Saturday 3 September 2011

HIDUP INI JANGAN TERLALU

HIDUP INI JANGAN JADI TERLALU
Lasino,S.Ag

A.    PENDAHULUAN

Manusia merupakan makhluk individu dan sosial yang membutuhkan bantuan dari pihak lain. Pandangan dan pola hidup yang dimiliki individu satu dengan lain berbeda, dengan tujuan untuk memenuhi keinginannya. Manusia menganggap sebagian dari kepuasan hidup merupakan kebahagiaan hidup, sehingga menimbulkan dorongan-dorongan nafsu indera yang rendah. Maka muncul energi yang dapat memenuhi keinginan dan kepuasan (Partowisastro, 1983:34). Pandangan lain menyatakan bahwa melalui penyiksaan diri yang sangat keras, sampai pada kematian, maka akan mencapai kebebasan sejati (M.i.93).
 Jaman kehidupan pangeran Siddharta Gaotama sampai mencapai penerangan sempurna, menjalani kehidupan berumahtangga dan praktek pertapaan merupakan salah satu pilihan dalam struktur masyarakat. Dalam upaya untuk mendapatkan kebahagiaan, manusia melaksanakan praktek kehidupan sesuai dengan pandangan masing-masing individu. Dalam usahanya, manusia sering terjerumus pada pandangan salah (Miccha ditthi) (Kaharuddin, 2004:10). Terdapatlah dua pandangan ekstrem yaitu mengumbar hawa nafsu yang bersifat rendah, tidak  mulia dan berfaedah, yang kedua praktek pertapaan dengan menyiksa diri tidak mulia dan bermanfaat (S.v.421).
Pangeran Siddharta sebelum mencapai Buddha, pernah melaksanakan jalan ekstrem. Bentuk pemuasan nafsu yang dialami yaitu pada masa kehidupan dalam istana yang diliputi kekayaan, kemewahan, makanan, minuman, memiliki tiga istana besar dan indah .satu isatana untuk musim dingin (ramma), musim panas (suramma), dan musim hujan (subha) (D.ii.21).
Munculnya pengertian pada sebagian masyarakat bahwa dengan memenuhi keinginan yang terus mucul, maka akan mencapai suatu kebahagiaan hidup. Dengan pandagan masyarakat pada umumnya, sehingga mendorong kepemuasan nafsu secara terus menerus tanpa menyadari bahaya dari nafsu indera, yaitu penderitaan dan kelahiran di alam kemerosotan (M.i.92). Penderitaan merupakan bahaya dari nafsu indera yang tidak disadari oleh manusia, karena hanya memikirkan kepuasan pada saat sekarang.Jika keinginanya tidak terpenuhi, maka akan merasa menderita dan diliputi oleh pandangan-pandagan salah, terkekang oleh samsara (A.ii.10).
Dasar pemikiran kaum pengumbar hawa nafsu bahwa tidak percaya akan kehidupan yang akan datang, surga, kelahiran kembali, dan berpandangan kehidupan hanya sekali, dilahirkan, mati hanya sekali. Bagaikan sebuah kendi dibuat oleh tukang kendi pada suatu saat, mengalami masa pada jangka waktu, akhirnya pecah, lenyap untuk selama lamanya.kendi yang sama tidak akan pernah muncul dan kembali lagi (D.i.52-53). Pandangan ektrem pemuasan nafsu akan mendorong munculnya prilaku memuja hawa nafsu yang dianggap dapat membawa kebahagiaan sejati.
Dipihak lain kaum penyiksaan diri berpendapat bahwa menyiksa diri merupakan jalan satu-satunya untuk membebaskan diri dari penderitaan. Mematikan perasaan jasmani maka roh akan bebas dan bersifat bahagia (Widya,1995:6). Melenyapkan kamma buruk dengan menyiksa diri, dan tanpa melakukan kamma buruk baru, maka tidak ada akibat pada masa yang akan datang, kamma akan lenyap, penderitaan perasaan musnah. Pandangan bahwa melalui penyiksaan diri maka akan  mencapai kesempurnaan, karena kebahagiaan tidak dapat dicapaai dengan kesenangan, tetapi dicapai melalui kesakitan (M.i.93-94). Pandangan penyiksaan diri telah menjadi sistem kepercayaan yang kuat dalam usaha mencapai kebahagiaan, pembebasan sejati dan kesempurnaan.
Pertapa Gautama pernah melaksanakan empat cara bertapa. Karena terbelenggu oleh dorongan pandangan salah tentang pemahaman praktek penyiksaan diri akan mampu melenyapkan penderitaan, yaitu: (1) dengan cara yang ekstrem (paramatapa); (2) keras (paramalukha); (3) teliti (paramajegucchi); (4) pengasingan (paramapavivitta) (M.i.77). Bertapa dengan telanjang, memakan kotoran sapi, mengenakan pakaian dari rami dicampur kain pembungkus mayat, kulit pohon, tidur diatas duri, makan sebutir nasi dalam sehari, hidup ditengah hutan yang sepi,dan menakutkan. Demikianlah praktek pertapaan yang menimbulkan kesakitan,penderitaan sekarang maupun yang akan datang. Melalui praktek penyiksaan diri, pertapa Gautama tidak mencapai pengetahuan dan penerangan sempurna sebagai manusia suci yang melebihi kebiasaan manusia biasa (M.i.81). Pelaksanaan dhamma melalui praktek pertapaan keras, akan membawa pada penderitaan.
 Empat macam pelaksanaan Dhamma yaitu: pelaksanaan dhamma akan menyebabkan penderitaan sekarang dan yang akan datang, kebahagiaan sekarang dan penderitaan yang akan datang,penderitaan sekarang dan kebahagiaan yang akan datang, pelaksanaan dhamma akan menyebabkan kebahagiaan sekarang maupun yang akan datang (M.i.310-311). Pemuasan hawa nafsu menimbulkan kebahagiaan sekarang, tetapi menimbulkan penderitaan yang akan datang. Penyiksaan diri menimbulkan penderitaan saat sekarang dan yang akan datang.
Pandangan ekstrem sering menimbulkan pertentangan yang sulit dicari titik temunya, menimbulkan tindak kekerasan yang melanggar nilai kemanusiaan, dilandasi sikap radikal yang disebabkan oleh kefanatikan menganut suatu paham.Adanya kehendak yang didasarkan pada pandangan membuta, manusia mengalami penderitaan dan tekanan jiwa, keputusasaan, dan kematian adalah jalan untuk terbebas dari penderitaan (Naylor, 1996:66; Timpenyusun, 1989:52)

B.     PANDANGAN EKSTRIM
Pandangan Ekstrim menurut kamus besar bahasa Indonesia, terdiri dari dua kata yaitu: ekstrem artiya melampaui batas kebiasaan, sangat keras, kuat dan identik dengan fanatisme, isme artinya kepercayaan atau pandangan terhadap segala sesuatu yang dimiliki individu (Depdiknas, 2001: 292). Dari pengertian bahasa, Pandangan Ekstrim sinonim dari sistem kepercayaan  yang kuat, melempaui batas kebiasaan dan membela, menuntut segala sesuatu yang diinginkan agar dapat tercapai dan terpenuhi. Melalui pikiran, perbuatan maupun tindakan yang melampaui batas, sangat kuat atau keras, tidak sesuai dengan hukum dan norma yang berlaku. Manusia mengabadikan pandangan dan kepercayaan sebagai semboyan hidup.
Pandangan Ekstrim mengarah pada kepercayaan yang menitikberatkan pada kepentingan diri sendiri dan kelompoknya, untuk mencapai kesejahteraan hidup. Pandangan yang menyatakan bahwa setiap individu harus mengejar kebahagiaan yang berorientasi dan terpusat pada diri sendiri. Segala pikiran, keinginan dan tindakan terarah pada kepentingan diri sehingga tidak mau mempertimbangkan individu lain (Timpenyusun, 1989:13). Memandang sistem kepercayaan individu lain adalah salah, dan meletakan pandanganya pada posisi paling atas (Sn.895). Kebebasan adalah bagian penting bagi kehidupan, sehingga manusia cenderung memikirkan untuk mencari dan mendapatkan kebebasan mutlak melelui jalan yang diangga paling benar dan sesuai.
Pandangan Ekstrim adalah orang atau kelompok masyarakat yang menganut pandangan paling ujung, keterlaluan dan berlebihan dalam bidang kehidupan. Seperti bidang ekonomi, hukum, politik dan sistem relegius (Timpenyusun, 1989:52).Pandangan ekstrem sering kali menimbulkan pertentangan yang sulit dicari titik temunya, karena adanya perbedaan kepercayaan atau pandangan  yang terlalu tajam. Pandangan ektrem yang dilandasi sikap radikal, disebabkan menganut suatu kepercayaan yang tidak sesuai dangan pandanganya adalah salah dan harus dihilangkan. Pandangan ekstrem dapat menyebabkan tindakan kekerasan yang melanggar nilai-nilai kemanusiaan, dan adanya kecenderungan menggunakan segala cara demi mencapai kebebasan serta kebahagiaan yang abadi.
Konsep Pandangan Ekstrim dalam kajian agama Buddha mengacu pada pandangan atau kepercayaan yang bersifat rendah, tidak mulia, keras dan sia-sia, serta tidak membawa pada kemajuan batin (S.v.420). Pandangan Ekstrim dalam agama Buddha menjelaskan tentang dua pandangan pinggiran (anta) yaitu pengumbaran hawa nafsu disertai dengan kemelekatan indera yang secara terus menerus (kamasukhallikanuayoga) dan yang kedua praktek pertapaan keras melalui penyiksaan diri (attakilamathanuyoga) (S.v.421)
Masa kehidupan Buddha, di India kondisi spiritual masih dalam keadaan yang tidak pasti. Ketidakpuasan intelektual, penyelidikan kepercayaan atau pandangan membuat manusia gelisah, yang ditandai dengan gerakan-gerakan keagamaan muncul dan berkembang (Widya, 1992:3). Tradisi kepercayaan yang paling berpengaruh adalah terikat pada praktek penyiksaan diri, tata upacara pengorbanan dan kepercayaan akan pemuasan hawa nafsu yang digunakan untuk menemukan kebebasan serta kebahagiaan tertinggi (Narada, 1995:16).
Di India kuno terkenal ahli-ahli filsafat dan guru spiritual terkemuka yang memiliki pandangan berbeda-beda terhadap kehidupan dan tujuanya (Narada, 1995:53). Brahmajala sutta dalam Digha Nikaya menyebutkan ada enampuluh dua macam teori filsafat yang ada pada jaman Buddha (D.i.10). Masing-masing pandangan saling bertentangan dan menjalani kehidupan sesuai dengan pemahaman, pengetahuan dari masing-masing individu, sehingga banyak mausia yang menempuh jalan ekstrem. Individu yang mengukuhi pandanganya masing-masing akan masuk dalam pertikaian dengan pengikut    kelompok lain (Sn.878).
Brahmajala sutta (D.i.1-51) dan  Samannaphala sutta (D.i.52-59) merupakan kotbah besar yang membicarakan tentang berbagai pandangan dalam menjalani pertapaan. Ada enam guru besar (Chalabhijatiyo) yang sangat berpengaruh: (1) Purana kassapa, mengajarkan teori tanpa perbuatan (Akiriyavada). Yaitu berdana, mengendalikan diri, menjga indera, adalah tidak ada suatu tindakan dari perbuatan, dengan kata lain tidak ada penambahan kebajikan (D.i.52-53), (2) Makkhali Gosala, mengajarkan teori penyucian melalui proses samsara, yaitu menerangkan bahwa manusia yang mengembara dalam samsara pada akhirnya akan terbabas dari penderitaan (D.i.53-54), (3) Ajita Kesakambalin, ajaran nihilis moral (natthikavada) yang menerangkan filosofi materialis dan menolak adanya kehidupan lain. Mengajarkan tentang teori pemusnahan (materialism, vibhava ditthi, ucchedavada) (D.i.56), Menerangkan bahwa tidak ada hasil dari perbuatan baik atau buruk. Setelah mati, manusia akan hancur, musnah dan tidak akan terlahir kembali (D.i.55), (4) Pakudha Kaccayana, menerabgkan tentang penolakan terhadap prinsip-prinsip moralitas. Teori tujuh kelompok dasar (tanah, air, api, udara, kenikmatan, kesakitan dan kehidupan (jiva) tidak dibuat, diciptakan dan tidak menghasilkan (D.i.56), (5) Nigantha Nataputta, (sebagai leluhur jainisme), mengajarkan bahwa ada jiwa utuh yang terperangkap dalam materi karena ikatan–ikatan kamma masa lampau. Jiwa akan terbebas bila ikatan kamma masalampau telah habis, melalui praktek penyiksaan diri yang amat berat. Menjelaskan teori tentang empat pengendalian diri (catu-yama-samsara) yaitu pengikut nigantha hidup mengendalikan diri dari semua air, terbebas dari ikatan-ikatan (nigantha), mempergunakan, dan menyingkirkan semua air batinya akan terkendali (yatatta), dan nigantha melumuri dengan semua air, maka akan terpusat (thitatta) (D.i.57), dan (6) Sanjaya Belatthaputta (guru Sariputta dan Mogallana), memiliki pandangan yang berbelit-belit (amaravikkhepikavada). Teorinya berbelit-belit tentang: dunia lain, buah dari perbuatan baik atau buruk, Tathagata ( ada dan tidak ada, bukan ada pun bukan tidak ada) (D.i.27, i.58-59).
Sifat hidup manusia adalah mencari kebahagiaan dan kebebasan abadi. Sebagian masyarakat berpandangan bahwa melalui pengumpulan benda-benda duniawi dan harta kekayaan guna memuaskan nafsu indera. Keserakahan, kekuasaan, kefanatikan, adalah bentuk usaha untuk mendapatkan kebahagiaan dan mematikan rasa penderitaan (Naylor, 1996: 67). Kebudayaan umum pada masa sekarang adalah mengagungkan segi materi dan mengabaikan segi spiritual. Kontak antara enam landasan indera dengan obyek akan menimbulkan keserakahan, kebencian, dan kebodohan, sehingga menjadi pemacu ketidaktenangan dalam menjalani hidup.
Kehidupan merupakan suatu proses dinamika yang diwujudkan melalui perubahan-perubahan yang terjadi dalam suatu fenomena alam. Manusia terlepas dari penderitaan lahir dan batin, mencapai kebebasan sejati merupakan tujuan dari semua makhluk hidup. Tetapi pada kenyataanya banyak kendala dalam pelepasan penderitaan dan pencapaian kebahagiaan yang disebabkan oleh faktor intern maupun ekstern dari individu. Dalam diri manusia ditemukan keinginan, hasrat, kebencian, perasaan sedih, penderitaan, adalah menyatakan diri sebagai kehendak untuk memperoleh kebahagiaan dan kebebasan (Timpenyusun, 1991:163). Pandangan tentang pemuasan hawa nafsu dan penyiksaan diri hanya akan membawa pada penderitaan.
1.     Macam-Macam Pandangan Ekstrim
Manusia memiliki akar-akar pikiran baik dan buruk. Sifat-sifat pikiran buruk yang menyebabkan terjadinya karma yaitu keserakahan (Lobha), kebencian (dosa), dan kegelapan batin  (Moha) (A.iii.33). Benih-benih kejahatan yang ada dalam setiap individu akan terus berkembang apabila tidak dihilangkan. Pandangan-pandangan ekstrem dapat muncul melalui pikiran dan batin yang selalu diliputi oleh noda-noda batin yang dimiliki setiap individu. Pikiran adalah pelopor, pemimpin, dan pembentuk dari segala sesuatu. Bila seseorang berbicara, berbuat dengan pikiran yang murni maka kebahagiaan akan mengikutinya (DhA.2)
Pandangan ekstrem yang bertentangan dengan kepercayaan agama Buddha adalah ajaran nihilistik atau sering disebut meterialisme (kamasukhallikanuayoga) yang dianut oleh kaum carwaka yaitu nama si pendiri (Narada, 1995:53). Pandangan materialisme adalah suatu paham yang berteori bahwa melalui pemuasan nafsu indera dan kemelekatan pada benda-benda materi, maka akan mancapai kebahagiaan sejati. Kelompok meterialisme berpedoman tentang pemuasan dan kemelekatan indera yang terus menerus. Tidak percaya kehidupan yang akan datang, tentang surga, neraka, maupun kelahiran kembali. Pada dasarnya manusia dilahirkan pada waktu tertentu, hidup dalam jangka waktu tertentu, mati dan akhirnya lenyap untuk selama-lamanya, tanpa lahir dan hidup kembali. Tidak ada buah atau hasil baik maupun buruk dalam semua perbuatan (D.i.52-53). Penghancuran secara total pada diri makhluk setelah meninggal adalah pemahaman yang mendorong pada pemujaan hawa nafsu.
Praktek pengumbaran nafsu indera yang secara terus-menerus akan menimbulkan kemelekatan pada obyek. Jika manusia mengiginkan kenikmatan indera dan berhasil mendapatkanya, maka akan merasa terpuaskan, tetapi jika tidak memperolehnya akan menderita bagaikan tertusuk anak panah (Sn.776). Pandangan materialisme akan mendorong timbulnya tindak-tanduk yang memuja hawa nafsu, karena tidak ada kehidupan yang akan datang. Mengejar kenikmatan sebesar-besarnya diangap jalan yang paling bijaksana untuk mencapai kebebasan. Agama hanya dipandang sebagai penyimpangan kepercayaan yang dungu dan tidak bermanfaat (M.i.501-513).
Pandangan ekstrem  kedua adalah menjalani kehidupan bertapa dengan praktek penyiksaan diri (attakilamathanuyoga). Berpendapat bahwa kebebasan hanya dimungkinkan tercapai apabila menjalankan kehidupan dengan bertapa keras. Merupakan ajaran murni dan kuat yang dilakukan oleh para pertapa. Kaum yang memiliki pandangan penyiksaan diri sering dikenal sebagai kelompok Tittiya. Pandanganya adalah roh kekal, bersifat bahagia, tetapi terkekang oleh badan jasmani, sehingga harus dibebaskan agar roh bisa bahagia. Pembebasan roh dilakukan dengan menyiksa diri (Widya, 1992:104-105). Manusia yang melakukan karma buruk pada kehidupan lampau, dapat dilenyapkan dangan menyiksa diri dikehidupan sekarang (M.i.92-93)
Pertapa yang melaksanakan penyiksaan diri, menyadari bahaya mengejar kenikmatan duniawi. Praktek pemuasan nafsu jika dijadikan patokan dalam tindak tanduk, maka akan menyebabkan kemerosotan dalam segi moral. Kebahagiaan sejati menurut kaum Tittiya hanya dapat dicapai dengan membeaskan roh dari belenggu badan jasmani, dengan jalan melenyapkan sama sekali perasaan-perasaan jasmaniah. Oleh kerena itu para pertapa menciptakan bermacam-macam cara untuk menyiksa jasmani (Widya, 1995:6). Praktek kehidupan melalui pemujaan hawa nafsu serta prktek bertapa dengan keras merupakan bentuk usaha manusia untuk mencari kebebasan dan kebahagiaan yang abadi.

2.    Sebab Munculnya Pandangan Ekstrim
Pandangan salah merupakan akar penyebab munculnya Pandangan Ekstrim dalam pandangan agama Buddha. Hakekadnya terdiri dari dua kata yaitu pandangan yang berarti cara memahami dan memandang.kata yang kedua adalah salah, yang berarti tidak benar, keliru (Timpenyusun, 2001:821-982). Pandangan salah dapat diartikan sebagai sistem kepercayaan atau cara memahami terhadap segala sesuatu yang keliru dan tidak benar. Pandangan salah sering dianut oleh manusia karena ingin mencari jati diri dan kebahagiaan sejati, tanpa mempertimbangkan akibat dari pemahaman yang salah. 
Dalam literatur Buddhis, pandangan salah terdiri dari dua kata, yang pertama adalah pandangan istilahnya ditthi (pali), drsti (sanskerta). Kemudian kata salah disebut dengan istilah miccha (pali), mithya (sanskerta) (Panjika, 2004:10). Miccha-ditthi secara harafiah berarti sistem kepercayaan atau pandangan salah terhadap segala sesuatu fenomena yang terjadi di alam semesta (M.i.47).
Pandangan Ekstrim mengacu pada perubahan pola pikir dan tingkah laku manusia, dikarenakan ketiadaan pengetahuan dari masing-masing individu. Kebodohan menyebabkan manusia terjerumus dalam roda samsara yang terun berputar tanpa henti. Tidak dapat membedakan mana yang baik dan buruk adalah bentuk perbuatan salah yang dilakukan oleh pikiran. Semua tindakan disebut salah apabila bersumber dari akusala: keserakahan (lobha), kebencian (dosa), dan kebodohan (moha), serta pandangan salah (miccha-ditthi) (D.iii.275;M.i.47).
Jaman kehidupan Buddha, muncul dan berkembang berbagai pandangan dari bermacam-macam aliran kepercayaan yang dianut sesuai dangan batas kemampuan masing-masing individu. Ada pandangan berdasarkan pengalaman, pengetahuan, dan pencapaian sehingga mempunyai kemampuan untuk membuktikan kondisi yang diyakini. Pemahaman lain menganut dan meyakini hanya berdasarkan pada spekulasi. Pemahaman sistem kepercayaan lebih banyak diketahui hanya dari guru-guru dan didasarkan spekulasi. Ada yang diperoleh berdasarkan kepercayaan yang membuta pada doktrin-doktrin kitab suci yang tidak sesuai dengan hukum alam (D.i.13-21;M.i.93;M.ii.501-514).
Pandangan bahwa setelah kehancuran badan jasmani, atta dianngap sebagai suatu inti yang kekal (D.i.13). Jiwa tetap ada walaupun tubuh telah hancur , atta akan terlahir kembali dari satu kehidupan ke kehidupan lain. Ajaran tentang atta disebut dengan teori kekekalan (eternalis) yang mendorong pengikutnya untuk melaksanakan cara pembebasan atman dari belenggu badan jasmani. Praktek pertapaan keras (paramatapa) menjadi salah satu cara digunakan seagai doktrin kepercayaan untuk menginspirasikan ajaran yang diperoleh dari guru-guru terdahulu (M.i.92).
Doktrin ajaran yang berlawanan, menolak adanya suatu kehidupan baru setelah kehidupan sekarang. Teori ajaranya adalah menganggap makhluk-makhluk hidup hanya sekali dan terakhir. Setelah tubuh mati dan hancur maka kehidupan telah berakhir selamanya (D.i.134-135). Pandangan salah tentang pemusnahan adalah realitas terakhir akan mendorong pengikutnya untuk melakukan tindakan yang cenderung memuja hawa nafsu.
Doktrin-doktrin berasal dari kaum materialis yang dikenal sebagai kaum carvaka, lokayatika, dan barhaspatya (Kalupahana, 1986:10). Teorinya bahwa persepsi indera merupakan satu-satunya sumber pengetahuan. Kehidupan spiritual dan kebatinan diangga hanya kepercayaan dungu dan sia-sia. Doktrin kepercayaan yang lain menyatakan tentang konsep kekekalan.Dianut oleh kaun jaina dan Tittiya yang menekankan pada praktek penyiksaan diri. Pandangn salah terhadap ajaran merupakan penyebab munculnya Pandangan Ekstrim.      
     Sebagai penengah diantara pandangan-pandangan salah, Budhisme muncul dan menentang ajaran tentang kemusnahan dan menolak kekekalan mengenai atta. Buddha telah menemukan jalan tengah mulai dari hidu di istana megah, belajar dari guru spiritual, bertapa keras, hingga mencapai kesempurnaan (M.i.163-166, 242-247; Sn.245-249; DhA.85). Manusia seharusnya dapat menolak system kepercayaan yang menyebabkan kebencian, dan keserakahan (Shian, 2005:4).
“Janganlah percaya begitu saja pada yang didengar, mengikuti tradisi-tradisi secara membuta karena telah dipraktekan secara turun-temurun, terpancing desas-desus, meyakini segala sesuatu hanya karena sesuai dangan kitab suci, berpegang kuat pada pandangan keliru, meyakini karena rasa hormat pada guru, sebaiknya manusia mampu mangatasi pendapat dan kepercayaan melalui penyelidikan ajaran” (A.i.189;M.i.317-320).

Meniliki Pandangan salah (Miccha-ditthi) terhadap ajaran yang diliputi oleh kebodohan, keserakahan dan kebencian, maka akan mengalami kesengsaraan setelah kematian. Karena akan menuju kealam-alam menderita, bagaikan kubangan yang dipenuhi kekotoran selam ratusan tahun (Sn.274-279).

C.     DESKRIPSI PENGUMBARAN  HAWA NAFSU

Pengumbaran hawa nafsu kerupakan suatu usaha untuk memaparkan secara jelas mengenai pengumbaran nafsu atau dorongan hati yang kuat. Nafsu indera bersifat negative, karena menimbulkan kemelekatan pada obyek. Menurt literatur Buddhis, nafsu indera diistilahkan balam bahasa pali yaitu Kama (Kaharuddin, 2004:18,356). Keinginan akan nafsu indera adalah kama-tanha (A.iii.445; M.i.48-49; Vibh.365). Kemelekatan indera pada obyek secara terus-menerus disebut kamapadana (M.i.51). Kepuasan dan kesenangan dari napsu indera yaitu tanha-chanda (Kaharuddin, 2004:9). Doktrin ajaran tentang melalui pengumbaran hawa napsu secara terus-menerus, akan mencapai kebahagiaan (kamasukkhallikanuayoga) (S.v.420).
Nafsu indera (kama), merupakan keinginan secara kesinambungan untuk memperoleh kesenangan dan kepuasan terhadap benda-benda materi (tanha-chanda). Kama identik dengan sifat negatif, dengan adanya nafsu indera, maka manusia  akan terjerumus  dan terikat dalam noda batin  sehingga menyebabkan penderitaan (samsara) (M.i.48, 92;Dh.34). Makhluk yang ingin melepaskan diri dari penderitaan harus mampu melenyapkan napsu indera yang rendah (kama) dari dalam dirinya (Sn.535, 778;DhA.197). Melalui pelenyapan nafsu setiap makhluk akan mencapai kebahagiaan sejati.
 Jenis kama dapat dikelompokan menjadi dua kelompok yaitu: (1) Kilesa kama (pali), klesa kama (sanskerta), yaitu napsu indera yang kotor, tenggelam dan terikat yang disebabkan oleh sepuluh kilesa; (2) Vatthu kama (pali), vastu kam (sanskerta) yaitu napsu indera terhadap obyek luar : pemandangan, suara, bau, rasa, dan sentuhan. Disebabkan oleh obyek kesenangan indera (Kamaguna) (Kaharuddin, 2004:18). Nafsu keinginan indera termasuk dalam kelompok pikiran (Sankhara-khanda), sedangkan obyek-obyek napsu masuk dalam kelompok bentuk (Rupa-khanda).
Kilesa kama, muncul karena disebabkan oleh adanya sepuluh macam kekotoran batin yang melekat pada diri manusia : (1) keserakahan (lobha-kilesa), (2) kebencian (dosa-kilesa), (3) kebodohan (moha-kilesa), (4) kesombongan (mana-kilesa), (5) kekeliruan (ditthi-kilesa), (6) keraguan (vicikiccha-kilesa), (7) kemalasan (thina-kilesa), (8) kegelisahan (uddhacca-kilesa), (9) tidak malu (ahirika-kilesa), (10) tidak takut (anottappa-kilesa) (Vibh.391).
Sepuluh macam noda batin (kilesa), merupakan penyebab munculnya hawa napsu dalam diri manusia yang akan mencengkeram dalam penderitaan. Ketidaksempurnaan mengotori batin, yang sulit dihilangkan tanpa adanya usaha keras dari dalam individu sendiri (M.i.36; Sn.245).
Munculnya vatthu kama disebabkan oleh lima macam obyek kesenangan indera, yaitu ; Jasmani (Rupa) yang dilihat oleh mata dan merangsang nafsu indera, suara (sadda) yang didengar oleh telinga dan dan merangsang nafsu indera, Bau (gandha) yang cium oleh hidung dan merangsang nafsu indera, Rasa (rasa) yang kecap oleh lidah dan merangsang nafsu indera, Sentuhan (Photthabba) yang dirasa oleh tubuh dan merangsang nafsu indera. (M.iv.51,92,173,Vbh.70).
Obyek-obyek indera yang menyenangkan, mempunyai suatu pengaruh kuat untuk mengikat pikiran-pikiran manusia, sehingga menimbulkan kehausan dan kemelekatan (D.ii.59). Nafsu indera disebabkan oleh 10 kilesa (rintangan-rintangan batin) yang berkenaan dengan lima kelompok kehidupan (panca-khandha): rupakkhandha, vedanakkhandha, sannakkhandha, sankharakkhandha, vinnanakkhandha, termasuk dalam kelompok pikiran (sankharakkhandha). Sedangkan obyek-obyek indera adalah masuk dalam kelompok bentuk materi (rupakkhandha) (M.i.85,173).
Kemelekatan yang muncul berdasarkan pada lima pengikat nafsu, merupakan bentuk kemekatan pada benda-benda duniawi (kama tanha).  Keinginan (tanha) dan kehausan pada obyek indera, tidak pernah terpuaskan sehingga dapat menimbulkan penderitaan (S.v.421; Dh.342).
Nafsu keinginan merupakan penghalang yang melemahkan kebijaksanaan. Manusia yang terbelenggu nafsu, pikirannya bercabang-cabang, dan keinginan tidak terpuaskan, maka akan dikuasai oleh belenggu samsara (Dh.48), ketidakpuasan adalah akibat dari kemelekatan (Sn.36). Jika manusia ingin menghilangkan ketidakpuasan, tindakan yang tepat adalah menghapuskan penyebabnya yaitu belenggu obyek-obyek indera.
Doktrin ajaran tentang praktek pemuasan hawa nafsu disertai kemekatan pada obyek, merupakan salah satu bentuk Pandangan Ekstrim yang bersifat rendah, tidak mulia dan sia-sia. (S.v.420). Kaum pengumbar hawa nafsu berpandangan bahwa materi merupakan realitas terakhir (Kalupahana. 1986:11). Menyebabkan manusia lebih mengutamakan kepuasan pada diri sendiri, tanpa mempertimbangkan bahaya dari nafsu yaitu menjadi korban kelahiran dan kelapukan (Dh. 341). Perbuatan-perbuatan yang dilakukan baik atau buruk akan berakhir dengan kematian yang berarti pemusnahan terakhir dari makhluk-makhluk (D.i.21,47).
Padangan materialis dengan sendirinya akan mendorong tidak-tanduk  yang memuja hawa nafsu. Makan, minum, dan berfoya-foya salah satu bentuk tindakan pemuasan nafsu indera (kama). Akibatnya ketenteraman, kedamaian, persahabatan…... tidak terwujud sepenuhnya (Mettadewi, 1999:33).
1. Sebab Timbulnya Nafsu
Manusia lahir ke dunia, terdiri dari lima kelompok kehidupan (panca-kkhandha). Pancakkhandha dapat diuraikan menjadi dua bagian besar, yaitu kelompok jasmani (Rupakkhandha) dan batin (Namakkhandha). Namakkhandha terdiri atas empat kelompok kehidupan, yaitu perasaan (vedanakkhandha), pencerapan (sannakkhandha), bentuk-bentuk pikiran (sankharakkhandha), dan kelompok kesadaran (vinnanakkhandha). (S.ii.47, Vbh.1).
Kelompok batin (namakkhandha) dan jasmani (rupakkhandha), tidak dapat berdiri sendiri tetapi merupakan kelompok kehidupan yang saling bergantungan dan masing-masing mengalami, proses perubahan (Wahyono, 2002:178). Batin dan jasmani selalu dalam keadaan berubah-ubah. Setiap ada perkembangan fisik, batin juga mengalami perubahan. Keadaan pertumbuhan batin dapat berkembang menjadi baik, apabila diberi rangsangan jasmani yang baik. Sebaliknya batin akan berubah menjadi yang jahat jika diberi rangsangan tidak baik.
Namakkhandha tidak jelas dilihat oleh mata biasa, tetap dapat diketahui  melalui tingkah laku yang muncul dari batin atau pikiran. Pikiran adalah pemimpin dan pembentuk dari segala perbuatan (kama) yang dilakukan melalui pintu pikiran (manodvara), perkataan (vacidvara), dan pintu jasmani (kaya dvara) (M.i.48). Hendaknya manusia selalu menjaga, mengendalikan dan menghentikan rangsangan jasmani, ucapan, pikiran jahat, yang dilanjutkan dengan mengembangkan kearah yang baik (Dh.2, 131-133).
Hawa nafsu muncul karena adanya lima landasan indera (panca indera): (1) mata (cakkundriya), telinga (sotindriya), hidung (ghanindriya), lidah (jiuhindriya), jasmani (kayindriya) (M.i.173,S.ii.3). Panca indera yang dihadapkan pada obyek akan timbul kesan-kesan atau Phassa (A.i.223), yang kemudian muncul kesadaran mencerap obyek menimbulkan perasaan atau Vedana (S.iv.232). Adanya kontak atau kesan mental maka muncul perasaan menyenangkan dan tidak menyenangkan dan netral, tanpa  kontak, maka tidak akan ada perasaan dan sebagaimana ide mengenai menjelma serta penjadian juga berasal dari adanya kontak (Sn.870). 
Adanya landasan indera yang kontak dengan lima obyek kesenangan (kamaguna) : bentuk yang dapat dilihat, suara, bau, rasa, dan sentuhan, disertai dengan keserakahan (lobha) sebagai pemimpin, maka akan timbul perasaan, keinginan (tanha) dan kemelekatan (upadana) (D.ii.59;M.i.51;Dhs.445). Dalam diri manusia yang belum mencapai tingkat-tingkat kesucian, terdapat sifat baik dan buruk, Sifat buruk lebih mendominasi diri manusia. Maka manusia lebih mudah berbuat tidak baik yang akan mengakibatkan penderitaan bagi manusia.
“Tiga akar kejahatan (akusala mula) yaitu: akar kejahatan keserakahan (lobha), kebencian (dosa), dan akar kejahatan kebodohan (Moha). Inilah tiga hal yang membawa kemerosotan. Tiga akar kebajikan (kusala mula) yaitu: akar kebajikan tidak serakah (alobha), tidak membenci (adosa), dan akar kebajikan tidak bodoh (amoha) inilah tiga hal yang membawa kemuliaan (D.iii.275, A.iii.33).

Nafsu indera muncul disebabkan  adanya keserakahan dalam diri manusia. Keserakahan muncul karena indera mencerap obyek yang baik, sehingga timbul hasrat untuk melekati. Lobha secara ethika berarti ketamakan, tetapi secara psikhologi diartikan sebagai terikatnya pikiran oleh obyek-obyek indera yang menyenagkan. Disebut juga sebagai keinginan (tanha), nafsu lobha (abhijjha), hawa nafsu (raga, kama) (Kaharuddin, 2004:183)
Abhidammmtthasangaha menjelaskan tentang keserakahan (Lobhamulla citta) sebagai penyebab nafsu indera dalam pikiran manusia. Lobha mula citta merupakan kesadaran pikiran buruk (akusala citta) yang timbul dengan adanya keserakahan menjadi sebab yaitu kesenagan dan kemelekatan pikiran terhadap berbagai macam obyek. Lobha mula citta bersekutu dengan tiga hal yaitu, perasaan (vedana), pandangan salah dan tidak bersekutu dengan pandangan salah (ditthi), wujud atau bentuk (sankhara) (Mettadewi, 1994:46).
Lobha mula citta yang merupakan kesadaran pikiran serakah atau tamak terdiri dari:
      a.            Kesadaran pikiran yang timbul tanpa ajakan, disertai kesenangan, bersekutu dengan pandangan salah (Somanassa sahagatam ditthigatasampayuttam asankharikam). Contoh : kesadaran pikiran manusia, ketika melihat harta karun dan dengan nafsu mengambilnya dan digunakan untuk berfoya-foya.
      b.            Kesadaran pikiran yang timbul dengan ajakan, disertai kesengan, bersekutu dengan  pandangan salah (Somanassa sahagatam ditthigatasampayuttam sasankarikam). Contoh: pikiran seseorang untuk menonton pertunjukan tari-tarian, atas ajakan kelompoknya dengan disertai kesenagan dan tidak mengetahui perbuatannya akan menambah keserakahan (lobha).
       c.            Kesadaran pikiran yang timbul tanpa ajakan, disertai kesenangan, tidak bersekutu dengan pandangan salah (Somanassa sahagatam ditthigatavipayuttam asankharikam). Contoh : pikiran seseorang untuk mencuri harta milik orang lain yang timbul secara spontan, disertai kesenagan, walaupun mengetahui bahwa perbuatannya salah.
      d.            Kesadaran pikiran yang timbul dengan ajakan, disertai kesenagan , tidak bersekutu dengan pandangan salah (Somanassa sahagatam ditthigatavippayuttam sasankharikam). Contoh: pikiran seseorang untuk mendengarkan pembicaraan orang lain tanpa ijin, dengan mengikuti ajakan sahabatnya disertai kesenagan, dan mengetahui bahwa perbuatannya salah.
       e.            Kesadaran pikiran yang timbul tanpa ajakan, disertai kemasabodohan, bersekutu dengan pandangan salah (Upekkhasahagatam ditthigatasampayuttam asankharikam). Contoh: pikiran seseorang untuk mencuri buah apel, yang timbul secara spontan (tanpa ajakan) disertai sedikit kesenagan, dan mempunyai pandangan bahwa tidak ada akibat yang ditimbulkan dari perbuatannya.
       f.            Kesadaran pikiran yang timbul ajakan, disertai kemasabodohan, bersekutu dengan pandangan salah (Upekkhasahagatam ditthigatasampayuttam sasankharikam). Contoh: pikiran seseorang untuk mengikuti pesta minuman keras, atas undangan sahabatnya dengan disertai sedikit kesenagan, dan dengan pandangan bahwa tiada ketidakbaikan dalam perbuatannya.
      g.            Kesadaran pikiran yang timbul tanpa ajakan, disertai kemasabodohan, tidak bersekutu dengan pandangan salah (Upekkhasahagatam ditthigavipayuttam asankharikam). Contoh: pikiran seorang pemuda untuk melihat bentuk tubuh wanita yang sedang mandi, timbul secara spontan dengan sedikit kesenangan disertai segan.
      h.            Kesadaran pikiran yang timbul tanpa ajakan, disertai kemasabodohan dan bersekutu dengan pandangan salah (Upekkhasahagatam ditthigavipayuttam sasankharikam). Contoh : pikiran seseorang untuk mencuri yang dilakukan dengan terpaksa karena ingin memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, dan mengetahui kalau mencuri adalah perbuatan salah. (Mettadewi, 1994:46-47).
Lobha mula citta 8, yang terdiri dari 8 jenis, lobha pertama yang berakibat paling besar karena pikiran lobha timbul tanpa ajakan, disertai kesenagan dan bersekutu dengan pandangan salah. Pandangan Ekstrim jenis pertama yaitu berpandangan bahwa melalui pemuasan nafsu indera secara terus menerus akan mencapai kebahagiaan masuk dalam jenis lobha mula citta yang pertama. Pemuasan nafsu dengan mengikuti obyek-obyek indera dan menganggap tidak ada akibat dari perbuatan jahat adalah bersekutu dengan pandangan salah (ditthigatasampayutta) Tidak ada surga, neraka, sehingga akan melekat pada obyek (D.ii.52-59), adalah bersekutu dengan pandangan salah (ditthigatasampayutta).
2.   Bahaya Munculnya Nafsu
Musuh umat manusia adalah nafsu keinginan terhadap obyek-obyek indera. Makhluk selalu merindukan kenikmatan, kekayaan, dan harta, akan terjerat pandangan salah. Bahwa kebahagiaan terletak pada nafsu keinginan (D.i.9,55). Makhluk yang memiliki pandangan materialis, diibaratkan sebagi seekor kelinci yang terperangkap dalam jebakan (Dh.343).
Apabila manusia terlihat dengan lima saluran indera, tanpa bosan menuruti dan mengembangkan kemelekatan. Tanpa memandang akan bahaya yang ada dan tanpa pengertian cara melepaskan diri dari nafsu indera, akan mengalami bencana dan kehancuran, serta namabaiknya menjadi suram, bagaikan bulan sabit pada masa gelap (M.i.173-174; D. iii.31).
Kesenagan tidak berarti buruk dan harus dihindari. Sebagai makhluk inderawi, pemenuhan keinginan adalah wajar untuk memperoleh kebahagiaan. Tetapi sebagai manusia yang bijak, seharusnya tidak diperbudak oleh nafsu pemuasan kesenagan (Dh.347). Pemenuhan kebutuhan dan keinginan yang tidak merugikan orang lain, bisa membawa suatu bentuk kebahagiaan yang bersifat sementara. Pengendalian pikiran sangat diperlukan untuk menghadapi obyek indera yang kesenangannya hanya sementara dan akan menimbulkan penderitaan panjang. Kurangnya perhatian dan pengendalian pikiran, akan terjerumus dalam akar perbuatan jahat (akusala) (Sn.50). Segala sesuatu tidaklah abadi, setelah dilahirkan lalu mati, timbul dan lenyap kembali. Terbebas dari kelahiran dan kelapukan akan mencapai kebahagiaan tertinggi (D.ii.157; M.i.228).
Buddha menjelaskan bahwa semua kesengsaraan muncul dari keinginan inderawi yang salah dan akan terlahir di alam yang diliputi penderitaan (M.i.92,257;ii.391). Pangeran  Siddharta sebelum menjalani kehidupan spiritual pernah melaksanakan jalan ekstrim pemuasan nafsu indera. Kehidupan istana dipenuhi dengan kemewahan dan kenikmatan inderawi (D.ii.21). Tetapi dengan usahanya sendiri yang sangat tekun, beliau mencapai kesempurnaan  (M.i.172).
Manusia yang mengerti sepenuhnya tentang hakekat perbuatan baik (kusala) dan perbuatan jahat (akusala) serta akar-akarnya. Kemudian melaksanakan dan mengembangkan perbuatan baik,  Maka telah sepenuhnya melenyapkan sebab utama dari nafsu-nafsu, kebodohan batin (Avijja) dan pengembangan pengetahuan benar (vijja) dan mengakhiri penderitaan (Dukkhaniroda) (M.i.47; D.ii.200; iii.133; Sn.530; Dh.179).

D.    DESKRIPSI  PRAKTIK PENYIKSAAN DIRI

Penyiksaan diri berarti suatu cara, proses perbuatan yang dilakukan manusia untuk menyakiti dan menyiksa diri sendiri sampai pada kematian (Depdiknas, 2001:1064). Berdasarkan literature Buddhis, kerikatan pada penyiksaan diri diartikan sebagai attakilamathanuyoga (S.v.420). Suatu doktrin kepercayaan yang mengutamakan metode penyiksaan diri dalam usaha untuk mencapai kebahagiaan dan kebebasan tertinggi. Paham yang bertentangan dengan kaum materialisme menyadari bahwa pengejaran nafsu indera hanya akan membawa kemerosotan moral maupun spiritual, maka lebih menekankan pada pratik pertapaan dengan menyiksa diri.
Praktik-pratik pertapaan pada jaman pra Buddha dan Buddha merupakan salah satu sistem kepercayaan yang sangat berpengaruh. Pratik bertapa melalui penyiksaan diri adalah yang paling dominan dilaksanakan oleh para pertapa. Tradisi pertapaan muncul, kemudian datang bangsa Arya yang menyebabkan semakin berkurangnya para pertapa. Tradisi bangsa Arya sangat berpengaruh pesat, karena bersifat keduniawian melalui pelaksanaan upacara-upacara pengorbanan, puji-pujian, dan sajak. Kehidupan agama bangsa India dipakai oleh kaum Arya untuk menganugrahkan kesehatan, kemakmuran pada pemuja dan memberi korban (Kalupahana, 1986:4-5).
Kondisi spiritual bangsa India belum menemukan titik temu yang pasti. Munculnya berbagai pandangan dan doktrin-doktrin ajaran tentang jalan menuju lenyapnya penderitaan (samsara) (M.i.40) dan pencapaian kebahagiaan sejati, dapat diibaratkan sebagai kisah persaingan tradisi-tradisi spiritual yang saling bertentangan dengan tujuan untuk mencapai supremasi yang paling tinggi. Ketidakpastian spiritual, kekacuan dalam bidang kepercayaan, penyelidikan pandangan, menyebabkan masyarakat menjadi gelisah dan tidak tentram (Widya, 1992:3).
Tradisi kaum Arya yang menekankan pada upacara pengorbanan mulai berkurang yang ditandai dengan munculnya kembali tradisi pertapaan. Kebudayaan pertapaan dengan waktu singkat mampu mengalahkan kebudayaan Brahmana. Sistem kepercayaan yang berlaku, pelaksanaannya mulai berpindah dari pengorbanan dan  upacara keagamaan kepada pengetahuan atau pengertian. Pengetahuan tentang dunia luar (loka) dan diri (atman atau atta) yang merupakan hasil langsung dari latihan konsentrasi yoga. Kebudayaan konsentrasi yoga adalah aspek terpenting dalam pelaksanaan pratik pertapaan. Tujuan konsentrasi yoga adalah penghapusan kesan-kesan indera dan nafsu-nafsu rendah yang terkait. Tradisi yoga menggambarkan pertentangan dengan kaum pemuja hawa nafsu yang memilih untuk memuaskan nafsu indera dari pada menjalani kehidupan bertapa yang menyakitkan (Widya, 1995:5).
1. Sebab Munculnya Praktik Penyiksaan Diri
Doktrin ajaran penyiksaan diri, diawali oleh guru yang sangat terkenal pada jaman kehidupan Buddha yang bernama Nigantha Nataputta (laluhur Jainisme dan Titthia). Teori ajarannya menyatakan bahwa ada pluralitas jiwa utuh, yang terperangkap di dalam materi, karena ikatan-ikatan kamma lampau. Jiwa hanya akan terbebas bila ikatan-ikatan kamma sudah habis. Dalam usaha untuk melenyapkan kamma buruk, harus dilakukan dengan pratik penyiksaan diri, mengendalikan perbuatan, pikiran, dan ucapan, disertai dengan tidak melakukan kamma buruk yang baru dan tidak ada akibat pada masa yang akan datang. Lenyapnya kamma-kamma, maka penderitaan akan musnah selama-lamanya (M.i.92-93).
Kaum penyiksaan diri mengakui adanya roh (atta) yang kekal dan bersifat bahagia (D.i.13) yang dilahirkan berulang-ulang kedalam tubuh manusia maupun makhluk lain yang lebih rendah. Roh dianggap sebagai diri sejati yang bersamayam dalam tubuh. Badan jamani dan indera-inderanya (Rupa Kandha) , tetapi tidak termasuk dalam diri sejati. Roh mengalami kelahiran yang berulang-ulang, menderita dan sengsara karena terkukung dalam badan jasmani. Kaum Jaina dan Titthia menganggap jasmani beserta indera-inderanya mendorong pada berbagai kenikamatan duniawi, sehingga menyebabkan manusia berbuat banyak kejahatan. Penekanan dalam bentuk pratik pertapaan yang sangat ekstrem, melenyapkan sama sekali perasaan jasmaniah yang merupakan belenggu bagi roh, merupakan tujuan yang paling mendasar untuk mencapai kebahagiaan (Kalupahana, 1996:12).
Diri sejati (atta) dianggap kekal abadi yang bersifat bahagia, tetapi menjadi menderita karena belenggu jasmani. Untuk mencapai kebahagiaan harus melenyapkan badan jasmani dan indera-inderanya, melalui kesakitan terlebih dahulu. Leluhur dan pengikut pandangan penyiksaan diri menyatakan bahwa kebahagiaan tidak dapat dicapai dengan kesenangan, tetapi kebahagiaan bisa dicapai melalui penderitaan dan kesakitan (samsa) (M.i.93-94). Buddha menyatakan, jenis pertapa yang memegang secara kuat dan melekat pada tradisi pertapaan keras diumpamakan sebagai sekelompok binatang yang tidak tergiur pada umpan yang dipasang oleh pemburu, tetapi terkukung dalam alat perangkap binatang (M.i.156). Kelompok pertapa tidak tergiur pada kesenangan indera, tetapi memegang pandangan sesat tentang atta yang kekal (Atta ditthi). Pratek pertapaan ekstrem yang dilaksanakan, tidak akan membawa manfaat, dan hanya akan menimbulkan kesakitan pada kehidupan sekarang dan penderitaan pada masa mendatang (M.i.310-311).
2. Akibat Pelaksanaan Pratik Penyiksaan Diri
Buddha Gautama adalah pendiri agama Buddha. Mulai dari belajar pada guru-guru spiritual, melaksanakan bentuk pertapaan ekstrem, hingga mencapai pencerahan (M.i.163,242-247; Sn.425-449). Pertapa Gautama sebelum mencapai penerangan sempurna, pernah melakukan bentuk pratik-pratik pertapaan yang sangat ekstrem (paramata), keras (paramalukha), teliti (paramajegucchi) dan pengasingan diri (paramapavivitta) (M.i.77). Pratek-pertek pertapaan dilakukan pertapa Gautama di hutan Uruvela selama enam tahun sengsara bersama lima orang pertapa.
Pratik pertapaan yang sangat ekstrem (paramatapa), merupakan bentuk penyiksaan diri yang sangat kuat. Bodhisatta sebelum melaksanakan bentuk pertapaan yang ekstrem, menyatakan tekad usaha kuat beruas empat (padhāna virya) “biarlah hanya kulit, urat daging, tulang belulang yang tertinggal, dan daging serta darah mengering”. Bodhisatta tetap bersemangat dalam mengejar cita-cita melalui pratek penyiksaan diri (M.i.481; DhA..86). Tapa paling berat (dukkanacariya) mulai dilaksanakan oleh pertapa Gautama.
Bodhisatta melaksanakan cara bertapa yang ekstrem (paramatapa) dengan hidup telanjang, tidak berkumpul dengan orang lain, menolak menerima persembahan makanan dari panci, mangkok, nampan, maupun dari wanita dan pria. Dalam pratik pertapaan ekstrem bodhisatta hanya menerima sesuap makanan dari satu sampai tujuh rumah. Melatih diri untuk memakai pakaian dari rami, kain pembungkus mayat (pamsukula), kulit pohon, bulu binatang, dan berpakaian dengan kulit rusa. Selanjutnya bodhisatta juga hidup dengan melaksanakan pencabutan  bulu rambut dan janggut. Melakukan pratek jongkok secara terus menerus, memebuat kasur dan tikar dari paku untuk tidur sehingga menciptakan rasa sakit yang hebat bodhisatta juga pernah malaksanakan tapa kukung dalam air (M.i.77).
Pratik pertapaan yang kedua adalah melaksanakan cara bertapa yang keras (paramalukha). Bagaikan kulit batang pohon besar yang telah bertahun-tahun dilekati oleh debu dan telah bergumpal-gumpal. Demikian pula debu dan daki melekati tubuh pertapa Gautama. Dengan gigi yang ditakup, lidah ditekan kelangit-langit bagaikan manusia yang lemah, dicengkeram oleh benda yang sangat kuat dengan usaha untuk menghancurkan pikiran buruk dan mengembangkan pikiran baik. Usaha pelaksanaan paramalukha dilakukan dengan tekad dan semangat yang kuat dari bodhisatta. Demikianlah pratek pertapaan sangat keras yang dilaksanakan pertapa Gautama (M.i.78).
Pertapa Gautama, selanjutnya melaksanakan pratek pertapaan yang sangat teliti (paramajegucchi). Bodhisatta selalu waspada ketika melangkah maju dan mundur, pikirannya dipenuhi dengan rasa belas kasihan walupun hanya pada setetes air. Berusaha untuk menyakiti makhluk lain yang berada di udara darat maupun air (M.i.78). Segala bentuk pikiran, perkataan serta gerk-gerik tubuh selalu waspada dan dikendalikan dengan keras dan teliti. Bodhisatta melanjutkan dengan melakukan meditasi tanpa napas untuk mengembangkan appānaka jhāna. Dengan usaha keras berhenti menghirup udara dan menghembuskan nafas melalui mulut dan hidung. Udara yang ada diluar tubuh tidak dapat masuk kedalam, sebaliknya udaranya yang ad di dalam tidak bisa keluar.
Usaha keras pertapa Gautama untuk berhenti memasukan dan mengeluarkan nafas, mengakibatkan seluruh tubuhnya menjadi sakit karena rasa terbakar (daharoga). Tubuh dan batinya menjadi tegang dan tidak tenang. Walaupun rasa yang sangat menyakitkan timbul dalam diri pertapa gautama, tetapi semangatnya tetap ada. Pemahaman pandangan salah masih melekat padanya dan menjadi doktrin ajaran bagi pelaksanaan praktik pertapaan keras. (Kusaladhamma, 2006 : 114-115)
Praktik pertapaan yang keempat adalah melalui pengasingan diri (paramapavivitta). Hidup didalam hutan belantara, makan, minum dan melakukan segala usaha didalam hutan. Apabila pertapa gautama melihat manusia, maka akan berlari menghindarimya, bagaikan seekor kijang yang lari ketika melihat pemburu datang. (M.i.79). Pertapa gautama memakan kotoran anak sapi yang masih menyusu, karena tidak ada makanan cukup didalam hutan. Demikianlah praktik pengasingan diri yang dilaksanakan oleh Bodhisatta gautama.
Para pertapa dan brahmana menyatakan bahwa kesucian dapat dicapai melalui makanan. Doktrin yang mendorong pertapa-pertapa lain untuk melaksanakan praktek pensucian diri melalui makanan (makan buah, beras, kacang-kacangan). Mulai dari satu butir, hingga sama sekali tidak makan dan tidak minum, menyebabkan tubuh jasmani (Rupa) Bodhisatta menjadi sangat lemah dan kurus. Hanya tertimggal tulan belulang dan kulit yang keriput (M.i.79-81).
Praktik-praktik pertapaan yang telah dilakukan oleh pertapa gautama (Paramatapa, Paramalukha, Paramajegucchi, dan Paramapavivitta) diperoleh dari tradisi atau kebudayaan para pertapa yang telah mendominasi sistem kepercayaan pada masa Buddha. (Nigantanataputta, Punnakaliya atau petapa berkelana, Senia atau petapa telanjang). Melalui pertapaan salah (menyiksa diri) tidak dapat mencapai manfaat pengetahuan dan pengalaman sebagai manusia suci, serta tidak mendapatkan kebijaksanaan Ariya (panna-Ariya) (M.i.81)
Menjalakan ajaran dengan menyakitkan, maka akan matang dimasa depan sebagai penderitaan (M.i.308). Petapa gautama dalam menjalankan pertapaan dengan menyiksa diri menimbulkan penderitaan bagi dirinya sendiri dan tidak membawa manfaat (S.v.420). Para pertapa yang menyakiti dan menyiksa dirinya sendiri, akan terkungkung dalam pengejaran latihan salah (M.i.411-412). Manusia menjadi suci tergantung pada kondisi batin yang mempengaruhi pikiran, ucapan dan tindakannya (It.62). Kondisi batin yang masih diliputi oleh pikirran jahat, ucapan dan perbuatan yang keliru, maka manusia terjerumus dalam roda kelahiran dan samsara. Kesucian hanya akan dicapai oleh makhluk yang memiliki kesempurnaan pikiran, ucapan dan perbuatan (sila, Samadhi dan panna).

E.     CARA MENGATASI PANDANGAN EKSTRIM DALAM PANDANGAN AGAMA BUDDHA

1. Upaya Mengatasi Pandangan Ekstrim
Agama merupakan sumber utama bagi pembentukan etika, moral, dan nilai-nilai spiritual. Landasan moral dalam agama Buddha pada dasarnya bukan larangan atau perintah, tetapi pengertian yang mendalam tentang yang baik dan buruk (Kusala dan Akusala). Buddha menyampaikan ajaranya tidak bertujuan untuk mendapatkan pegikut, membuat manusia meninggalkan guru dan kitab sucinya, melepaskan cara dan kebiasaan hidunya. Buddha hanya menunjukan jalan penerangan untuk membersihkan noda-noda, meninggalkan segala bentuk yang buruk didalam diri masing-masing individu (D.iii.56-57).
Dalam tradisi Buddhis, dikenal tentang dua pandangan ekstrem yang seharusnya dihindari dan diatasi oleh setiap manusia. Kepercayaan akan pemuasan nafsu kesenangan indera yang rendah, duniawi, tidak mulia dan tidak bermanfaat (Kamasukhalikanuayoga). Ekstrem kedua adalah keterikatan pada penyiksaan diri yang menyakitkan, tidak mulia dan tidak bermanfaat (Attakilamathanuyoga) (S.v.420; Vin.i.10). Pandangan-pandangan ekstrem jika dijadikan pedoman, akan membuat makhluk menderita, karena terperagkap dalam pandangan dan praktik penghidupan salah (M.i.92-93,ii.389). Pemuasan nafsu dan praktik penyiksaan diri merupakan bentuk praktik hidup yang salah.
Doktrin ajaran tentang pemuasan hawa nafsu berpedoman pada kepercayaan tentang pemusnahan. Manusia hidup hanya sekali, dan tidak ada kelahiran yang akan datang, setelah manusia mati, maka akan lenyap untuk selamanya. Kebahagiaan akan dicapai melalui pemenuhan dan pengumbaran hawa nafsu.  Sistem kepercayaan yang lain bertentangan dengan pandangan pemuasan hawa nafsu, yaitu menyatakan atta kekal dan bersifat bahagia. Atta harus dibebaskan dari belenggu badan jasmani, kebahagiaan hanya dapat dicapai setelah atta dilepaskan melalui penyiksaan diri. Dalam masa pencarian kesempurnaan Siddhatta pernah melaksanakan dua jalan ekstrem yaitu pada saat di istana dan hutan uruvella (D.ii.21, M.i.77). Melalui praktik-praktik ektrem, Siddhatta Gautama tidak mencapai penerangan agung (Nibbana).
Buddha menyatakan bahwa manusia mencapai tujuanya dengan tidak menyakiti diri sendiri dan menuruti kesenangan indera, tetapi melalui laatihan yang telah diajarkan. Tathagata bukanlah manusia yang memanjakan diri, juga tidak melalaikan pengendalian dan berpaling pada kemewahan melalui penyiksaan diri. Tathagata adalah yang menghindari dua jalan ektrem dan dengan semangat yang luhur untuk membebaskan diri dari kelahiran kembali (M.i.39,172-173,413; iii.101).
Dalam upaya untuk mencapai tujuan, manusia hendaknya tidak mengendorkan semangat maupun terlalu bersemangat, karena hanya akan menimbulkan keletihan, sia-sia, dan penderitaan. Di ibaratkan sebuah senar gitar apabila disetel terlalu kencang maka akan putus dan jika terlalu kendor maka suaranya akan hilang. Senar gitar harus disetel dengan tidak terlalu kencang dan kendor untuk mendapatkan suara yang merdu (M.i.161-174).
Buddha menjelaskan pada para pengikutnya untuk menghindari dua jalan ekstrem (pemuasan nafsu dan penyiksaan diri) melalui pelaksanaan Jalan Mulia Berunsur Delapan (Ariya Atthangika magga). Jalan mulia berunsur delapan dibabarkan Buddha pertama kali oleh lima orang pertapa: Kondanna, Bhaddiya, Vappa, Mahanama, dan Assaji di Taman Rusa Isipatana. Menyelami jalan mulia berunsur delapan, maka akan memperoleh pandangan terang (Cakkhukarani), kebijaksanaan (Nanakarani), ketenangan (upasamaya), pengetahuan tertinggi (abhinnaya), penerangan agung (sambodhaya), dan nibbanaya) (S.v.421).
Ariya Atthangika Magga adalah jalan pelatihan diri sendiri untuk melenyapkan penderitaan dan pencapaian kebahagiaan. Diantara semua jalan maka jalan mulia berunsur delapan adalah yang terbaik, tidak ada jalan lain yang membawa pada kemurnian pandangan. Dengan mengikutunya, maka akan dapat mengakhiri penderitaan (D.ii.40; Dh.273-275). Manusia sendiri yang harus berusaha, Tathagata hanya menunjukan jalan. Manusia menjadi suci karena usahanya sendiri untuk membersihkan batin dari noda-noda yang mempengaruhi pikiran, ucapan dan perbuatan (It.62; Dh.165).
Delapan jalan uatama adalah kebenaran keempat dari empat kebenaran mulia (Cattari Ariya Saccani) yaitu kebenaran mulia tentang jalan menuju lenyapnya penderitaan. Ariya Atthangika Magga terdiri dari delapan factor yang saling bergantungan: (1) pandangan benar (samma ditthi), (2) pikiran benar (samma sankappa), (3) ucapan benar (samma vacca), (4) perbuatan benar (samma kammanta), (5) mata pencaharian benar (samma ajiva), (6) daya upaya benar (samma vayama), (7) perhatian benar (samma sati), dan (8) konsentrasi benar (samma samadhi) (M.i.48,300; S.v.421).
Delapan jalan utama terbagi dalam tiga landasan dasar: (a) moralitas (sila) terdiri dari perbuatan benar, ucapan benar, dan mata pencaharian benar; (b) latihan moral (Samadhi) terdiri dari: perhatian benar dan konsentrasi benar; (c) kebijaksanaan (Panna) terdiri dari: pandangan benar dan pikiran benar (Sangharakshita, 2003: 62; Piyadasi, 2005:25-26).
Ariya Atthangika Magga adalah suatu sistem jalan penerangan yang saling berkaitan dan bertahap. Dalam upaya untuk mengatasi maupun menghindari jalan ektrem tentang pemuasan nafsu, ditunjukan dengan moral (Sila). Penghindaran terhadap ekstrem penyiksaan diri yaitu dengan pelaksanaan meditasi (Samadhi), dan pelaksanaan jalan tangah ditunjukan dengan kebijaksanaan (panna) (Vism.4).
2. Faktor-faktor Ariya Atthangika Magga
a. Pandangan Benar (Samma ditthi)
Pandangan benar merupakan ruas pertama dari delapan ruas jalan utama. Didefinisikan sebagai pengertian benar dengan memahami kehidupan sebagaimana adanya, tanpa memegang pandangan salah (Miccha ditthi), serta memahami secara jelas empat kebenaran mulia (Cattari Ariya Saccani) (M.i.40). Manusia yang memahami seluk-beluk kehidupan dan kebenaran mulia, sesungguhnya disebut bijaksana (M.i.43,292). Langkah pertama dimulai dengan memperoleh suatu pengertian atau pandangan yang jelas terhadap segala fenomena alam sebagaimana adanya.
Pandangan benar juga berarti dengan memahami tentang kamma. Perbuatan (kamma) memiliki akibat baik dan buruk, tergantung pada perbuatanya. Setiap manusia merupakan pewaris dari kammanya sendiri (A.iii.291), perbuatan baik maupun buruk yang dilakukan oleh pikiran, ucapan dan badan jasmani akan berakibat pada setiap individu. Pandangan benar tentang perbuatan (kamma) bertentangan dengan teori Purana kassapa yang mengajarkan tanpa perbuatan (Akiriya vada) yaitu tidak ada penambahan kebajikan maupun keburukan dalam setip perbuatan (D.i.52-53).
Samma ditthi merupakan suatu kunci utama dalam agama Buddha, yaitu usaha untuk menghilangkan keragu-raguan dan membimbing umat manusia pada pikiran benar (Samma sankappa), tanpa kemelekatan atau pelepasan (Nekkhamasamkappa), cinta kasih (Avyapada samkappa), dan tanpa kejahatan (Avihimsa samkappa). Melalui pemahaman dan pelaksanaan jalan kebenaran akan terbebas dari penderitaan, kelahiran, usia tua dan kematian (Dh.275).
Pandangan benar adalah yang telah bebas dari sebelas pandangan salah: (1) pandangan dunia kekal, (2) tidak kekal setelah meninggal, (3) tathagata bukan ada dan bukan tidak ada, (4) masih ada kelahiran, (5) usia tua, (6) kematian, (7) penderitaan, (8) kesedihan, (9) kesakitan, (10) ratap tangis, dan (11) putus asa. Pandangan salah (Miccha ditthi) tidak menuju pada pelenyapan nafsu, terbebas dari penderitaan (Samsara), kelahiran (Bhava), kematian (Jara-marana), pengetahuan (Abhinna), dan penerangan agung (Sambodhi) (M.i.421).
Buddha menyatakan bahwa manusia yang memiliki pandangan benar, berarti mengetahui dan memahami sepenuhnya tentang: hal-hal yang tidak membawa manfaat (Akusala) beserta akarnya (lobha, dosa, moha), perbuatan yang membawa manfaat (kusala), makanan (Ahara), penderitaan (Dukkha), sumber penderitaan (dukkha samudaya), lenyapnya penderitaan (dukkha niroda), jalan menuju lenyapnya penderitaan (dukkha nirodha gaminipatipada), usia tua (jara), kematian (marana), kelahiran (jati), penjadian (bhava), kemelekatan (upadana), keinginan (tanha), perasaan (vedana), kontak (phasa), enam landasan indera(salayatana), batin dan jasmani (nama-rupa), kesadaran (vinnana), bentuk-bentuk kamma (sankhara), ketidak tahuan (avijja), dan noda batin (kilesa). Mengetahui dan memahami tentang sebab munculnya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya (M.i.47,262).
Makhluk yang mempunyai pandangan benar, memahami tentang tiga corak umum (Tilakkhana): ketidak kekalan (Anicca), penderitaan (Dukkha), dan tanpa inti (Anatta). Keterikatan pada pemuasan hawa nafsu (kamasukhalikanuayoga) merupakan bentuk pandangan salah. Dalam agama Buddha dijelaskan segala sesuatu yang berkondisi adalah tidak kekal (D.ii.157). Kepuasan yang diperoleh dari pemuasan nafsu inderanya bersifat sementara dan berakibat penderitaan apabila tidak terpenuhi kembali (Sn.766-768). Jalan ekstrem penyiksaan diri (Attakillamathanuyoga) akan terhapus dengan pemahaman anicca, dukkha dan anatta (tanpa diri yang kekal)
b. Pikiran Benar (Samma sankappa)
Pikiran benar (samma sankappa) adalah pikiran yang terbebas dari akusala mula tiga: keserakahan (lobha), kebencian (dosa) dan kebodohan (moha); terbebas dari hawa nafsu (raga); kemauan buruk (byapada); kekejaman (vihimsa); yang diwujudkan dalam bentuk cinta kasih (metta) dan diliputi dengan belas kasih (karuna) terhadap semua makhluk (Wahyono, 2002:74).
Pikiran benar (Samma sankappa) merupakan hasil dari pemahaman pandangan benar (samma ditthi). Pikiran benar adalah berpikir pada pelepasan kemelekatan (Nekkhamasamkappa), cinta kasih (Avyapadasankappa), dan tanpa kejahatan (Avihimsasankappa). Pengembangan pikiran-pikiran yang baik melalui ucapan dan perbuatan maka kebahagiaan akan mengikutunya (Dh.2).
Individu yang memiliki pikiran benar, maka akan melenyapkan pikiran yang salah. Dengan memahami dan berpikir tentang badan jasmani , perasaan, pencerapan, bentuk-bentuk pikiran adalah tidak kekal dan tanpa diri sejati (M.i.300) akan terbebas dari pikiran salah tentang pemujaan hawa nafsu dan kemelekatan pada penyiksaan diri. Buddha menyatakan bahwa, beliau tidak lagi memikirkan tentang keterikatan pada nafsu yang bersifat rendah, kasar, dan tidak bermanfaat, serta tidak lagi berpikir untuk menjalankan praktik penyiksaan diri yang menyakitkan. Beliau telah meninggalkan pikiran-pikiran jahat sehinng mencapai kemurnian dalam pikiran, perkataan dan perbuatan yang akan membawa pada kebahagiaan (D.iii.113).
Pandangan dan pikiran benar termasuk dalam kelompok kebijaksanaan (Panna) yang akan menuju pada moral (sila) yang baik. Panna adalah kebijaksanaan sempurna yang mampu menembus tiga corak umum (anicca, dukkha, anatta) dan empat kebenaran mulia yang memberikan jalan  penerangan. Manusia memiliki kebijaksanaan dan mampu membedakan perbuatan baik maupun buruk (ekstremisme) (M.i.81-92, 389).
c. Ucapan Benar (Samma vacca)
Ucapan benar mencerminkan tekad untuk menahan diri dari berbohong (musavada), menfitnah (pisunavacca) yang dapat menimbulkan kebencian, permusuhan, dan perpecahan dalam masyarakat. Ucapan benar adalah menghindari ucapan yang kasar, tidak sopan, jahat dan caci maki (pharusavacca), percakapan yang tidak bermafaat (samphappalapa). Individu yang memiliki ucapan benar, berarti mampu mengendalikan indera-inderanya. Setiap kata-katanya benar, beralasan, berfaedah, dan diucapkan tepat pada waktunya (M.i.345).
Ucapan benar adalah ucapan yang mewakili apa adanya, sesuai dengan realita, berhubungan dengan kebenaran, disenangi banyak makhluk. Tathagata mengetahui waktu yang tepat untuk menggunakan ucapan, karena telah mempunyai cinta kasih tanpa batas terhadap semua makhluk (M.ii.306).

Mengucapkan kata-kata hendaknya tidak dikuasai oleh pandangan dan pikiran yang diliputi oleh kesalahan yang dapat menimbulkan kesesatan. Mengucapkan kata-kata yang diliputi oleh nafsu, mendorong manusia untuk melakukan perbuatan berdasarkan sifat serakah. Mengucapkan kata-kata tidak benar, dengan maksud untuk menyuruh individu lain melakukan perbuatan yang salah, setelah meninggal akan terlahir di alam menyedihkan (A.iii.245).
d. Perbuatan Benar (Samma kammanta)
Perbuatan benar (Samma kammanta) adalah perbuatan yang tidak menyakiti dan merugikan diri sendiri maupun makhluk lain, dan bebas dari akusala (Kaharuddin, 2004:241). Samma kammanta juga diartikan sebagai pengembangan kelakuan bermoral, mulia dan damai. Diwujudkan melalui pelaksanaan pancasila dalam aspek negatif dan positifnya, yaitu tidak melakukan pembunuhan, pencurian, perzinahan, ucapan yang tidak benar, dan tidak melakukan minum dan makanan yang menimbulkan ketagihan (Wahyono, 2002:70).
Setiap perbuatan melalui jasmani, ucapan dan pikiran yang tidak menyebabkan kerugian pada diri sendiri maupun individu lain, berdasarkan pada lenyapnya akusala dhamma dan berambahnya kusala dhamma, perbuatanya adalah perbuatan benar yang tidak dicela para bijaksana (M.ii.15-6)

Buddha menyatakan bahwa keterikatan praktik pengumbaran hawa nafsu (Kamasukhallikanuayoga) dan keterikatan pada penyiksaan diri (Attakillamathanuyoga) termasuk perbuatan salah yang bersunber dari pandangan salah. Perbuatan yang didasarkan pada pandangan salah akan menyebabkan penderitaan yang berkepanjangan (M.i.81-92; D.iii.221). Manusia yang menjadi suci adalah yang telah melepaskan nafsu keinginan indera dan tidak menjalankan pratik penyiksaan diri (D.iii.113).
e. Mata pencaharian Benar (Samma ajiva)
Mata Pencaharian benar sering diartikan sebagai penghidupan benar yaitu menghindari diri dari mata pencaharian yang menyebabkan kerugian pada diri sendiri maupun makhluk lain (Sangharakshita, 2003:65): penipuan, pemerasan, penipuan (M.ii.177). Mata pencaharian merupakan suatu usaha manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup dalam  suatu periode kehidupan.
Dalam agama Buddha dijelaskan bahwa mata pencaharian benar berarti sesuai dengan sila  dan terhindar dari lima jenis penghidupan salah : (1) perdagangan daging yang menyebabkan pembunuhan, (2) perdagangan senjata, (3) minuman dan makanan yang menimbulkan ketagihan, (4) perdagangan racun, (5) perdagangan manusia (A.iii.207). 
Ucapan benar (samma vacca), perbuatan benar (samma kammanta), dan mata pencaharian benar (samma ajiva), digolongkan dalam kelompok sila. Sila merupakan dasar latihan yang harus dikembangkan untuk menghasilkan kualitas batin yang murni. Kemurnian batin tidak lepas dari sila yang benar, karena sila yang benar telah terbebas dari unsur akusala (Widyadharma, 1990: 62).
f. Daya Upaya Benar (Samma Vayama)
Daya upaya benar (Samma vayama) identik dengan usaha benar yang memiliki empat jalur : mencegah timblnya pikiran-pikiran jahat yang belum muncul (Samvara), menekan dan melenyapkan pikiran jahat yang telah muncul (Pahana), menumbuhkan pikiran baik yang belum muncul (Bhavana), dan mengembangkan pikiran baik yang telah muncul (Anurakkhana) (A.ii.16).
Empat unsur usaha benar merupakan dasar utama untuk melaksanakan konsentrasi, sehingga menuju pada pembebasan pandangan salah tentang materialisme dan kekekalan tentang atta atau diri sejati. Usaha benar berfungsi secara bersama-sama dengan perhatian benar dan konsentrasi benar. Individu yang selalu berusaha dengan semangat (Attapi), usaha (Padhana), ketekunan (Anuyoga), kewaspadaan (Appamada), dan pemikiran yang benar (Sammamanasikara) akan mampu memusatkan pikiranya (D.ii.101).
Daya upaya benar (samma vayama) adalah usaha untuk meningkatkan serta menyempurnakan pikiran benar, sehat dan berguna untuk kemajuan batin (Wahyono, 2002:72). Melenyapkan keragu-raguan, kekhawatiran, ketakutan, dan kegelisahan (akusala) melalui pelaksanaan daya upaya benar sehingga keadaan yang baik akan berkembang.
g. Perhatian Benar (Samma Sati)
Perhatian benar terdiri dari latihan-latihan vipasana bhavana, yaitu meditasi untuk memperoleh pandangan terang tentang hakikat kehidupan. Melatih diri supaya benar-benar sadar, penuh perhatian dan waspada terhadap kegiatan dan gerak-gerik yang terjadi pada diri manusia. Penerapan pengembangan kesadaran meliputi: kegiatan badan jasmani (kaya nuppasana), perasaan (vedana nuppasana, keadaan pikiran (citta nuppasana), dan fenomena pikiran atau objek mental (dhammanuppasana) (M.i.267).
Semua makhluk mendambakan kedamaian pikiran, untuk mencapainya pikiran disesuaikan dan dikondisikan dengan ketenangan melalui latihan secara terus menerus. Hidup dengan rajin, damai dalam batin, tidak gelisah dan tidak terganggu. Batin dilatih oleh diri sendiri dengan penuh semangat, disiplin, pengendalian diri, serta selalu penuh perhatian murni akan membuat pulau bagi dirinya sendiri yang membawa pada kemajuan batin (It.121; Dh.25).   
Perhatian benar (samma sati) disertai dengan kewaspadaan sangat diperlukan untuk menghindari perbuatan jahat yang merugikan diri sendiri maupun orang lain. Melalui perhatian benar, maka akan membawa pada kesucian dan pembebasan.
Makhluk yang melakukan perenungan terhadap jasmani secara terus-menerus berusaha, sadar dan mengendalikan dirinya telah mengatasi keserakahan dan kesedihan. Secara terus menerus melakukan pengamatan pikiran, berusaha, sadar dan mengendalikan dirinya telah mengatasi kesedihan dan keserakahan dalam dirinya. Melakukan pengamatan fenomena, berusaha sadar dan megendalikan dirinya (D.ii.201)
Buddha menjelaskan tentang pentingnya perhatian utuk memperoleh pemahaman bahwa segala sesuatu yang terjadi dari perpaduan unsur (berkondisi) adalah tidak kekal, dan selalu berubah-ubah. Setiap makhluk hendaknya selalu bersemangat untuk berjuang mencapai kebebasan dengan sadar, waspada (D.ii.16,157). Perhatian murni tentang nama dan rupa, akar-akar penyakit internal maupun eksternal akan terbebas dari segala bentuk penderitaan (Sn.530)
h. Konsentrasi benar (samma Samadhi)
Samma Samadhi adalah pemusatan pikiran untuk membersihkan batin, yang ditujukan untuk kesejahteraan hidup, kesucian dan pembebasan dari penderitaan (Kaharuddin, 2004:241). Konsentrasi benar berarti mengkonsentrasikan (Samadhana), pengkonsentrasian berarti memusatkan (Adhana), kesadaran (Vinnana), dan corak batin yang muncul bersamaan dengan kesadaran (cetasika) secara merata (sammam) dan benar (samma), pada suatu obyek tunggal. Konsentrasi merupakan suatu keadaan, yang mengakibatkan vinnana dan cetasika tetap  berada pada suatu obyek tunggal secara merata dan benar, tidak tercerai berai atau menyatu (Vism.84).
Meditasi merupakan usaha yang dilakukan untuk mengkonsentrasikan pikiran pada salah satu objek, terdapat dua macam metode pelaksanaan meditasi dalam agam Buddha: konsentrasi pikiran untuk mencapai ketenangan jasmani dan batin melalui pemusatan pikiran pada suatu obyek (samataha) yang  merupakan tingkat awal (lokiya atau duniawi); dan penyadaran pandangan terang (vipassana) untuk mencapai pandangan terang (lokuttara atau di atas duniawi), artinya dapat melihat fenomena dari segala bentuk nama dan rupa sebagai apa adanya, wajar, dan alamiah (Buddhagosa cariya, 2002:13).
Pengetahuan tertinggi (Vijjabhagiya) ditopang oleh dua hal penting yaitu ketenangan dan pandangan terang. Ketenangan (Samatha) adalah suatu konsentrasi yang menghasilkan Jhana. Keadaan yang luar biasa, tenang dan damai, pandangan terang (vipassana) adalah pengetahuan yang memahami (Sankhra pariggahakanana) segala sesuatu sebagai tidak kekal, penderitaan, dan tanpa diri (Anicca, Dukkha, Anatta) (A.ii.10).
Pengembangan ketenangan (Samatha) menimbulkan penekanan terhadap lima rintangan (pancanivarana) yaitu nafsu kerinduan (kamachandha), keinginan jahat (byapada), kemalasan dan kelambanan (thina-middha), kegelisahan dan kekhawatiran (uddhacca-kukkucca), dan keraguan (vicikiccha) (Buddhagosa cariya, 2002:22). Melalui pengembangan ketenagan akan memunculkan pikiran yang lebih tinggi (Jhana).
Pengembangan pandangan terang (Vipassana) merupakan kebijaksanaan sang jalan. Ketenangan yang telah dikembangkan bersama pandangan terang dapat memunculkan kesadaran sang jalan (Magga-citta). Kebijaksanaan jalan (Magga-panna) menjadi berkembang, yaitu diperluas dan dipertegas. Kebodohan batin ditinggalkan karena merupakan kebodohan besar dalam kehidupan. Vipassana bhavana bertujuan untuk mencapai tingkat-tingkat kesecian mengtasi sepuluh Samyojana: (1). Sotapanna: telah membasmi  kepercayaan tentang adanya diri yang kekal (sakkayaditthi), keraguan (vicikiccha), dan keterikatan pada upacara-upacara (silabbataparamasa); (2). Sakadagami: telah melemahkan hawa nafsu (kamaraga), dan kemauan jahat, dendam (patigha); (3). Anagami: telah membasmi kamaraga dan patigha; (4). Arahat: telah membasmi nafsu untuk hidup di alam bermateri (rupa raga), hidup dialam tanpa materi (aruparaga), kesombongan (mana), kegelisahan (uddhacca), dan avijja (kebodohan batin) (Kaharuddin, 2004:284).
Samadhi benar bertujuan untuk mengembangkan kebijaksanaan dan melenyapkan kekotoran batin. Melalui pelaksanaan Samadhi, manusia akan terbebas dari segala noda (asava) yaitu: nafsu inderawi (kamasavana), nafsu untuk dilahirkan kembali (bhavsava), pandangan salah (ditthisava) dan kebodohan (avijjasava) (D.ii.91).
Buddha menjelaskan bahwa sila, samadhi dan panna adalah suatu rangkaian yang dilaksanakan secara bertahap untuk menemukan kebahagiaan sejati (Nibbana). Dalam upaya untuk mengatasi dan menghindari praktik-praktik kehidupan ekstrem tentang pemuasan nafsu keinginan, ditunjukkan dengan  kebijaksanaan (Panna) (Vism.4). Sila, Samadhi, dan Panna merupakan dasar dari ajaran Buddha yang perlu dilaksanakan untuk mencapai pembebasan (M.i.32).
Jalan mulia berunsur delapan dilaksanakan tidak secara terpisah atau sendiri-sendiri, melainkan dilaksanakan secara berantai dan bertahap. Semua bagian bekerja sebagai satu pengembangan yang kuat. Melalui pelaksanaan jalan mulia berunsur delapan, maka setiap makhluk akan terbebas dari segala bentuk Pandangan Ekstrim yaitu pengumbaran hawa nafsu dan kemelekatan pada penyiksaan diri yang menyebabkan penderitaan (D.iii.221; M.i.7; S.v.421).
Buddha menyatakan bahwa untuk mencapai kebebasan sejati adalah dengan tidak menyakiti diri sendiri maupun berpaling dan terlibat pada pemuasan hawa nafsu, tetapi dengan mengikuti latihan yang diajarkan oleh Buddha. Dengan menjalani ariya athangika magga maka akan mengakhiri penderitaan yang telah dilenyapkan oleh tathagata, sadar dengan penuh semangat dan perjuangan (M.i.391; Dh.275).

F.      PENUTUP

Pandangan Ekstrim merupakan suatu pandangan yang melampaui batas kebiasaan dan berlebihan dalam agama Buddha dijelaskan tentang dua jalan ekstrem (Anta), yaitu mengikuti nafsu indera secara terus menerus (Kamasukhallikanuayoga) dan keterikatan pada praktik pertapaan melalui penyiksaan diri (Attakillamathanuyoga).  Pandangan Ekstrim  seharusnya dihindari oleh semua makhluk, karena bersifat rendah, tidak mulia, dan tidak berfaedah yang menyebabkan kesakitan dan penderitaan.
Keterikatan pada nafsu indera secara terus menerus disebabkan karena adanya sifat keserakahan sebagai akarnya (Lobhamula citta). Pandangan bahwa melalui pemenuhan keinginan indera secara terus menerus maka akan mendapatkan kebahagiaan yang sejati merupakan bentuk pemahaman yang menyimpang dari agama Buddha. Pengumbaran hawa nafsu hanya akan membawa pada kebahagiaan sementara saja, karena segala sesuatu yang berkondisi termasuk nama dan rupa adalah tidak kekal, dan selalu berubah-ubah. Doktrin ajaran tentang pemuasan hawa nafsu akan mendorong pengikutnya untuk berbuat memuja hawa nafsu: makan, minum, dan berfoya-foya, karena terbelenggu oleh pandangan salah. Pengumbaran hawa nafsu hanya akan membawa pengikutnya pada belenggu penderitaan (Samsara)
Praktik pertapaan yang terikat pada pandangan salah tentang adanya diri sejati, merupakan suatu bentuk Pandangan Ekstrim yang kedua. Pemahaman bahwa Atta adalah abadi dan bersifat bahagia, diri sejati menderita karena terbelenggu oleh badan jasmani. Untuk mencapai  kebahagiaan, maka badan jasmani harus disiksa secara terus menerus sehingga Atta akan terbebas dari belenggu. Doktrin ajaran tentang penyiksaan diri hanya akan membuat pengikutnya menderita dan menimbulkan kesakitan.
Buddha pernah menjalankan kedua jalan ekstrem pemuasan hawa nafsu dan keterikatan pada praktik penyiksaan diri. Bentuk pemuasan nafsu dialami Siddharta pada waktu di istana yang dipenuhi dan diliputi oleh kemewahan, sehingga menjeratnya untuk menikmati bentuk-bentuk materi yang sesungguhnya hanya akan membawa kebahagiaan yang sementara saja. Jalan ekstrem penyiksaan diri dialami oleh pertapa gotama pada masa pencarian kebijaksanaan. Beliau bertapa dengan menyiksa diri bersama para pertapa lain (lima orang pertapa). Melalui jalan ekstrem Gautama tidak mencapai pengetahuan kebijaksanaan, karena semua jalan yang dialui akan membawa pada kelahiran, usia tua dan kematian.
Buddha menemukan jalan tengah yang sesuai dengan kebenaran mulia dan meninggalkan jalan ekstrem yang telah dilalui. Usaha untuk menghindari dan mengatasi pandangan ekstrem, Buddha menjelaskan tentang jalan mulia berunsur delapan (Ariya Athangika Magga) sebagai jalan tengah .  Ariya Athangika Magga terdiri dari delapan unsur yang dibagi menjadi tiga kelompok: (1) Sila meliputi perbuatan benar, ucapan benar dan mata pencaharian benar, (2) Samadhi, terdiri dari  Usaha benar, perhatian benar dan konsentrasi benar, (3) Panna, mencangkup pandangan benar dan pikiran benar. Melalui pelaksanaan delapan ruas jalan utama, maka akan membawa pada kebahagiaan, terbebas dari pandangan-pandangan salah dan berhentinya penderitaan (Nibbana).
Ajaran Buddha bukanlah suatu doktrim yang mengharuskan para pengikutnya untuk melaksanakan setiap ajaranya. Buddha membabarkan Dhamma tentang kebenaran tidak untuk mendapatkan pengikut yang banyak, melainkan membabarkan jalan kebenaran kepada semua makhluk yang akan berusaha untuk melenyapkan penderitaan dan mencapai kebahagiaan sejati (Nibbana). Ajaran Buddha diibaratkan sebagai sebuah rakit yang mampu menolong semua makhluk untuk menyeberang ke pantai bahagia.
Sebagai Akademi Buddhis, diharapkan mampu memahami, mengkritisi dan membuktikan Ajaran Buddha (Ehipasiko), sehingga mempunyai pemahaman benar terhadap ajarannya. Akademi Buddhis harus mampu menjawab segala permasalahan dan menjelaskan kepada setiap masyarakat tentang pandangan-pandangan keliru (Pandangan Ekstrim) dalam kajian Agama Buddha.
Memiliki pemahaman benar tentang praktik-praktik yang ekstrem, dan jalan untuk menghindari maupun melenyapkan jalan ekstrem akan menimbulkan pengetahuan benar terhadap segala fenomena kehidupan dan dapat melaksanakannya dengan benar yang akan menuntun pada pelenyapan penderitaan dan pencapaian kebahagiaan diri sendiri maupun makhluk lain.
Penelitian tentang Pandangan Ekstrim  dalam Kajian Agama Buddha, bersifat riset kepustakaan atau Studi pustaka yang masih bersifat teoritik. Maka penulis menyarankan agar dapat dilaksanakan suatu penelitian yang lebih mendalam, sehingga dapat menyempurnakanya.

Rujukan


Buddhagosacariya, somdet Phra. Tanpa tahun. Samadhi. Terjemahan Guey tekjong. Metta youth: Jakarta.
Buddhaghosa, Badantacariya.1979. The part of Purification (Visudhi Magga). Kanady, Srilanka: Buddhis Publication Society. Diterjemahkan dari bahasa pali ke inggris oleh Bikkhu Nanamoli. Diterjemahkan ke Indonesia oleh tim penterjemah jalan kesucian. Eni darini, dkk. Bali : Mutiara Dhamma.
Davis, 1992. Pali English Dictionary. Oxford: PTS
Dhammapada (The Word Of The Doctrine). Terjemahan Norman. 2000. Oxford: Pali Text Society.
Dialogue Of The Buddha (Digha nikaya) Vol. I. Terjemahan David, Rhys. London: PTS
Dialogue of the Buddha (Digha-Nikaya) Vol II. Terjemahan Davis, Rhys. 1989. Oxford: PTS.
Digha-Nikaya (Dialogue of the Buddha) Vol  III. Terjemahan Davis, Rhys. 1977. London: PTS. 
H.R.R. Price Vajirananavarosasa. Tanpa tahun. Dhamma vibhanga. Jakarta: Lovina indah.
Itivuttaka kitab suci agam Buddha (diterjemahkan oleh Lany Anggawati dan Wena cintiawati). Klaten: Wisma Sambodhi.
J. Kalupahana, David. 1986. Filsafat Buddha. Terjemahan Hundaya kandahjaya. Jakarta: Erlangga.
Kaharuddin. 2004. Kamus umum Buddha Dhamma. Trisatva Buddhis Centre
Kusaladhamma.2006. Kronologi Hidup Buddha. Jakarta: karaniya
Mettadewi. 1994. Pokok-Pokok Dasar Abhidhamma Jilid I . Jakarta: STIAB Nalanda.
Narada. 1995. Sang Buddha dan Ajarannya I. Jakarta: Dhammadipa Arama
Naylor, Thomas. N. 1996. Pencarian Makna Sebuah Kehidupan. Jakarta: Bina Rupa Aksara
Partowisastro, Koestoer.1983. Dinamika Psikologi Social. Jakarta: Erlangga
Piyadasi.2005. Meditasi Buddhis Jalan Menuju Ketenangan dan Kebersihan Batin. Surabaya: Paramita
Sangharakshita.2003. Sari Ajaran Buddha. Jakarta: Diandharma
Shian, shen. 2005. Jadilah pelita. Terjemahan Wahid winoto. Jakarta: Yayasan Karaniya.
The Book Of Analysis (Vibhanga). Terjemahan Setthila. 1988. Oxford: Pali Text Society.
The Book Of Gradual Saying (Anguttara Nikaya) Vol.I. Terjemahan Woodward, F.L&Hare,E.M.1972-1978. London: Pali Text society.
The Book Of Gradual Saying (Anguttara Nikaya) Vol.II. Terjemahan Woodward, F.L&Hare, E.M..1971-1978. London: Pali Text Society.
The book of Gradual Saying (Anguttara Nikaya) Vol. IIi.Terjemahan Woodward, F.L and Hare, E.M. London:PTS
The Book of The Kindred Saying (Samyuta Nikaya) Vol. II. Terjemahan David, Rhys. 1990. Oxford: PTS
The Book of The Kindred Saying (Samyuta Nikaya) Vol. IV. Terjemahan David, Rhys. 1990. Oxford: PTS
The Book Of the Kinderd Saying (Samyuta Nikaya) Vol V. Terjemahan David, Rhys.1990. oxford:Pali Text Society
The Book Of Analysis (Vibhanga). Terjemahan Setthila. 1988. Oxford: Pali Text Society.
The Group Of Discourses (Sutta Nipāta). Terjemahan Norman, Horner, I.B dan Walpola Rahula. 1984. London: The Pali Text Society.
The Middle Length Sayings (Majjhima Nikaya) Vol.I. Terjemahan Hoener, I.B..1989. London: The Pali Text Society.
The Middle Length Sayings (Majjhima Nikaya) Vol.II. Terjemahan Hoener, I.B..1989. London: Pali Text Society.
The Middle Length Sayings (Majjhima Nikaya) Vol.III. Terjemahan Hoener, I.B..1990. London: Pali Text Society.
The Middle Length Saying (Majjhima Nikaya). Vol IV .Terjemahan Horner, I.B.1987. Horner, I.B.1987. London:the Pali Text Society
The Psychological Ethics (Dhammasangani). Terjemahan Caroline A.F dan Rhys Davids. 1974. London: Pali Text society.
Tim Penyusun.1989. Ensiklopedi Nasional Indonesia. Jakarta: Cipta Adi Pustaka
T. Suwarto. 1995. Buddha dhamma Mahayana. Jakarta: Majelis Buddha Mahayana Indonesia
Wahyono, mulyadi. 2002. Pokok-pokok Dasar agama Budhha. Jakarta: Depertemen Agama RI
Widyadharma, Sumedha.1990. Dhammasari: Jakarta : Yayasan Karaniya
Widya, Dharma. 1992. Modul Riwayat Hidup Buddha Gautama I. Jakarta: Universitasterbuka
Widya, Dharma. 1995. Riwayat Hidup Buddha Gautama. Jakarta: Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Hindu dan Buddha

No comments: