.318). Kenetralan terhadap semua
maklhuk memunculkan sikap yang sama terhadap semua tanpa membedakan yang baik atau yang buruk,
yang dicintai atau membenci, menyenangkan atau tidak menyenagkan.
Penyebab terdekat
yang memunculkan keseimbanagan batin adalah perhatian yang bijak (Pandita,
2005: 204). Penyebab perhatian yang bijak tersebut yaitu memahami keadaan
kepemilikan hukum karma dari setiap makhluk (Vism.318).
Upekkha memiliki obyek semua makhluk
tanpa terkecuali, terbebas dari perbedaan yang terdapat dalam diri setiap
maklhuk. Keseimbangan batin menyatukan yang baik dan yang jahat, yang dicintai
dan tidak dicintai, menyenangkan dan tidak menyenangkan, yang buruk dan yang
indah tanpa membedakan (Piyadassi, 2003: 256). Jangkauan upekkha adalah makhluk-makhluk dengan jumlah yang tidak terbatas,
tidak hanya kepada satu makhluk atau dalam satu daerah dengan ukuran tertentu (Vism. 321)
Pengembangan
keseimbangan batin merupakan salah satu praktek yang membawa seseorang terlahir
di alam bahagia (D.i.251). Manusia
yang mengembangkan ketenangseimbangan akan memperoleh kebahagiaan dalam kehidupan
sekarang maupun kehidupan yang akan datang. “ kembangkanlah meditasi
keseimbangan batin, maka reaksi yang ditimbulkan oleh rangsangan pada indera
akan lenyap” (M.1.424).
Pengembangan
keseimbangan batin dapat dilakukan melalui meditasi pengembangan konsentrasi (samatha bhavana). Sebelum melaksanakan
pengembangan keseimbangan batin melalui samatha bhavana seorang meditator harus
melenyapkan penghalang-penghalang dalam melaksanakan meditasi, yaitu penghalang
besar atau penghalang kecil (Vism. 89).
Pengembangan
keseimbangan batin (upekkha) dapat
secara bertahap menghilangkan kekotoran batin, seperti kebencian, kekejaman,
dendam, kedengkian, dan menghasilkan kebajikan
yang paling mulia. Keseimbangan batin dalam menghadapi kondisi yang
menyenangkan maupun tidak menyenangkan melenyapkan dorongan untuk melakukan
perbuatan yang dapat merugikan (M. I,
123). Melalui keseimbangan batin individu tidak mengalami keseimbangan
batin, tidak terganggu oleh kecaman atau bergembira dalam pujian (piyadassi,
2003:2551).
Kehidupan Buddha
memberikan inspirasi bagi pengembangan serta manfaat pengembangan batin.
Keseimbangan batinnya membuat Buddha tetap tenang, tidak tergangu oleh
kemarahan, maupun kebencian ketika pertapa Magandiya menyebutnya sebagai
perusak kehidupan. (M.i.502-513).
Sebaliknya Buddha membimbing Magandiya dengan mengajarkan dhamma sehingga
Magandiya mencapai tingkat kesucian arahat dan akhirnya memohon untuk menjadi
siswanya.
Menjaga keseimbangan
dapat menenangkan pikiran sehingga mampu menghadapi permasalahan dengan sabar
tanpa terpengaruh oleh ucapan yang tidak menyenangkan maupun kondisi yang tidak menguntungkan,
“seperti seekor gajah di medan
perang dapat menahan serangan anak panah yang dilepaskan dari busur. Begitu
pula aku (tathagata) tetap bersabar terhadap
cacian…” (Dhp.320)
Kebencian seperti
keinginan untuk membalas dendam dan kemelekatan merupakan emosi yang mengganggu
pikiran yang menyebabkan penderitaan. Mempraktekan keseimbangan batin adalah
penawar yang bisa mengurangi atau meringankan emosi tersebut. Keseimbangan
batin adalah mempunyai perasaan pada pengalaman positif dan negatif serta mampu
membedakan antara yang salah dan benar. Keseimbangan batin identik dengan
pengembangan kualitas positif
5.
Menerapkan Fakta Kepemilikan Hukum Karma
Setiap perbuatan
manusia akan menimbulkan akibat. Akibat merupakan sebab lain yang akan
menghasilkan lain, sehinngga karma disebut hukum sebab akibat. Akibat dari
suatu perbuatan sesuai dengan perbuatan yang telah dilakukan. Buddha
menjelaskan bahwa sesuai dengan benih yang telah ditabur demikianlah buah yang
akan dipetik pembuat kebaikan akan memetik kebaikan pembuat kejahatan akan
memetik kejahatan ( S.i.227 ). Sifat
yang umum dari setiap manusia adalah kecenderungan untuk mendapatkan
kebahagiaan batin dan jasmani. Keyakinan terhadap hukum karma merupakan keyakinan terhadap diri sendiri dalam menentukan
kehidupan sendiri. Keadaan hidup sekarang dan yang akan datang tergantung dari
perbuatan di waktu lampau dan perbuatan yang sedang dilakukan pada masa
sekarang. Segala kondisi yang terjadi adalah hasil dari perbutan yang telah
dilakukan.
Buddha menjelaskan
bahwa hasil yang baik datang dari sebab yang baik, dan hasil yang buruk datang
dari sebab yang buruk, sesuai dengan hukum karma. Setiap individu yang mengerti
hukum karma tidak akan membuat kesalahan, karena tahu bahwa apapun yang terjadi
adalah hasil dari sebab yang ditanamnya dimasa lalu, dengan berpikir negatif
dan perbuatan yang tak bermoral. Dengan cara ini, manusia akan memahami bahwa
diri sendirilah yang bertanggung jawab atas kebahagiaan dan penderitaan yang
dialami.
Pemahaman terhadap
hukum karma membuat individu berani
dan tabah dalam menjalani kehidupan. Prinsip dasar bagi hukum karma adalah
siapa yang menanam, maka manusia itu sendiri yang akan memetik hasilnya, baik
hasil yang buruk maupun yang baik. Perbuatan baik atau buruk dinilai
berdasarkan pada akibat yang menyenangkan dan tidak menyenangkan yang dialami
oleh yang melakukan perbuatan.
Manusia yang
melakukan karma buruk akan menderita
karena menerima hasil perbuatannya sendiri. Tidak ada yang dapat menghindarkan
diri dari akibat yang tidak menyenangkan yang dihasilkan oleh karma buruk yang
telah dilakukan. Tidak di angkasa, di tengah lautan ataupun di dalam gua-gua
gunung, tidak dimanapun manusia dapat menyembunyikan dirinya dari akibat
perbuatan-perbuatan jahatnya (Dhp.127).
Melalui pemahaman tersebut tidak seharusnya manusia merasa marah dan menaruh
dendam terhadap individu lain atas penderitaan yang dialami, karena apa yang
dialami pada kehidupan sekarang merupakan akibat dari perbuatan yang telah
dilakukan pada masa yang lampau maupun pada masa sekarang.
Aspek moral karma
merupakan ajaran yang sama dengan dengan kelahiran kembali. Menurut hukum sebab
akibat, individu merupakan hasil dari perbuatannya sendiri. Diri sendiri yang
menyebabkan keberadaannya dan diri sendiri yang bertanggung jawab untuk masa
depannya. Pada kehidupan yang sekarang manusia menerima hasil sebagai akibat karmanya yang lampau dan melakukan karma-karma yang baru. Setiap menusia
mempunyai kebebasan untuk melakukan perbuatan baik atau buruk. Jika dalam
kehidupan sekarang individu telah melakukan perbuatan buruk dan menyadari bahwa
perbuatan tersebut buruk serta akan menghasilkan akibat yang tidak
menyenangkan, maka agar perbuatan tersebut tidak terlalu berat atau tidak
efektif maka harus diimbangi dengan melakukan perbuatan yang baik.
Karma mempunyai waktu tertsntu untuk matang sesuai dengan
sifatnya. Berdasarkan pada hukum karma sebagai manusia yang masih
diliputi kebodohan mempunyai sejumlah karma
buruk dan baik. Kehidupan sekarang merupakan ladang tempat perbuatan-perbuatan
yang lampau yang berbuah dan perbuatan-perbuatan yang sedang dilakukan. Dengan demikian hukum karma selalu bekerja
selama manusia belum mencapai pembebasan (nibbana).
E. PENUTUP
1. Simpulan
Dendam adalah usaha
untuk membalas kejahatan atau keinginan untuk membalas. Tindakan untuk membalas
suatu kejahatan merupakan bentuk aktif dari
akusala dhamma, dengan kesadaran atau pikiran menbenci sebagai akarnya dan
kemarahan sebagai sebab utamanya. Dosa
secara etis adalah kebencian tetapi secara psikologis adalah pukulan berat dari
pikiran terhadap obyek yaitu pertentangan atau konflik. Dosa disebut juga patigha
atau dendam, byapada atau kemauan
jahat Patigha diartikan sebagai
kebencian atau kemarahan
Manusia yang
mempunyai kebencian adalah manusia yang memiliki watak dosa atau kebencian (dosa carita) Patigha merupakan istilah
lain dari dosa cetasika yang bersifat
kejam, kasar dan pendendam. Jika dihubungkan dengan pancakkhandha, pathiga
sampayuttam termasuk bentuk-bentuk pikiran (sankhara khandha). Dalam abhiddhammasangaha
dijelaskan tentang dosamula citta
yang berarti kesadaran atau pikiran yang mempunyai kebencian sebagai pemimpin. Dosamula citta disebut juga pathiga citta yang berarti kesadaran
atau pikiran yang menyentuh obyek yang tidak disenangi dosa atau patigha ada
lima macam, yaitu: (1) mempunyai sifat pemarah, (2) tidak mempunyai kehalusan
pikiran, (3) mempunyai pendidikan yang rendah, (4) menyentuh obyek yang tidak
menyenangkan, (5) mempunyai rasa dendam.
Perasaan dendam yang melekat pada individu dapat diatasi melalui
empat appamana (empat keadaan yang tidak terbatas) dan penerapan fakta
kepemilikan hukum karma, untuk melemahkan kemarahan, rasa dendam, kebencian,
nafsu yang dapat menimbulkan penderitaan. Mempraktekkan salah satu dari keempat
keadaan yang tidak terbatas ini akan membawa kebahagiaan yang timbul dari
pandangan terang dan mencapai suatu kehidupan yang bahagi.
Tujuan dari pelaksanaan empat appamana adalah untuk menghancurkan
itikat jahat, kekejaman, irihati dan kenafsuan secara berturt-turut. Metta citovimutti adalah kebebasan dari
kemauan jahat, karuna cetovimutti
adalah kebebasan dari kekejaman, mudita
kebebasan dari irihati dan rasa tidak senang atas kelebihan orang lain sedagkan
upekkha kebebasan dari hawa nafsu
RUJUKAN
Buddhaghosa, Bhadantacariya. 1979. The Part Of Purification (Visuddhi Magga). Kanady, Srilanka:
Buddhist Publication Society. Diterjemahkan dari bahasa Pali Ke Inggris oleh
Bhikkhu Ñāņamoli. Diterjemahkan ke Indonesia oleh
Tim Penerjemah Jalan Kesucian: Eni Darini, dkk. Bali:
Mutiara Dhamma
David, T.W Rshy & Stede, William. 1992. The Pali Teks Society, Pali English
Dictionary. Oxfard: The Pali Teks Society
Dhammananda, K.
Sri. Tanpa Tahun . Bagaimana Mengatasi
Kesulitan Anda.. Malang : Clup Penyebar Dharma
Dhammananda, K
Sri. Tanpa Tahun. The Problem &
Responsible.
Dhammananda, K
Sri. 1993. Hidup Sukses Dan Bahagia Tanpa
Takut Dan Cemas. Jakarta:
Karaniya
Dhammananda.
2004. Be Happy. Jakarta: Karaniya
Dhammika
Shravasti. 2006. Buddha Vacana:
ksaraniya
Dialogue of the
Buddha (Digha Nikaya) Vol III. Terjemahan Davis, Rhys. 1977. London: PTS
Guttadhamo. 2006. kamatthana. Semarang: Vihara Tanah Putih
Kaharudin, Pandit J. Tanpa
Tahun. Hidup & Kehidupan.
Tri Sattva Buddhist Centre
Kaharudin, pandit,J. Tanpa Tahun. Abhiddhammasangaha. Jakarta:
CV. Mitra Kencana Buan
Kim, Tan Choon. 2004. Ajaran Buddha Menuju Hidup Bahagia (Sigalovada Sutta). Palembang: Svarnadipa Sriwijaya
Maha Thera, Ven
Narada. Tanpa Tahun. Fakta Kehidupan.
Jakarta : Dian Dharma
Narada. 1993. Cermin
Kehidupan. Jakarta:
Dhammadipa Arama
Narada. 1998. Sang
Buddha dan Ajaran-Ajarannya Bagian II. Jakarta: Dhammadipa Arama
Piyadassi. 2003. Spektrum.
Surabaya:
Paramita
Piyadassi. 2005. Meditasi
Buddhis Jalan Menuju Ketenangan Batin dan Kebersihan Batin. Surabaya: Paramita
The Book Of Gradual
Sayings (Anguttara Nikaya ) Vol II. Terjemahan Woodward, F.L. 1982. London & Boston: PTS
The Book Of Gradual
Saying (Anguttara Nikaya) Vol. III. Terjemahan
Woodward, F.L. 1989. London
& Boston:
PTS
The Book Of The Kindered Saying (Samyutta nikaya) Part I.
Terjemahan Davis, Rhys. !990. Oxford : PTS
The Dhammapada. Versi 1, 2. Terjemahan
Tr. F. Max Huller. 1985. London:
PTS
The Middle Length
Saying (Majjhima Nikaya) Vol I. Terjemahan
Honner, IB. 1989. London:
PTS
Wijaya Mukti Krisnanda. 2003. Wacana Buddha Dhamma. Jakarta:
Yayasan Dharma pembangunan dan Ekayana Buddhis centre
Wowor, M.A. Cornelis. 2007. Pandangan Sosil agama Buddha. Jakarta:
Arya surya Candra
Wowor, M.A. Cornelis. 1999. Hukum Kamma Buddhis. Jakarta : Rara Karya
No comments:
Post a Comment