Friday 2 September 2011

Perencanaan Program Pembiasaan Pendidikan Agama Buddha Kelas I

PERENCANAAN PROGRAM PEMBIASAAN PENDIDIKAN
AGAMA BUDDHA KELAS I SEKOLAH DASAR
Oleh: Lasino

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya, memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (UU.No20.2003: Sisdiknas).
Peran guru dalam usaha meningkatkan potensi peserta didik mengalami berbagai hambatan, menyebabkan peserta didik kurang optimal mendapatkan hasil dari proses pembelajaran agama Buddha. Gejala-gejala tersebut muncul dengan ditandai kurangnya minat dalam mengikuti pembelajaran pendidikan agama Buddha, sehingga sulit menerima dan merespon masalah yang dipelajari. Guru perlu mengarahkan peserta didik dapat menerima dan mempelajari ilmu yang diberikan, sebab dengan belajar memperoleh lima hal yaitu: memahami hal baru, sesuatu yang belum pernah ketahui sebelumnya, memahami lebih jelas apa yang pernah dengar sebelumnya, menghalau keragu-raguan, dapat meluruskan pemahaman, pikirannya menjadi tentram. (A.ii.248).


Wujud nyata guru profesional adalah berusaha mendidik dengan benar, seperti dijabarkan pada pasal 7 ayat 1 undang-undang guru dan dosen sebagai berikut;
Profesi guru merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasarkan prinsip sebagai berikut: a) memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme; b) memiliki komitmen meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia; c) memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai bidang tugas; d) memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai bidang tugas; e) memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan; f) memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja; g) memiliki kesempatan mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat; h) memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan; dan i) memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru (UU.14.2005: Guru dan Dosen).

Banyak metode digunakan untuk menyampaikan ajaran Buddha pada peserta didik. Ajaran Buddha merupakan penawar Paling mujarab bagi penyakit mental mahkluk hidup, jika disampaikan secara salah, berbalik menjadi racun sehingga merusak pikiran peserta didik. Anak-anak dalam masa pendidikan sekolah dasar adalah masa “senyum seribu bunga” mereka bermain, bernyanyi, berteriak dengan begitu polos dan ceria, betapa jahat bila guru merusak kegembiraan dan kepolosan mereka dengan menceritakan penderitaan manusia dan semua yang berhubungan dengan sisi gelap manusia (Sumangalo,1958), maka melalui pembiasaan positif, mengarahkan peserta didik memahami, menghayati dan meyakini ajaran Buddha, kemudian dapat melaksanakan dalam kehidupan sehari-hari.
Guru dalam kegiatan pembelajaran mengarahkan peserta didik memiliki pengetahuan, dengan memberikan ilmu pengetahuan, melalui pengetahuan yang diberikan mengarahkan peserta didik mempraktekkan sehingga akan memiliki berbudi pekerti luhur, berbakti kepada orang tua, guru dan semua yang patut mendapatkan penghormatan, mengarahkan berperilaku baik sehingga dihormati orang lain (M.i.33).
Perencanaan program pembiasaan diharapkan meningkatkan keinginan peserta didik belajar pendidikan agama Buddha selain ilmu pengetahuan, memiliki kebiasaan berbuat kebajikan, dan memahami akibat berbuat kesalahan serta mengetahui manfaat berbuat kebaikan. Perencanaan program pembiasaan dapat melatih peserta didik malu berbuat jahat (hiri) dan takut akibat perbuatan jahat yang telah dilakukan (ottapa) (A.i.95) sehingga dapat meningkatkan keinginan belajar seperti sabda Buddha ”Keinginan belajar meningkatkan pengetahuan; pengetahuan meningkatkan kebijaksanaan; dengan kebijaksanaan tujuan dapat diketahui; mengetahui tujuan akan membahagiakan” (Thag.141).
Pengetahuan bermanfaat, orang yang tidak memiliki pengetahuan bagaikan orang buta. Namun memiliki pengetahuan bagaikan memiliki sebilah pedang jika tidak hati-hati dalam penggunaannya akan membahayakan dirinya sendiri seperti:
Jika seseorang memiliki banyak pengetahuan tetapi lemah dalam kebajikan moral, orang lain akan mencela tingkah lakunya, walaupun pengetahuannya memadahi. Tetapi jika seseorang memiliki banyak pengetahuan dan juga kuat dalam kebajikan moral. Ia akan dipuji untuk keduanya kebajikan moralnya dan pengetahuannya. Terpelajar, memahami Dhamma benar-benar bijaksana. Mereka seperti emas murni dari negeri jambu siapakah yang dapat menemukan cela dalam dirinya? bahkan Deva menyanyikan pujiannya; Brahma pun menyanyikan pujiannya (A.ii.8).

Melalui pembiasaan positif menjadikan peserta didik menjadi bajik, perencanaan program pembiasaan membentuk kebiasaan melakukan hal-hal baik dan mengalami kemajuan batin, jika guru dapat membimbing kearah kebaikan melalui praktek-praktek nyata, berguna dalam kehidupannya, akan terbiasa melakukan kebajikan, dinyatakan; “seharusnya mengikuti orang terpelajar, dan tidak mengabaikan pengetahuan, karena merupakan dasar dari kehidupan suci” (Thag.1027).
Melalui pembiasaan dapat memahami pelajaran agama Buddha dan mempraktekkan langsung, sehingga benar-benar baik dan perlu diperhatikan “Seorang terpelajar, karena pengetahuannya yang memandang rendah orang hanya memiliki sedikit pengetahuan, seperti orang buta sama sekali, berjalan berkeliling dengan lentera di tangan” (Thag 1026), guru mengarahkan sikap rendah hati atas kecerdasan, keterampilan dari hasil belajarnya supaya tidak meremehkan dan merendahkan pihak lain.
Perencanaan program pembiasaan telah berhasil jika ditandai dengan perilaku dalam kehidupan sehari-hari di sekolah, di rumah maupun lingkungan masyarakat, tidak bertengkar dengan teman, menghormati guru, sangat menghormati orang tua, santun dalam pembicaraan, sopan dalam perilaku, rela membantu kepada yang membutuhkan dengan tulus ikhlas, rajin mengerjakan tugas yang diberikan, merupakan cermin dari keberhasilan perencanaan program pembiasaan, Buddha menjelaskan bahwa;
“memiliki pikiran yang terarah baik berucap, ucapan yang benar, melaksanakan dengan jasmani, hanya perbuatan yang benar dan baik. Terpelajar banyak melakukan hal yang bermanfaat meski dalam kehidupan yang singkat, orang bijak seperti itu akan bertumimbal lahir di tempat yang menyenangkan” (It.60).

Peserta didik yang terbiasa melakukan kebajikan melalui pikiran, ucapan dan badan jasmani, walau dalam kehidupan singkat maka akan terlahir di tempat yang menyenangkan (alam surgawi), kebajikan melalui pikiran, ucapan dan jasmani ini merupakan kebajikan tanpa noda (A.ii.65).

Pembiasaan dimulai kelas I sekolah dasar dengan alasan bahwa merupakan awal memperoleh pembelajaran pada tingkat dasar, dan melalui pembiasaan pada jenjang tingkatan kelas selanjutnya dapat mengerti, memahami dan mempraktekkan langsung program pembiasaan yang dicanangkan oleh satuan pendidikan.
Melalui perencanaan program pembiasaan pendidikan agama Buddha, guna mencapai tujuan sesuai kurikulum pendidikan nasional dan ajaran Buddha, penulis tertarik menulis perencanaan program pembiasaan pendidikan agama Buddha Kelas I sekolah dasar pada penerapan Kurikulum 2006.


BAB II
KONSEP PERENCANAAN PROGRAM PEMBIASAAN
A. Pengertian Program Pembiasaan
Program pembiasaan pendidikan agama Buddha adalah suatu cara agar peserta didik pada sekolah dasar “biasa” melaksanakan ajaran agama Buddha dalam kehidupan sehari-hari. Program ini merupakan kegiatan pendidikan diluar mata pelajaran, sebagai bagian integral dari kurikulum sekolah, dengan menerapkan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP), dan merupakan pembentukan kepribadian dan watak peserta didik, yang dilakukan melalui kegiatan berkenaan dengan masalah pribadi yaitu memiliki moral (sīla) yang baik dalam kehidupan sosial, dan dalam kegiatan pembelajaran.
Perencaaan program pembelajaran mulai kelas I untuk memberikan sugesti kepada peserta didik, agar termotivasi untuk belajar agama Buddha lebih giat, senang dan mempraktekkan yang telah dipelajarinya, sehingga terjadi percepatan belajar.
Pembiasaan membentuk motivasi belajar, sehingga meningkatkan perkembangan kecerdasan, memiliki sikap, sifat positif, dan perilaku bajik dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini disebabkan oleh kecerdasan tinggi, dan intuisi sudah ada sejak lahir, selama tujuh tahun sejak kelahiran individu, kecerdasan dapat disingkap jika dirawat dengan benar.
Persyaratan yang harus dipenuni untuk dapat merawat kecerdasan dengan baik yaitu peserta didik harus merasa aman secara fisik dan emosional, harus ada model untuk memberikan rangsangan yang wajar (Bobbi, 2003:30).
Kecerdasan dapat berkembang hanya dengan cara tepat guru memberikan motivasi belajar, melalui program pembiasaan memberikan kesempatan peserta didik, mengembangkan kecerdasan, sikap, sifat positif, dan perilaku bajik dalam kehidupan sehari-hari karena telah memiliki kecerdasan tinggi, dan intuisi yang sudah ada sejak lahir, melalui pembisaan guru hanya membuka bakat-bakat terpendam bawah sadarnya.
Peserta didik yang mengalami kegagalan, pasti kecewa merasa tidak mampu, dan menganggap dirinya tidak akan bisa menguasai yang dipelajari dan menganggap dirinya bodoh. Namun cara pandang demikian tidaklah tepat, karena cara pandang terhadap kegagalan menentukan keberhasilan yang akan datang, sebab setiap kegagalan, sekecil apapun merupakan potongan informasi lain yang membawa pada keberhasilan, hanya dengan melakukan beberapa perubahan, penting dalam belajar. Hanya setelah mengalami bebe rapa kegagalan, dapat diperbaiki dengan kesalahan yang telah dilakukan dengan akibat kegagalannya tersebut hingga mencapai puncak keberhasilan (Bobbi, 2003:94).
Perencanaan sangat penting untuk dapat membiasakan dapat menerima kegagalan, program pembiasaan yang tepat dan dapat diterima akal peserta didik sesuai usianya sebab kegagalan diimbangi latihan yang sesuai dan berulang-ulang akan menjadi suatu kebiasaan melakukan suatu hal positif, dengan hasil keberhasilan dimasa mendatang.
Piaget (1980) dalam buku psikologi perkembangan menguraikan perkembangan sensorik motorik dipengaruhi oleh refleks yang dibawa sejak lahir, usia 6 tahun sampai 12 periode taraf konkrit operasional, Anak mulai menguasai struktur logika, dengan berbagai macam operasi mental, yang terinternalisasi dalam perilaku yang dapat dibalik. Dalam memahami konsep, individu sangat terikat kepada proses mengalami sendiri, artinya anak mudah memahami konsep kalau pengertian konsep itu dapat diamati anak atau melakukan sesuatu yang berkaitan dengan konsep tersebut. Pada ciri ini adalah segala sesuatu dipahami sebagaimana yang tampak saja atau sebagaimana kenyataan yang mereka alami (Hurlock, 1980).
Argumen Piaget tersebut dapat disimpulkan bahwa peserta didik lebih senang melakukan sesuatu sendiri, dan peran guru sebagai pendidik merancang suatu pembiasaan dalam bentuk program kegiatan sehingga dapat diarahkan untuk membiasakan diri melakukan kegiatan psikis dan fisik secara nyata dan berulang-ulang secara terencana dan terkontrol oleh pendidik.
Pembiasaan konotasinya identik dengan pengulangan, dan pengulangan adalah perbuatan yang dilakukan lagi, kembali seperti semula, kembali pula, kembali semula, atau dari permulaan berkali-kali, beberapa kali (KBBI, 2007:936), peserta didik yang “biasa” melakukan kebiasaan, berarti melakukan sesuatu berulang-ulang, menjadi “biasa” melakukan perbuatan tersebut.
Perencanaan program pembiasaan melatih siswanya sesuai keahlian yang dimilikinya, mengajar siswa hingga mahir. Memperdalam pengetahuan siswanya tidak hanya soal keilmuan yang diperhatikan, guru berkewajiban dalam berbagai hal sehingga siswa memiliki perilaku terpuji sekaligus terjaga keselamatannya.
Tindakan guru ini wujud kewajibannya terhadap peserta didik, sehingga selalu menghormati gurunya, melayani mereka bertekad untuk belajar, menaruh perhatian sewaktu menerima pelajaran dan memberikan persembahan jasa kepadanya (D.iii.189). Melalui kebiasan, maka tanpa nasehat, peringatan atau ancaman hukuman, suatu perbuatan dapat dilakukan baik sadar atau tidak sadar.
Bhikkhu Pilindavaccha selalu memanggil Bhikkhu-Bhikkhu lain dengan menyebut Bhikkhu “rendah”, kemudian serombongan Bhikkhu... menemui Buddha dan mengatakan;
“Bhante, Yang Arya Pilindavaccha memanggil Bhikkhu-Bhikkhu lain rendah, Buddha berkata kepada para Bhikkhu “Para Bhikkhu sekalian, jangan hiraukan Bhikkhu Vaccha, Bhikkhu Vacca menyebut Bhikkhu rendah bukan karena rendahnya batin, para Bhikkhu, pada 500 kelahiran lampau Vaccha dilahirkan dalam keluarga Brahma. Penggunaan kata rendah sudah mendarah daging akibat kebiasaan” (Ud.vi.30).

Kebiasan akan melekat pada diri seseorang walau telah mengalami kelahiran berulang-ulang, sehingga sungguh baik jika dapat mengarahkan peserta didik untuk “biasa” melakukan kebajikan dalam kehidupan sehari-hari, kebajikan yang telah dilakukan akan mendarah daging dalam batinnya, seperti Bhikkhu Pilindavaccha yang dalam 500 kelahiran terbiasa mengatakan ‘rendah’, dan Sabda Buddha membuktikan bahwa yang dilakukan Bhikkhu Pilindavaccha akibat kebiasaan. Maka peserta didik yang mempunyai kebiasaan baik atau buruk akan terbawa hingga kelahiran selanjutnya, bukan hanya saat ini dalam rentang kehidupannnya.
Kebiasan dilakukan oleh individu tertentu karena telah dilatih, dipelajari secara berulang-ulang dalam proses kehidupannya. Kecerdasan, keterampilan, merupakan hasil dari pembelajaran masa kelahiran lalu atau saat ini, untuk membuktikan bahwa kebiasaan akan terbawa hingga kelahiran-kelahiran selanjutnya Dr. Ian Stevenson (1998) Kepala Departemen Psikiatri Fakultas Kedokteran, University of Psychiatry dalam buku Born Again mengadakan penelitian hasilnya adalah; a) sifat kepribadian, kesukaan, dan kebiasaan seringkali bertahan dari satu inkanarsi ke inkanarsi lainnya, b) penampakan fisik sering sama, c) jenis kelamin 95% sama, hanya 5% terjadi peralihan (Semkiw, 2008:35).
Sesuai hasil penelitian Dr. Ian Stevenson dalam upaya membiasakan melakukan suatu kebajikan menjadi suatu kebiasaan diperlukan metode pembelajaran yang tepat pada penerapanan perencanaan program pembiasaan pendidikan agama Buddha mulai kelas I sekolah dasar, sebab dengan program pembiasaan tentang kebajikan yang tepat sesuai kemampuan menerima dalam logika usia kelas I SD, dapat terbiasa melakukan kebajikan sesuai program yang telah disusun oleh guru pada satuan pendidikan.
Bukti lain perlunya perencanaan program pembiasaan adalah Bobbi DePorter dan Mike Hernacki (1992) dalam quantum learning menyatakan, bahwa manusia memiliki prestasi-prestasi awal kehidupannya yang menakjubkan berkat kekuatan pikiran.
Tahun pertama belajar berjalan, tahun kedua mulai berkomunikasi dengan bahasa, tahun kelima mengenal 90% dari semua kata yang biasa digunakan oleh orang-orang dewasa, tahun keenam belajar membaca, seseorang dapat melakukan semua aktivitas dalam kehidupannya diawali dari belajar. Modal pikiran yang dimiliki peserta didik jika diasah dengan pembiasaan-pembiasaan yang terkontrol akan nilai-nilai moralnya maka akan menjadi dasar keberhasilan penerapan program pembiasaan yang dirancang pendidik.
Havigurst (1980) dalam psikologi perkembangan menyatakan tugas-tugas perkembangan sepanjang rentang kehidupan diawali 1) masa bayi dan awal masa kanak-kanak; belajar memakan makanan padat, belajar berjalan, belajar berbicara, belajar mengendalikan kotoran tubuh, mempelajari perbedaan seks dan tata caranya, mempersiapkan diri untuk membaca, belajar membedakan benar salah, dan mulai mengembangkan hati nurani; 2) akhir masa kanak-kanak; mempelajari keterampilan fisik yang diperlukan untuk permainan-permainan umum, membangun sikap yang sehat mengenai diri sendiri sebagai mahkluk yang sedang tumbuh, belajar menyesuaikan diri dengan teman-teman seusianya, mulai mengembangkan peran sosial pria atau wanita yang tepat, mengembangkan keterampilan-keterampilan dasar untuk membaca, menulis dan berhitung, mengembangkan pengertian-pengertian yang diperlukan untuk kehidupan sehari-hari, mengembangkan hati nurani, pengertian moral, dan tata tingkatan nilai, mengembangkan sikap terhadap kelompok-kelompok sosial dan lembaga-lembaga, mencapai kebebasan pribadi (Hurlock. 1980;10).

B. Pengertian Kelas I
Satuan pendidikan dasar (sekolah dasar) dimulai dari jenjang tingkatan kelas I, kelas II, kelas III, kelas IV, kelas V, dan kelas VI, masing-masing jenjang tingkatan ditempuh selama satu tahun, dibagi menjadi dua semester (enam bulan). Maka kelas I merupakan dasar berpijak untuk mendapatkan ilmu pengetahuan dalam pembelajaran dan perencanaan program pembiasaan diawali dari kelas satu, berjenjang sampai tingkat terakhir.
Batas minimun dapat belajar pada satuan pendidikan adalah usia enam sampai tujuh tahun atau sesuai kebijakan satuan pendidikan namun tidak boleh kurang dari 6 tahun sejak tanggal pendaftaran, hal ini disebabkan bahwa secara jasmaniah dan mental telah mampu menerima materi pembelajaran.
Aktivitas pembelajaran mulai kelas I digolongkan ke dalam beberapa hal antara lain: 1) aktivitas visual (visual activities) seperti membaca, menulis, melakukan eksperimen, dan demontrasi; 2) aktivitas lisan (oral activities) seperti bercerita, tanya jawab, diskusi, menyanyi; 3) aktivitas mendengarkan (listening aktivities) mendengarkan penjelasan guru, ceramah, dan pengarahan; 4) aktivitas gerak (motor activities) seperti senam, atletik, menari, dan melukis; 5) aktivitas menulis (writing activities) (Usman, 2006:22).
Perencanaan program pembiasaan wajib menampilkan aktivitas pembelajaran dengan tujuan untuk memudahkan peserta didik sesuai tujuan pembelajaran yaitu membimbing kegiatan pembelajaran sehingga mampu belajar. Namun perlu memperhatikan perkembangan psikologis peserta didik sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai.
Program pembiasaan adalah cara belajar yang efektif disertai proses mengajar yang tepat, proses pembiasaan diharapkan mampu menghasilkan manusia-manusia yang memiliki karakteristik sebagai: (1) pribadi mandiri, (2) pelajar efektif, (3) pekerja produktif dan (4) anggota masyarakat yang baik. (Surya, 2003:76)

C. Landasan Perencanaan Program Pembiasaan
Permasalahan perencanaan program pembiasaan tidak lepas dari kurikulum, pada sistem pendidikan nasional diuraikan di pasal 37 ayat (1) kurikulum pendidikan dasar wajib memuat; huruf a) pendidikan agama, dan pada huruf j) muatan lokal satuan pendidikan dasar dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan dan komite sekolah dibawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau kantor departemen agama kabupaten/ kota (UU.20.2003: Sisdiknas).
Pelaksanaan kurikulum satuan pendidikan (KTSP) diatur pada pasal 2 ayat (4) tentang standar kompetensi lulusan untuk satuan pendidikan dasar, dengan tahapan tahun ke III : kelas 1, 2, 3, 4, 5 dan 6 (PP. No.22.2006). Bab V tentang peserta didik pasal 12 ayat (1) Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak: a) mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama; b) mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya (UU.20.2003: Sisdiknas).
Program pembiasaan dapat disusun berdasarkan peraturan daerah, bahwa pemerintah kabupaten/ kota dapat mengembangkan pelajaran agama menjadi muatan lokal (mulok) kabupaten, dan muatan lokal sekolah.
Pendidikan agama Buddha, untuk muatan lokal kabupaten adalah pendalaman saddha siswa (PSS). Sekolah mengembangkan muatan lokal menjadi pengembangan diri berupa program pembiasaan pada peserta didik (Mugijarti, 2008).
Dasar Perencanaan program pembiasaan mengacu pada; UU No. 20 tahun 2003 Sisdiknas, pasal 1 butir 6) tentang pendidik, pasal 3 tentang tujuan pendidikan, pasal 4 ayat (4) tentang penyelenggaraan pembelajaran, pasal 12 ayat (1b) tentang pelayanan pendidikan sesuai bakat, minat, dan kemampuan. PP No. 19 tahun 2005 pada pasal 5-18 tentang Standar Isi satuan pendidikan dasar dan menengah. Permendiknas No. 22 tahun 2006 tentang Standar Isi yang memuat pengembangan diri dalam struktur kurikulum, dibimbing oleh guru agama Buddha, dan guru/ tenaga kependidikan yang disebut pembina. Dasar standarisasi profesi konseling oleh Ditjen Dikti Tahun 2004 tentang arah profesi konseling di sekolah dan luar sekolah.
Program pembiasaan lebih jelas diuraikan pada bagian IX pendidikan keagamaan yaitu pasal 30; ayat (1) Pendidikan keagamaan diselenggarakan Pemerintah dan atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan; ayat (2) Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan atau menjadi ahli ilmu agama; ayat (3) Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal; ayat (4) Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan Pabbajjā Sāmanera, dan bentuk lain sejenis (UU.No.14. 2005: Guru dan Dosen).
Landasan dasar pelaksanaan perencanaan program pembiasaan adalah nasehat Buddha yaitu; a) menghentikan ducarita dengan menghentikan praktek-praktek jahat melalui badan, ucapan dan pikiran; b) mengembangkan sucarita dengan mengembangkan praktek-praktek yang benar melalui badan, ucapan dan pikiran; c) membuat hati (pikiran) menyingkir dari hal-hal yang menimbulkan kekotoran yaitu keserakahan, kebencian dan kebodohan (M.iii.273).
Peserta didik mulai kelas 1 sekolah dasar dibiasakan melatih diri dapat menghentikan ducarita dengan 1.) menghentikan praktek-praktek jahat melalui badan (kaya ducarita) yaitu 1.1.) membunuh atau menganiaya mahkluk hidup; 1.2.) mencuri dan menipu; 1.3.) kelakuan seks tidak pantas. 2.) menghentikan praktek-praktek jahat melalui ucapan (vaci ducarita) yaitu 2.1.) berbohong (musavada); 2.2.) ucapan yang dapat menimbulkan rasa marah dan permusuhan (pisunavacca); 2.3.) kata-kata kasar (parusacavacca); 2.4.) berbicara tentang hal-hal yang tidak berguna dan tidak bertujuan (samphapalapa) dan 3.) menghentikan praktek-praktek jahat melalui pikiran (mano ducarita) yaitu 3.1.) menginginkan harta orang lain (lobha); 3.2.) pikiran ingin menyakiti orang lain (byapada); 3.3.) pengertian keliru yang tidak sesuai dengan Dhamma (micchaditti) (A.v.281).
Peserta didik kelas satu sekolah dasar dibiasakan mengembangkan cara berkelakuan baik (sucarita) dengan 1) mengembangkan praktek yang benar melalui badan (kaya sucarita) yaitu a) menahan diri dari pembunuhan mahkluk-mahkluk hidup; b) menahan diri dari mencuri dan menipu; c) menahan diri dari kelakuan seks yang tidak pantas. 2) mengembangkan praktek-praktek yang benar melalui ucapan (vaci sucarita) yaitu a) menahan diri dari kebohongan; b) menahan diri dari pembicaraan yang dapat menimbulkan rasa marah dan permusuhan; c) menahan diri dari kata-kata kasar; d) menahan diri dari pembicaraan tentang hal-hal yang tidak berguna dan tidak bertujuan. 3) mengembangkan praktek-praktek yang benar melalui pikiran (mano cucarita) yaitu a) tidak menginginkan harta orang lain (alobha); b) pikiran-pikiran yang tidak ingin menyakiti orang lain (abyapada); c) pikiran benar yang sesuai dengan Dhamma (A.v.281).

D. Tujuan Perencanaan program pembiasaan
Tujuan umum pembiasaan tidak mengemban misi atas dasar kasih sayang, demi kebaikan, membawa kesejahteraan, keselamatan dan kebaha-giaan bagi orang ba¬nyak (Vin.i.21). Tujuan guru dalam usaha mengetahui perilaku peserta didik berdasarkan kecerdasan, moral yang dimilikinya, dan guru harus mengetahui tingkat intelegensi atau kecerdasan peserta didik.
Guru untuk mengetahui kecerdasan peserta didik secara umum dilihat dari bagaimana cara berbuat, menyelesaikan tugas pekerjaan dan memecahkan masalah yang dihadapi (Suryadinata, 2007:254).
Buddha menjelaskan bahwa sepotong kain bersih dan terang dan dicelupkan pewarna, maka kain itu warnanya akan tampak lebih indah dan terang, apabila seorang siswa batinnya tidak dikotori oleh kekotoran batin, maka dicapai kondisi menyenangkan (M.i.37). Usaha mewujudkan perilaku luhur dalam kehidupan sehari-hari membutuhkan perencanaan dan strategi yang benar dengan, melibatkan beberapa konsep yaitu pengetahuan (pariyati), pembiasaan mental (pati-pati), dan perubahan perilaku (pativedha) (A.v.33).
Melalui pembiasaan dapat memiliki pemahaman norma, dilanjutkan dengan mencari pengetahuan melatih diri dengan senantiasa penuh perhatian, ketika muncul kesadaran bahwa kedamaian dapat ditemukan dalam keadaan tenang, maka harus sepenuhnya menyerahkan diri kepada ajaran yang membawa kemajuan itu (Sn.232).
Keberhasilan guru agama Buddha melaksanakan program pembiasaan terlihat pada perilaku peserta didik, dan membutuhkan bantuan dari semua aspek yang terlibat yaitu; sekolah, keluarga dan masyarakat, kemudian dapat berlangsung baik apabila terjadi aksi dan interaksi secara harmonis antara komponen-komponennya dalam mencapai tujuan pendidikan. Sīla adalah pertanda dari timbulnya jalan mulia berunsur delapan (S.v.28) termasuk memiliki sīla jika dari ucapan benar, perbuatan benar dan mata pencaharian benar (M.i.301).
E. Pembagian Program Pembiasaan
Perencanaan program pembiasaan pendidikan agama Buddha kelas 1, dibagi menjadi empat jenis pembiasaan yaitu; 1) pembiasaan spontan, 2) pembiasaan rutin, 3) pembiasaan terprogram, dan 4) pembiasaan teladan (Mugijarti, 2008).
Pembiasaan spontan adalah kebiasaan dilakukan secara langsung jika melakukan sesuatu, sehingga tanpa perintah guru atau orang tua. Kegiatan diarahkan secara spontan; a) menghormat bersikap anjali dan memberi salam dengan mengucapkan salam Namo Buddhaya atau swatihotu kepada orang tua, guru, anggota Sangha, sebab penghormatan kepada orang yang lebih tua dengan rajin dan taat, selalu menghormat kepada mereka yang lebih tua, akan mendapatkan empat berkah dan kemuliaan, yaitu umur panjang, kecantikan, kebahagiaan dan kekuatan (Dh.109); b) setiap memasuki vihara, cetiya atau di depan altar selalu melakukan namaskhara dengan sikap benar yaitu sujud dengan lima titik tumpu menyentuh lantai (pacangapatita) (D.ii.138).
Pembiasaan rutin adalah pembiasaan dilakukan berkelanjutan, bentuk pembiasaan rutin peserta didik diarahkan a) membaca doa (puja bhakti) bertujuan untuk mengkondisikan batin peserta didik untuk menjadi tenang, b) latihan meditasi bertujuan mendapatkan ketenangan batin dan pandangan terang (D.iii.273).
Pembiasaan terprogram adalah kegiatan yang direncanakan dan diatur penyelenggaraannya oleh sekolah yaitu Pabbajjā Sāmanera (D.ii.16) dan atthangasila (D.ii.312) saat liburan sekolah, dan uposatha pada waktu penanggalan buddhis.
Pembiasaan teladan, peserta didik dibiasakan menjadi kawan sejati (kalyanamitta) dan menghindari kawan jahat (akalyanamittha) (A.i.125), sehingga peserta didik benar-benar menjadi manusia yang memiliki sīla, terdiri dari aspek negatif (varita sīla) dan aspek positif (Caritta sīla) (Rashid,1997:29).

BAB III
MATERI PROGRAM PEMBIASAAN KELAS I SEKOLAH DASAR
A. Pembiasaan Spontan
Orang menginginkan untuk dihormati, tentunya harus menghormati orang lain karena tidak mungkin seseorang dihormati tetapi mempunyai sikap buruk dan tidak mau menghormati orang lain. Selalu menghormat kepada mereka yang lebih tua, akan mendapatkan empat berkah dan kemuliaan, yaitu umur panjang, kecantikan, kebahagiaan dan kekuatan (Dh.109).
Pembiasaan spontan sesuai nasehat Buddha memperkenankan beberapa cara penghormatan, diantaranya; anjali dan namaskara (D.ii.138), kemudian, dijadikan “pembiasaan spontan” dengan uraian sebagai berikut:

1. Anjali
Peserta didik dibiasakan memberikan penghormatan dengan sikap anjali, yaitu merangkapkan dua telapak tangan membentuk kuncup bunga teratai, dengan posisi tangannya dirapatkan di ujung dagu, kepada yang lebih tua di ujung hidung, dan untuk menghormat kepada guru atau Bhikkhu tangan dirapatkan ditengkuk hidung, serta penghormatan kepada Tiratana diletakkan di kening mata. (Virana, 2008:132)
Penghormatan kepada Tiratana (A.iii.331) wajib dilaksanakan oleh peserta didik mulai kelas I, sehingga menjadi suatu kebiasaan melakukan kebajikan dengan anjali sebagai wujud sikap hormat. Peserta didik selain ber-anjali kepada sesama umat Buddha, anggota Sangha, guru agama Buddha, orang tua atau teman-teman sesama umat Buddha, juga dibiasakan memberikan penghormatan kepada yang patut mendapat penghormatan tanpa memandang keyakinan yang dianutnya, dengan sikap berjabat tangan, tergantung kesantunan atau tradisi masing-masing, perilaku ini terpuji dan mengambil contoh sebagaimana ditunjukkan kaum Kalama dalam memberikan penghormatan kepada Buddha (A.i.188).
Memberikan penghormatan adalah wujud perilaku bajik sebab menurut Buddha saat ini sungguh sulit mencari orang yang menghormat sebagai bentuk tahu terima kasih (kataññukatavedi) (A.i.87).

2. Namaskhara
Peserta didik dibiasakan melakukan namaskhara dengan sikap yang benar, sungkem atau sujud dengan lima titik tumpu menyentuh lantai (pacangapatita) yaitu sujud dengan satu dahi, dua telapak tangan merapat menyentuh lantai, kedua siku dan lutut, serta kedua ujung telapak kaki (Virana, 2008:132).
Cara sujud dengan benar menunjukkan batin peserta didik, dan namaskhara dilakukan bukan hanya formalitas belaka namun sudah menjadi kebiasaan untuk menunjukkan kerendahan hati, dan menghormat kepada yang patut dihormati.
Namaskhara, dilakukan bukan hanya di altar cetiya atau vihara, namun kepada anggota Sangha jika berada di tempat memungkinkan seperti di bhaktisala, kuti, atau tempat lain yang sesuai, atau dapat memberikan sujud kepada orang tua yang telah melindungi, merawat dan mencukupi semua kebutuhannya, memberikan penghormatan dengan namaskhara kepada kedua orang tua, jika ini dilaksanakan maka kedua orang tua akan berbahagia melihat perilaku bajik yang telah ditunjukkan oleh putranya.

B. Pembiasaan Rutin
1. Pembacaan paritta
Paritta adalah bacaan yang dapat disamakan dengan doa (Mukti, 2003:98), Buddha memberikan petunjuk kepada para siswa-Nya untuk membacakan paritta tertentu agar terhindar dari kesulitan dan kejahatan, misalnya Buddha pernah mengajarkan Angulimala menolong perempuan yang mengalami kesukaran dalam melahirkan (M.ii.103), dengan paritta pernyataan kebenaran dan Atanatiya Paritta (D.iii.195-202), Dhajagga Paritta (S.i.220), Kandha Paritta (A.ii.72), Mora Paritta (Ja.ii.35), serta Ratana Sutta (Sn.222-238) adalah doa pujian terhadap sejumlah Buddha termasuk Buddha Gotama. Doa ini bertujuan agar pembaca paritta tersebut hidupnya tenteram, terlindung dari gangguan mahluk halus.
Punnaka bertanya tentang doa-doa dengan persembahan yang diberikan dewa kepada Buddha, dan dijelaskan bahwa doa-doa mereka, ingin ganjaran, ingin memiliki, mereka ingin kenikmatan nafsu inderawi dan orang-orang ini tidak akan lepas dari usia tua dan kelahiran kembali (Sn.1046).
Isi paritta yang dibacakan akan mempengaruhi pembaca paritta, jika tujuannya hanya mengharapkan ganjaran, ingin memiliki, mereka ingin kenikmatan nafsu inderawi tidak akan melepaskan dirinya dari penderitaan, namun jika dalam pikiran, ucapan dan perilaku sesuai Dhamma, ditambah doa untuk mengkondisikan batinnya maka akan tercapai harapannya terbebas dari penderitaan.
Kebanyakan doa memohon usia panjang, kecantikan, kebahagiaan, kehormatan dan kelahiran di alam surga, Buddha menyatakan bahwa kelima hal ini tidak akan tercapai hanya melalui doa, tetapi harus menempuh jalan untuk mencapai hal itu (A.iii.48).
Doa merefleksikan pikiran, dan pikiran yang benar mengandung aspek; (1) tidak berdasarkan egoisme dan dorongan nafsu keduniawian yang bersifat rendah; (2) mengungkapkan cinta kasih, bukan itikhad jahat; (3) mengandung belas kasih, bukan perasaan kejam (Mukti,2003:95), sehingga peserta didik dalam berdoa dibiasakan bukan mengucapkan kata-kata klise, semata-mata mengucapkan rumusan kata tanpa mendalami makna terkandung didalamnya, dan terhindar penyesalan setelah berdoa dengan mengharapkan hasil dari pembacaan doa tersebut.
Cara baca paritta dalam berdoa dihargai oleh Buddha namun menolak usulan Yamelu dan Tekula agar sabda-sabda Buddha dibacakan menurut suatu standar dialek yang berirama (Vin.ii.139) sehingga peserta didik dalam berdoa dapat menggunakan paritta atau doa-doa menurut bahasa daerah mereka, dan tidak ada kesalahan dalam berdoa itu.
Buddha tidak mengijinkan paritta suci dinyanyikan, sebab mengingat keburukan ditimbul yaitu; (1) senang atau bangga pada dirinya sendiri karena suaranya itu, (2) orang lain menyukai suara tersebut dengan memperhatikan iramanya bukan Dharma-nya, (3) Masyarakat akan mencemooh karena sifatnya yang cenderung menimbulkan rangsangan indriawi, (4) Konsentrasi terpecah, sibuk tertuju pada pengaturan suara lupa pada makna dari apa yang diucapkan, (5) Orang-Orang terjebak dalam pandangan yang keliru, mempertahankan lagu atau notasi, guru dan pendahulunya sehingga timbul persaingan dan pertentangan (Vin.ii.108).
Nasehat Buddha tentang cara baca paritta dapat diterapkan kepada peserta didik dalam pembiasaan baca paritta yaitu bukan melatih dapat membaca paritta dengan merdu, indah dan mengikuti kaidah-kaidah mazab tertentu, namun peserta didik dapat mengerti akan maksud dan tujuan pembacaan doa yang dilakukannya.
Puja bhakti dengan membaca doa melalui paritta atau lainnya merupakan kegiatan ritual, metode untuk mencapai hal yang harus dicapai (upaya kausalya), tidak ada peraturan mengenai puja bhakti yang mengikat atau seragam, tergantung pada selera dan sentuhan budaya, memiliki kebebasan untuk memilih dan menggunakannya, peserta didik dibiasakan membaca paritta atau menggunakan bahasa daerahnya untuk berdoa. (Virana, 2008:132).
Secara harafiah paritta berarti perlindungan, pembacaan paritta yang dilakukan dengan baik dan benar akan memberikan perlindungan, baik karena makna ajaran yang dikandungnya maupun karena getaran kebajikan yang ditimbulkan oleh pembacaan tersebut.
Puja bhakti menurut maksud dan tujuan dibedakan menjadi empat yaitu; 1) tindakan magic, yang dikaitkan dengan penggunaan bahan-bahan yang bekerja karena daya-daya mistis, 2) tindakan religius ditujukan kepada mahkluk adikodrati, termasuk kultus para leluhur, 3) tata cara mengungkapkan atau mengubah hubungan sosial menuju status baru, dengan merujuk pada pengertian mistis, 4) tata cara dengan tindakan memproduktivitas atau kekuatan, atau pemurnian dan perlindungan atau dengan cara lain meningkatkan kesejahteraan materi suatu kelompok (Mukti, 2003:73).
Peserta didik dibiasakan melakukan praktek ritual secara benar dan menghindari praktek ritual yang salah, jika pembacaan paritta waktu di kelas dilaksanakan dengan bercanda, menggoda teman-teman, atau dibacakan dengan berteriak-teriak merupakan salah satu ritual yang salah. Selain itu Buddha menyatakan bahwa praktik magic, seperti tenung, pelet, nujum atau lainnya, menggunakan mantra-mantra untuk berbagai tujuan tertentu merupakan mata pencahariaan salah (D.i.9-12).
Buddha juga menyatakan bahwa kekuatan gaib merupakan hasil pencapaian persepsi ekstrasensori sebagai suatu kejadian kausal dan konsentrasi mental menjadi penyebabnya (A.i.254), kekuatan gaib bukan kesucian dan jika Bhikkhu memiliki kekuatan gaib mengaku telah mencapai kesucian merupakan perbuatan salah yang berat (akusala garukka kamma) (Vin.iii.9-12).
Peserta didik dapat melakukan puja bhakti sesuai mazab atau tradisi setempat, tidak ada peraturan baku mengharuskan, menggunakan bahasa tertentu dalam praktek puja bhakti, terdapat variasi, puja bhakti dilakukan atas dasar dorongan perasaan syukur, terima kasih, cinta, penghormatan dan bhakti kepada Buddha, (Mukti, 2003:73).
Memiliki kepercayaan bahwa kegiatan ritual atau puja bhakti atau sembahyang dapat membebaskan diri dari penderitaan dan mencapai kesucian merupakan kepercayaan tahayul dan salah satu dari sepuluh belenggu, harus disingkirkan untuk memasuki jalan kesucian (Vbh.377).
Buddha memberi nasehat kepada Ananda sebelum memasuki parinibbana, bahwa bunga-bunga pohon sala kembar, bunga mandrawa, serbuk cendana dari langit yang menaburi tubuh Tathagata, musik dari surga yang terdengar sebagai wujud penghormatan bukan yang tertinggi, namun jika Bhikkhu, Bhikkhuni, upasakha, dan upasikha selalu memenuhi kewajibannya yang besar dan kecil, hidup lurus, tindak tanduknya sesuai dengan petunjuk Dhamma, sesungguhnya orang menghargai, menjunjung, memuliakan dan berbakti kepada Tathagata, sebagai bentuk penghormatan tertinggi (D.ii.138)
Puja bhakti dalam agama Buddha walau beraneka ragam bentuk dan bahasa yang dipergunakan namun memiliki makna; 1) memuja Tuhan Yang Maha Esa atau Tiratana dan Bodhisatwa, 2) memperkuat keyakinan dan pernyataan berlindung kepada Tiratana, 3) menyatakan tekad mengikuti petunjuk dan jejak Buddha, dengan melaksanakan sīla, 4) merenungkan sifat luhur Tiratana, 5) mengulang kembali khotbah-khotbah Buddha, 6) mengembangkan cinta kasih, belas kasih, simpati dan keseimbangan batin, 7) berdoa, mengungkapkan harapan, 8) bersyukur, dan melimpahkan jasa-jasa membagi perbuatan baik kepada mahkluk lain (Mukti, 2003:80).
Manfaat langsung yang didapat dari suatu kegiatan puja bhakti adalah berkembangnya hal-hal sebagai berikut; 1) keyakinan (saddha), 2) cinta kasih, belas kasih, simpati dan keseimbangan batin (brahmawihara), 3) pengendalian diri (samvara), 4) perasaan puas (santuthi), 5) kedamaian (shanti), 6) kebahagiaan (sukha) (Mukti, 2003:80).

2. Meditasi
Meditasi artinya pemusatan pikiran dan perasaan untuk mencapai sesuatu (KBBI.2001), dan pengembangan batin (bhavana), “memusatkan pikiran pada satu objek tunggal, inilah yang disebut samadhi” (M.i.301), definisi samadhi benar adalah pikiran yang baik, yaitu kesadaran pikiran (citta), dan corak batin (cetasika) yang baik terpusat dengan mapan pada satu objek (Vism.84).
Meditasi ditinjau dari tujuan untuk mendapatkan ketenangan batin dan pandangan terang (D.iii.273), alasan melaksanakan meditasi untuk dapat mencapai tujuan akhir yaitu nibbanā.
Petapa Sidharta Gotama walau telah mendapat petunjuk dari guru-Nya, yaitu Alara Kalama dan Uddaka Ramaputta, hingga menguasai teknik yoga hingga berhasil menguasai konsentrasi tingkat tertinggi menyamai gurunya, menyatakan bahwa itu belum mencapai realitas tertinggi (M.i.163-166), kemudian Buddha mengembangkan sendiri sistem meditasi yang benar untuk pencapaian penerangan sempurna (A.i.95).
Peserta didik dalam samadhi memiliki pikiran terpusat namun jika pikirannya buruk disebut samadhi salah (miccasamadhi). Samadhi adalah keadaan positif, bukan pasif atau terhipnotis sehingga lupa diri. Meditasi wajib memiliki perhatian benar yaitu empat landasan kesadaran berupa perenungan terhadap (1) badan jasmani, (2) perasaan, (3) pikiran, dan (4) fenomena Dhamma (M.i.301).
Daya upaya benar untuk mencapai hasil dalam samadhi wajib dimiliki untuk dapat memudahkan jalan mencapai hasil dari meditasi yaitu; (1) usaha mencegah timbulnya pikiran buruk, tidak menguntungkan, menimbulkan kerinduan dan kekesalan, dengan cara menjaga, mengawasi, dan mengendalikan semua indera; (2) usaha melenyapkan pikiran yang diliputi hawa nafsu yang sempat muncul, dengan mencampakkannya, mengakhirinya, mengalihkan pikiran pada sesuatu yang baru; (3) usaha membangkitkan atau mengembangkan faktor penerangan sempurna, melalui ketenangan, pelepasan, pengakhiran, dengan tujuan mencapai kebebasan; (4) usaha mempertahankan objek konsentrasi yang telah berhasil dicapai (A.ii.16).
Tujuan akhir samadhi benar adalah mengembangkan kebijaksanaan (pañña) dan melenyapkan kekotoran batin “inilah sīla, inilah samadhi, inilah kebijaksanaan, besar hasilnya, manfaat dari kebijaksanaan, apabila dikembangkan berdasarkan samadhi. Batin dikembangkan berdasarkan kebijaksanaan akan terbebas dari noda (asava), yaitu nafsu inderawi (kamasava), nafsu untuk dilahirkan kembali (bhavasava), pandangan salah (ditthasava), dan kebodohan (avijjasava)” (D.ii.91).
Berdasarkan tujuan meditasi menurut Buddha, tujuan meditasi adalah ketenangan batin (samatha) dan pandangan terang (vipassana) (D.iii.273), jika dilaksanakan dengan benar, tekun, selalu berusaha keras, akan mencapai nibbanā, kebebasan mutlak, merupakan kebahagiaan tiada tara (Dh.23).
Pengembangan batin untuk memperoleh ketenangan dan pandangan terang (D.iii.273) hasil dari melaksanakan pengembangan batin (samatha bhavana) tidak akan membawa kesucian, hanya meditasi pandangan terang (vipassana bhavana) yang dapat mengantar praktikan mencapai pencerahan pandangan terang (kesucian).
Samadhi berhasil jika mengetahui karakteristik watak peserta didik, kesesuaian jenis watak akan membantu keberhasilan dalam melaksanakan meditasi. Pokok-pokok objek meditasi dikembangkan sesuai penggolongan watak (caritta), dan ada enam golongan watak (caritta) yaitu; (1) watak yang penuh nafsu (raga caritta), (2) watak yang penuh kebencian (dosa caritta), (3) watak yang dungu (moha caritta), (4) watak yang mudah percaya (saddha caritta), (5) watak yang cerdas (budhi caritta), (6) watak yang spekulatif/ melamun (vitakka caritta) (Vism.101).
Penilaian berdasarkan watak, kepribadian atau kebiasaan seseorang yang dominan, dengan memperhatikan antara lain; postur, cara kerja, cara makan dan makanannya, cara melihat sesuatu, keadaan dan kelakuan yang ditunjukkannya (Vism. 104-107).
Golongan watak penuh nafsu (raga caritta), didominasi keinginan inderawi, melekat pada kerapian dan keindahan, untuk menangkal kelemahan watak ini diperlukan hal-hal tidak menyenangkan indera, seperti lingkungan yang tidak rapi, tidak menarik, pakaian dan peralatan sederhana atau kasar, warna biru tua, makanan yang tidak mengandung selera. Sikap latihan terutama berjalan dan berdiri, menghindari duduk dan berbaring (Mukti, 2003:225).
Golongan watak penuh kebencian (dosa caritta), bersifat mudah marah, penangkalnya adalah hal bersih, rapi dan bagus, lingkungan asri, pakaian dari bahan halus, dan peralatan berkualitas, dengan warna hijau tua atau warna-warna lain yang lembut, dan makanan yang mengundang selera, sikap latihan lebih banyak berdiri dan berjalan (Mukti, 2003:225).
Golongan dungu (moha caritta), bersifat lamban, malas, tidak aktif atau suka bingung, penangkalnya lingkungan yang luas, terbuka, dan terang, pakaian dari bahan yang halus, peralatan dengan ukuran besar, dan makanan yang mengundang selera, sikap latihan lebih banyak berdiri dan berjalan (Mukti, 2003:226).
Golongan watak mudah percaya (saddha caritta), bersifat rendah hati, jujur, senang menemui orng-orang suci, untuk latihan mereka memerlukan tempat asri, yang mendorong berkembangnya kemampuan berfikir, pakaian dari bahan halus, peralatan berkualitas, makanan yang mengundang selera. Sikap latihan lebih banyak berdiri dan berjalan (Mukti, 2003:226).
Golongan watak cerdas (buddhi caritta), menekankan pengertian, selalu ingin tahu dan meneliti, cenderung berhati-hati, mudah menyesuaikan diri, untuk golongan ini tidak ada hal khusus (Mukti, 2003:226).
Golongan watak spekulatif/ melamun (vitakka caritta) bersifat mudah gugup, tergesa-gesa, pikirannya berkeliaran, senang berteori, penangkalnya lingkungan yang tidak memberikan rangsangan berfikir, tempat tinggal yang kecil rapi, bersih, cahaya cukup, peralatan terbatas hanya yang penting saja, warna sebaiknya biru tua, sikap latihan berjalan dan berdiri dan menghindari duduk dan berbaring (Mukti, 2003:226).
Subjek meditasi Paling tepat digunakan untuk peserta didik adalah perenungan keluar masuknya napas (anapanasatti bhavana) dengan alasan bahwa, subjek meditasi itu dapat dipergunakan oleh semua peserta didik walau berbeda-beda kepribadiannya, selain itu dalam satu kelas berjumlah lebih dari satu orang, maka pembelajaran subjek meditasi yang digunakan adalah yang dapat dipakai oleh semua peserta didik.
Guru sebelum melatih praktik meditasi, hendaknya mengupayakan peserta didik mengetahui dan mengikis kekotoran batin yang menodai wataknya, dari watak baik menjadi watak buruk sehingga menghalangi keberhasilan dalam praktiknya, kekotoran batin itu adalah; a) serakah (abhijjhāvisamalobha); b) kasar dan kejam (dosa); c) pemarah (kodha); d) mudah tersinggung (upanāha); e) merendahkan sifat mulia dan kebajikan orang lain (makkha), f) sombong (palāsa), g) iri hati (issa); h) kikir (macchariya); i) suka menipu (māyā); j) pembual (sātheya); k) keras kepala (thambha); l) suka mengancam (sārambha); m) sombong (māna); n) menghina (atimāna); o) pemabuk (mada); p) malas (pamāda) (M.i.15-36).
Persyaratan eksternal bagi meditator yang wajib dimiliki adalah tujuh hal pantas (sappaya), yang membantu berhasil melaksanakan meditasinya yaitu; 1) tempat tinggal pantas, misalnya jauh dari keramaian, bebas dari gangguan, memberi kemudahan, 2) wilayah pantas atau yang mendukung, 3) pembicaraan pantas, seperlunya, baik dan berguna, menimbulkan motivasi dan menambah pengertian tentang samadhi, 4) orang-orang yang pantas, yaitu guru yang memberi pentunjuk, teman-teman baik yang dapat diajak bicara mengenai Dhamma, orang yang memberi sokongan sehingga kebutuhannya terpenuhi, 5) makanan yang pantas, bermanfaat sesuai dengan watak praktisi, yang sehat dan melindungi jasmani dari penyakit, 6) iklim yang pantas, tidak terlalu panas atau dingin, yang nyaman sedikitnya selama jangka waktu tertentu, dan udara yang baik, 7) posisi tubuh yang pantas, apakah duduk, berdiri, berjalan atau posisi berbaring. Berdasarkan pengalaman, praktisi dapat menetapkan posisi yang Paling menguntungkan agar mudah memusatkan pikiran dan mempertahankannya (Mukti, 2003: 233-234).
Pembiasaan meditasi sangat penting, Buddha mengibaratkan untuk mendapatkan emas murni harus di cuci dan dilebur berulang-ulang, hasilnya emas murni yang dapat diatur sesuai keinginan. (A.i.253-257).

C. Pembiasaan Terprogram
1. Pabbajjā Sāmanera
Kegiatan Pabbajjā Sāmanera, adalah memperkenalkan kelompok umat Buddha yang dibagi menjadi empat yaitu; a) Bhikkhu dan Sāmanera, b) Bhikkhuni dan Samaneri, c) Upasakha, d) Upasikha. Baik umat sebagai gharavasa (Upasakha dan Upasikha) dan pabbajjita (Bhikkhu, Bhikkhuni, Sāmanera dan Samaneri) secara sadar wajib menyatakan pergi berlindung kepada Tiratana (Tisaranagamana) (Rashid,1997:125).
Berdasarkan kalender pendidikan, peserta didik dapat melakukan latihan Pabbajjā Sāmanera, kegiatan pembelajaran dibagi menjadi dua semester dan setiap selesai melaksanakan ulangan akhir semester maka ada waktu libur, libur semester ganjil dan libur semester genap. Waktu libur semester dapat digunakan untuk Pabbajjā Sāmanera, lebih baik pada libur semester genap, dengan alasan bahwa libur panjang, selain itu juga dapat digunakan waktu bulan ramadhan, bahwa kegiatan pembelajaran pada bulan ini bagi yang beragama Islam, ada kegiatan pesantren kilat dan sebagai bentuk toleransi dan penghormatan kepada umat Islam, maka guru agama Buddha dapat menggunakan waktu ini untuk menyusun program kegiatan Pabbajjā Sāmanera.
Pabbajjā Sāmanera, berarti penahbisan Sāmanera, pengertian secara luas Pabbajjā adalah meninggalkan kehidupan rumah tangga yang bersifat duniawi untuk menjalani hidup selibat sebagai petapa (Gunadi, 2006:8).
Pabbajjā Sāmanera merupakan bentuk latihan (Sikkha), termasuk latihan moral tinggi, samadhi dan kebijaksanaan atau pengetahuan (A.i.231), sikkha adalah proses pelatihan perhatian berkesinambungan bidang mental, karakter, dalam pencapaian praktik, sehingga mencapai kemajuan bertahap (anupubbasikkha anupubbakiriya anupubbapatipada) (M.i.63).
Sikkha memberikan suatu yang benar kepada peserta didik, petunjuk awal yang mulia dalam berbagai lapisan hidup dan pengertian mendalam kedalam usaha, mengajarkan bagaimana cara berbuat benar, hidup sukses, bahagia dan memimpinnya ke arah kemajuan yang menguasai semuanya, sejahtera dan makmur (Kh.134).
Sikkha mengembangkan kepribadian baik dengan perilaku dan pengetahuan sempurna (D.i.124), melalui Pabbajjā Sāmanera yang benar dan rajin berlatih, maka Sikkha (latihan) mengakhiri penderitaan (A.i.231).
Sāmanera setelah menjalani pabbajjā, berkewajiban melaksanakan anagariya vinaya dengan sepuluh pelatihan (dasa-sikhapada) yaitu; 1) menghindari pembunuhan (panatipata veramani); 2) menghindari pencurian (adinnadana veramani); 3) menghindari hubungan kelamin (abrahmacariya veramani); 4) menghindari ucapan tidak benar (musavada veramani); 5) menghindari minuman menyebabkan lemahnya kesadaran (surameraya majjappamadatthana veramani); 6) menghindari makan diwaktu salah (vikalabhojana veramani); 7) menghindari menari, menyanyi, bermain musik dan melihat tontonan (naccagitavadita visukadassana veramani); 8) menghindari memakai karangan bunga, wangi-wangian/ kosmetik bertujuan mempercantik (malagandhavilepana dharana mandana vibhusanatthana veramani); 9) menghindari menggunakan tempat duduk dan tempat tidur mewah dan tinggi (uccasayana mahasayana veramani); 10) menghindari menerima emas dan perak (jataruparajata patiggahana veramani) (Rashid, 1997:146).

2. Uposatha
Peserta didik mendengar kata “puasa”, oleh teman-teman mereka di sekolah, akan berpikir bahwa tidak boleh makan, minum dari pagi sampai petang, puasa dalam bahasa Arab adalah Shaum (Penterjemah, 1992:88). Puasa dalam pandangan agama Buddha disebut “upavāsa” artinya menghindari nafsu duniawi untuk sementara waktu yang dilakukan setiap hari uposatha (Nyana Sīla, 2009:39), puasa bukan suatu kewajiban, tetapi merupakan penghindaran dari perbuatan buruk.
Upavāsa dapat diartikan Uposatha berarti “masuk untuk berdiam” dalam keluhuran. Secara ideal praktiknya yaitu di dalam vihara, atau di kompleks vihara, namun bagi peserta didik yang masih melaksanakan kegiatan pembelajaran dapat melakukannya di sekolah.
Pelaksanaan uposatha, jatuh pada pertengahan bulan penanggalan lunar yaitu tanggal satu, delapan, lima belas dan dua puluh tiga, antara tanggal empat belas atau lima belas. Buddha menyetujui uposatha atas saran Raja Seniya Bimbisara dari Magadha untuk menganjurkan para Bhikkhu berkumpul di Vihara pada hari uposatha, pada kesempatan ini Buddha memberikan khotbah Dhamma, memenuhi keinginan orang-orang yang hadir ke Vihara (Vin.101-102).
Nasehat Buddha kepada Visakha tentang manfaat uposatha yaitu, pembersihan pikiran kotor dengan proses yang benar, seorang siswa ariya, mulia melakukan perenungan Buddha, Dhamma, dan Sangha, sehingga batin mereka menjadi tenang, timbul kegembiraan dan kekotoran batinnya menjadi lenyap. Selain itu melakukan perenungan terhadap kebajikannya sendiri, tidak ternoda, tanpa nafsu dan khayalan, terpuji, mengarah kepada konsentrasi pikiran serta merenungkan kemuliaan para dewa dan kebajikan para Arahat (A.i.206-212).
Peserta didik dapat tinggal di Vihara sehari semalam untuk melaksanakan pelatihan Atthangasila uposatha (masuk untuk berdiam dalam keluhuran dengan delapan unsur), latihan yaitu; 1) menghindari pembunuhan; 2) menghindari pencurian; 3) menghindari hubungan kelamin; 4) menghindari ucapan salah; 5) menghindari konsumsi barang-barang memabukkan menyebabkan lemahnya kesadaran; 6) tidak makan diluar waktunya/ lewat tengah hari; 7) menghindari tari-tarian, nyanyi-nyanyian, musik, tontonan, mengenakan perhiasan, wangi-wangian dan kosmetika; dan 8) tidak menggunakan tempat tidur dan tempat duduk tinggi dan mewah (A.iv.248) diawali dengan mengajukan permohonan tuntunan Atthangasila uposatha kepada Bhikkhu.
Namun situasi dan kondisi peserta didik, dalam proses pembelajaran di sekolah membutuhkan suatu program perencanaan dari pihak sekolah untuk menyesuaikannya, peserta didik yang telah memohon tuntunan Atthangasila uposatha kepada Bhikkhu pada pagi hari, dapat terus di Vihara untuk belajar Dhamma, pada hari efektif dapat pergi ke sekolah dan setelah jam sekolah selesai, melanjutkannya untuk berlatih di Vihara. Jenis kegiatan uposatha di vihara dapat melakukan puja bhakti, meditasi, diskusi Dhamma atau mendengarkan Dhammadesana, selain itu dapat membersihkan altar, halaman atau perpustakaan.
Kegiatan para Bhikkhu lain dengan peserta didik berlatih uposatha, kegiatan anggota Sangha pada hari uposatha, adalah membaca Patimokkha, yaitu aturan pokok ke-Bhikkhuan (Vin.i.102).
Pembahasan atau pembabaran Dhamma dilakukan setiap uposatha tetapi pembacaan patimokha dilakukan setiap setengah bulan sekali pada hari keempat belas atau kelima belas (Vin.i.104). Latihan itu berhubungan dengan pengembangan sīla, samadhi dan kebijaksanaan luhur (A.i.231), para Bhikkhu berlatih lebih ketat dan berusaha untuk tidak berbaring, melainkan melakukan meditasi dengan posisi duduk, berdiri atau berjalan (cankamana) sepanjang malam.
Buddha menyatakan, pada hari ke 8 paruh bulan, para pembantu empat raja Dewa (catumaharajikkha) mengelilingi dunia untuk melihat apakah orang-orang menghormati orang tuanya, menghormati para petapa, brahmana dan pemimpinnya, melaksanakan puasa, waspada dan berbuat baik, di hari ke 14 anak-anak dewa penjaga alam semesta melakukan hal yang sama dan pada hari ke 15 yaitu saat uposatha Empat Dewa Raja sendiri melakukan pengamatan ke seluruh dunia, kemudian melaporkan temuannya pada persidangan tiga 33 Dewa Tavatimsa (A.i.142).
Makna uposatha adalah menilai dan mengkoreksi diri sendiri menjadikan kebiasaan, mampu menahan diri, menghindari hal-hal tidak baik dan menekan atau memadamkan apa yang buruk (D.iii.270).
Pembiasaan melakukan uposatha dan melaksanakan atthangasīla dalam program pembiasaan adalah belajar jujur menginstropeksi kesalahan yang pernah diperbuat, belajar melakukan kebajikan dan menghindari perbuatan buruk baik melalui pikiran, ucapan dan perbuatan jasmani. Manfaat melaksanakan uposatha adalah akan terlahir di surga sesuai tingkatan pemahaman dan pelaksanaannya (A.iv.252).

D. Pembiasaan Teladan
Pembiasaan teladan adalah peserta didik dibiasakan menjadi kawan sejati (kalyanamitta) dan menghindari kawan jahat (akalyanamittha) (A.i.125), sehingga peserta didik benar-benar menjadi manusia yang memiliki sīla yang terdiri dari aspek negatif (varita sīla) dan aspek positif (Caritta sīla) (Rashid, 1997:29).
Menunjukkan sikap dan perilaku keteladanan, dalam bentuk: (1) murah hati dan tidak mementingkan diri sendiri, (2) menjaga dan melaksanakan kesenangan pribadi demi kesejahteraan temannya, (3) siap mengorbankan kesenangan pribadi demi kesejahteraan temannya, (4) jujur dan menjaga persatuan, (5) baik hati dan lemah lembut, (6) memberikan contoh hidup sederhana kepada temannya, (7) membebaskan pikiran dari segala bentuk kebencian, (8) melatih diri menghindari kekerasan, (9) melaksanakan kesabaran, (10) menghargai saran dan pendapat orang lain demi menciptakan suasana damai dan harmonis (Ja.v.378).
Peserta didik memiliki sifat keteladanan akan harumnya nama, sebab orang baik dapat menyebar ke segenap penjuru (Dh.54), peserta didik akan menjadi sahabat sejati, tidak akan pernah meninggalkan teman saat dalam kesulitan (A.vii:35), jika menemukan sahabat seperti itu maka menemukan sahabat yang baik, jagalah persahabatan itu (M.iii.154).
Peserta didik harus mengetahui ciri-ciri sahabat baik dan ciri-ciri sahabat palsu, ciri-ciri sahabat palsu adalah; 1) tamak, 2) banyak bicara namun tidak berbuat, 3) penjilat, 4) pemboros (D.iii.186), dan ciri-ciri sahabat sejati adalah; 1) penolong, 2) sahabat diwaktu senang dan susah, 3) sahabat yang memberikan nasehat baik, 4) sahabat yang simpati (D.iii.187).

BAB IV
ANALISIS PERENCANAAN PROGRAM PEMBIASAAN
A. Analisis Pembiasaan Spontan
1. Anjali
Pembiasaan anjali mulai kelas satu sebagai awal program pembiasaan dapat dilaksanakan dengan tujuan melatih keterampilan psikomotorik peserta didik, mengenalkan alat-alat tubuh yaitu sikap anjali memperagakan dua telapak tangan (psikomotor), membentuk kuncup bunga teratai membantu mengerti dalam bidang keindahan (estetika), sikap anjali menjadi biasa selain memberikan penghormatan juga melatih bidang seni, ilmu pengetahuan dan kemoralan (sīla) ini dapat dilaksanakan oleh peserta didik mulai kelas satu.
Para ahli psikologi menggunakan sejumlah sebutan berbeda untuk menguraikan ciri-ciri yang menonjol dari perkembangan psikologi anak selama tahun awal kanak-kanak, masa ini mempelajari dasar-dasar perilaku sosial sebagai persiapan dalam kehidupan sosial lebih tinggi yang diperlukan untuk penyesuaian diri pada waktu mereka di kelas satu. Perkembangan diawal kanak-kanak seputar penguasaan dan pengendalian lingkungan (Hurlock, 1980:108).
Pembiasan sikap anjali, melatih penguasan dan pengendalian diri, jika dilakukan dengan benar, terampil dan terbiasa melakukan anjali, menunjukkan sifat kepribadiannya yang baik sehingga akan dicintai dan dihargai oleh siapa saja atas sikap positif yang ditunjukkannya.

Gambar. 1 Anjali
Anjali dengan cara benar yaitu merangkapkan dua telapak tangan membentuk kuncup bunga teratai seperti dalam gambar 1 cara ber-anjali dengan posisi tangannya dirapatkan di ujung dagu, kepada yang lebih tua di ujung hidung, dan untuk menghormat kepada guru atau Bhikkhu, tangan dirapatkan ditengkuk hidung, serta penghormatan kepada Tiratana diletakkan di kening mata, hal ini akan melatih peserta didik memberikan hormat juga mengenal fungsi-fungsi organ tubuhnya seperti kedua telapak tangan dikuncupkan didepan dada atau di dagu atau didepan kening antara dua alis matanya, sehingga dapat membedakan perilaku positif dan negatif dari sikap yang ditunjukkannya.

2. Namaskhara
Namaskhara yaitu sujud dengan lima titik tumpu menyentuh lantai (pacangapatita) yaitu satu dahi, dua telapak tangan merapat menyentuh lantai, kedua siku dan lutut, serta kedua ujung telapak kaki. Awal masa kanak-kanak adalah masa ideal mempelajari ketrampilan.
Ada tiga alasan yaitu pertama anak senang mengulang-ulang maka dengan senang hati mau mengulang aktivitas sampai mereka terampil melakukannya. Kedua anak-anak bersifat pemberani sehingga tidak terhambat oleh rasa takut kalau dirinya mengalami sakit atau diejek teman-temannya sebagaimana ditakuti anak yang lebih besar dan ketiga, anak belia mudah dan cepat belajar karena tubuh mereka masih sangat lentur dan ketrampilan yang dimiliki baru sedikit sehingga ketrampilan yang bari dikuasai tidak mengganggu ketrampilan yang sudah ada (Hurlock, 1980:111).
a. Ketrampilan-keterampilan dalam namaskhara
1. Keterampilan tangan dan siku, mampu menggunakan ketrampilan kedua tangannya secara benar dan seimbang yaitu kedua tangannya digunakan secara bersama-sama.
2. Ketrampilan kaki, Namaskhara menggunakan keterampilan kedua kaki dalam posisi bersimpuh, dilipat sejajar, dari kedua lutut sampai kedua ujung ibu jari kaki menyentuh lantai.
3. Ketrampilan dahi, pelajaran tentang mengenal dahi diperlukan untuk pembiasaan namaskhara, selain itu peserta didik juga melatih keterampilan keseimbangan tubuh, untuk melakukan namaskhara dengan benar harus memenuhi prosedur persyaratan yaitu sujud dengan lima titik tumpu.
Guru untuk melatih konsentrasi meminta peserta didik menyebut dahi, kemudian guru meminta peserta didik memegang dahi, menyebut telapak tangan guru meminta memegang telapak tangan, menyebut siku dan meminta untuk menyentuh siku, menyebut lutut diminta memegang lutut. Kemudian guru memberi contoh cara sujud yang benar.
Secara visual melihat, mendengar dan mempraktekkan cara namaskhara sesuai prosedur benar sehingga menghasilkan pengetahuan maksimal bagi peserta didik.





















Gambar 2 Namaskhara
Gambar 2 menjelaskan cara namaskhara yang benar dengan
lima titik tumpu menyentuh lantai yaitu untuk pria sikap bersimpuh yang benar adalah tumit digunakan untuk penyangga pinggul dan untuk perempuan kaki lurus bersimpuh, kemudian dengan sikap anjali didepan dada (gambar 1), kemudian dengan sikap anjali diangkat ke kening (gambar 2) lalu dilanjutkan menunduk tetap dengan sikap anjali (gambar 3), setelah menyentuh lantai yaitu kening, dua lengan dan dua kaki (gambar 4) namaskhara selesai dilaksanakan dengan cara benar yaitu lima titik menyentuh lantai (pacangapatitha).
b. Jenis namaskhara menurut mazab
Guru dalam melakukan perencanaan program pembiasaan namaskhara hendaknya mengetahui jenis mazab buddhisme daerah tempat tinggal peserta didik, perbedaan cara namaskhara masing-masing mazab menyebabkan peserta didik tidak dapat melakukan dengan senang sebab sesuatu yang asing menyebabkan kurang senang jika tidak sesuai mazabnya, jenis namaskhara menurut mazab-mazab buddhis diantaranya cara namaskhara Theravada yaitu posisi tubuh duduk simpuh tangan beranjali, kemudian sujud dengan lima titik tumpu menyentuh lantai kemudian ke posisi semula dan di ulang tiga kali, setiap sujud mengucapkan; sujud pertama “Nammo Buddhaya”, sujud ke dua “Nammo Dhammaya” dan sujud ke tiga “Nammo Sanghaya”.
Ciri-ciri namaskhara dalam agama Buddha adalah adanya pengulangan sebanyak tiga kali. Pengulangan ini bertujuan untuk meyakinkan pelaku sebagai bentuk penghormatan dan meyakinkan penerima, bahwa si pelaku benar-benar menyatakan hormat atau sujud kepadanya.

B. Analisis Pembiasaan Rutin
1. Pembacaan Paritta
Meluasnya cakrawala sosial anak-anak membuat peserta didik menemukan bahwa berbicara adalah sarana penting untuk memperoleh tempat didalam kelompok. Hal ini membuat dorongan kuat untuk berbicara lebih baik.
Membacakan paritta bertujuan agar terhindar dari kesulitan dan melakukan kejahatan, selain itu juga melatih peserta didik dalam keterampilan berbicara, membaca dan mendengar yang merupakan dasar dari pembelajaran.
Jenis doa menggunakan bahasa Indonesia yang dimengerti bagi peserta didik. Pembacaan doa yang menggunakan paritta harus diikuti pembacaan terjemahannya sehingga dalam pembacaan doa bukan hanya kegiatan rutinitas namun peserta didik mengerti akan makna dari doa yang dibacakan dan untuk menghindari hanya hafalan tanpa mengerti makna dan arti doa. Rata-rata anak kelas satu mengetahui sekitar 20.000 sampai dengan 24.000 kata-kata atau 5 sampai 6 persen dari kata-kata dalam kamus standart (Hurlock, 1980 :152)
Pengucapan kata “Budham Saranam Gaccami” akan lebih sempurna ketika anak memasuki kelas satu sekolah dasar daripada anak masih dalam prasekolah. Anak yang lebih besar tidak hanya belajar banyak kata baru, tetapi juga mempelajari arti baru dari kata-kata lama. Hal ini selanjutnya memperbanyak kosa kata. Umumnya anak yang berasal dari keluarga yang berpendidikan baik peningkatan kosa katanya lebih banyak daripada anak yang berasal dari keluarga yang orang tuanya berpendidikan tidak tinggi.
Budham Saranam Gaccami artinya “aku pergi berlindung kepada Buddha”, makna doa akan berarti jika mengetahui arti yang dapat dipahami batinnya, pada usia empat tahun, struktur otak bagian bawah berkembang sebanyak 80%, dan kecerdasan yang lebih tinggi mulai berkembang, sistem emosional berkembang melalui bermain, meniru dan pembacaan cerita (Bobbi, 2003: 33).
Peserta didik akan jelas akan makna pergi berlindung, karena kata “aku” menujuk ke pribadinya sebagai subjek, dan “pergi berlindung” menunjukkan kata kerja dan “Buddha” sebagai objek yang memberikan perlindungan. Pernyataan pergi berlindung kepada Buddha, berarti telah melaksanakan Dharma atau ajaran kebenaran “Peganglah teguh Dharma, sebagai pelita, peganglah teguh Dharma sebagai perlindunganmu” (D.ii.100).
Mengetahui arti secara benar akan mengundang pertanyaannya mengapa harus pergi, kemana akan dituju, dan kepada siapa yang memberikan perlindungan, maka jelas bahwa dengan menyertakan arti secara benar akan mengundang peserta didik mendapat pengetahuan, nilai dan keterampilan baru atas terjawabnya pertanyaan-pertanyaannya tersebut.
Disamping mempelajari kata-kata baru dalam kosa kata umum, anak menambah “kosa kata khusus” kosa kata yang terdiri dari kata-kata dengan arti khusus dan penggunaan yang terbatas. Anak laki-laki mempunyai lebih banyak kata-kata populer yang kasar dan kata-kata makian karena kata-kata tersebut dianggap sebagai pertanda kejantanan, sedangkan anak perempuan lebih banyak mempunyai kosa kata rahasia.
Perkembangan psikologi peserta didik kelas I perlu diperhatikan, sehingga berkembang kearah yang benar “Sepatah kata yang bermanfaat, yang membuat seseorang mejadi tenang setelah mendengarnya, adalah lebih baik daripada seribu kata yang tak bermanfaat”(Dh.100).
Anak-anak, rata-rata, menerima 460 komentar negatif atau kritik dan 75 komentar positif atau dukungan setiap hari (Bobbi, 2003:25), maka dalam berbicara dengan peserta didik harus sangat hati-hati dan tidak menimbulkan perasaan kehilangan kepercayaan diri. Kesalahan dalam berbicara dibetulkan langsung dengan kata yang benar bukan menghardik, menghina atau marah atas kesalahan-kesalahan peserta didik.
Guru berkewajiban menjaga murid-muridnya dalam segala hal sehingga memiliki perilaku terpuji sekaligus terjaga keselamatannya, demikian guru pantas membicarakan kebaikan muridnya kepada orang lain sehingga peserta didik dapat menghormati gurunya, melayani, bertekad keras untuk belajar, menaruh perhatian sewaktu menerima pelajaran dari guru dan memberi persembahan jasa kepada guru (D.iii.189).
Kesalahan dalam pengucapan kata-kata lebih sedikit pada usia ini daripada sebelumnya sebuah kata baru mungkin ketika pertama kali digunakan diucapkan dengan tidak tepat, tetapi setelah beberapa kali mendengar pengucapan yang benar, anak sudah mampu mengucapkannya secara benar, namun tidak demikian halnya pada anak dari kelompok sosial yang lebih rendah yang dirumah lebih banyak mendengar kata-kata salah ucap daripada anak dari lingkungan rumah yang lebih baik, apalagi anak dari lingkungan rumah yang berbahasa dua misalnya bahasa Indonesia dan bahasa Jawa atau bahasa lainnya. Anak usia enam tahun harus sudah menguasai hampir semua jenis struktur kalimat. Dari 6-9 atau 10 tahun, panjang kalimat akan bertambah. Kalimat panjang biasanya tidak teratur dan terpotong-potong berangsur-angsur setelah usia sembilan tahun setelah anak mulai menggunakan kalimat yang lebih singkat dan lebih padat.
Banyak peningkatan dalam isi pembicaraan dan dalam cara mengungkapkan apa yang ingin dikatakan, tidak sepenuhnya bergantung pada kecerdasan, tetapi juga pada tingkat sosialisasi. Anak yang populer mempunyai keinginan yang kuat untuk memperbaiki mutu pembicaraan.
Syarat pembicaraan benar adalah tidak menyaikiti makhluk lain, membawa kemajuan batin “mengucapkan kata-kata membawa kepada pencapaian rasa aman, kepada akhir penderitaan dan pencapaian nibbana, sungguh ucapan yang utama ” (Sn. 454).
Pembacaan doa dan paritta yang disertai arti dalam bahasa Indonesia anak akan berlatih berbicara yang benar, pemusatan pikiran pada obyek yang benar. Pembacaan doa dan paritta membantu peserta didik dalam ketenangan setelah peserta didik menunjukkan kreatifitasnya dalam berbagai bentuk.
Berjalannya periode akhir masa kanak-kanak, banyaknya bicara makin lama makin berkurang ketika anak masuk sekolah masih sering melakukan obrolan tanpa arti banyak dilakukan pada tahun-tahun prasekolah, namun anak segera mengetahui bahwa tidak diperbolehkan anak yang boleh berbicara kalau diijinkan guru (Harlock, 153-154)

2. Samadhi
Suara gaduh di ruang kelas sering membuat proses pembelajaran menjadi terganggu sehingga guru jengkel, dan gangguan ini apabila tidak diantisipasi oleh guru dengan cara yang benar niscaya proses pembelajaran tidak akan berhasil. Maka harus mengatur kelas menjadi tertib, dan proses pembelajaran dapat berlangsung dengan baik, hal ini membutuhkan keahlian, dan meditasi adalah upaya meningkatkan konsentrasi peserta didik.
Guru agama Buddha dapat menggunakan meditasi sebagai media pembiasan siswa menjadi tertib, cara duduk, cara berjalan, cara berdiri baik di luar kelas atau di dalam kelas sehingga peserta didik menjadi anak santun, tertib dan dipuji sebagai anak yang baik. Meditasi dapat dilaksanakan untuk kelas satu dengan posisi:

a. Posisi meditasi duduk
Duduk dengan kaki bersila, kaki kanan diatas paha kiri atau sebaliknya (semi padmasambhava), kaki kanan diatas paha kiri dan kaki kiri diatas paha kanan (padmasambhava), kedudukan badan tegak lurus, tidak kaku dan tidak bersandar pada kursi atau dinding.






a b




c d




e f

Gambar 3 Posisi Padmasambhava dan Semi Padmasambhava

Hidung dan pusar terletak pada satu garis lurus terhadap lantai, kedua tangan diletakkan dengan santai diatas pangkuan, tangan kanan diatas tangan kiri dengan jempol tangan saling menyentuh. Lidah menyentuh ke langit-langit dengan lembut dan bibir tertutup rapat kemudian mata dipejamkan dengan sedikit terbuka memandanng ujung hidung dan jarak beberapa meter kedepan, menggunakan pakaian bersih dan longgar (Mukti, 2003:234).


Gambar 4. Posisi meditasi duduk

Posisi meditasi duduk adalah melatih ketertiban duduk di ruang kelas. Gambar 4 menunjukkan cara benar dalam meditasi duduk, posisi punggung tegak dengan kepala tegak dan mata memandang ujung hidung adalah cara benar. Sedangkan punggung membungkuk dengan kepala melihat kebawah dengan mata terpejam adalah cara yang salah, hal ini menyebabkan kantuk. Badan tegak lurus tidak miring ke kiri atau ke kanan, karena posisi miring ke kiri atau ke kanan menyebabkan pegal dan menyulitkan dalam melatih konsentrasi, atau kepala menunduk kebawah, kepala mendongak keatas atau badan membungkuk ke depan.
b. Posisi meditasi berdiri
Posisi meditasi berdiri dapat dilaksanakan peserta didik kelas I, kebiasaan berlarian kesana-kemari tanpa kehati-hatian adalah salah satu penyebab terjadinya kecelakaan pada anak-anak. Melatih anak dapat tertib berdiri sangat dianjurkan. Meditasi dengan posisi berdiri yaitu dengan menempatkan kakinya sedikit renggang kedua tangan di depan tubuh, tangan kanan memegang tangan kiri keseimbangan tubuh peserta didik tetap dijaga supaya batin tenang.















(A) (B) (C) (D)

Gambar 5. Posisi meditasi Berdiri


Pada gambar 5, Posisi berdiri dapat dilaksanakan yaitu tangan dilipat dimuka dengan tangan kanan memegang tangan kiri atau tangan kiri memegang tangan kanan (gambar 5A), tangan dilipat bersedekap (gambar 5B), tangan dilipat dimuka dengan tangan kanan atau tangan kiri saling memegang (gambar 5C), dan tangan dilipat dan saling berpegangan di belakang (gambar 5D).


c. Posisi meditasi berjalan (cankamana)
Cara pelaksanaan posisi meditasi berjalan (cankamana), berjalan secara perlahan-lahan, agar dapat mengembangkan perhatian kesadaran (sati), dan terdapat beberapa cara berjalan yang dapat dipilih yaitu; 1) berjalan dengan menghitung langkah kaki; 2) berjalan dengan menyadadari langkah maju, langkah mundur, langkah ke samping kiri, langkah ke kanan, menyadari kaki kanan sewaktu kaki kanan melangkah, kaki kiri sewaktu kaki kiri melangkah, gerakan setiap tangan disadari; 3) berjalan dengan menggunakan objek meditasi gambaran tubuh, seolah-olah melihat tubuhnya sendiri, da nmengamati seluruh kegiatan atau gerakan tubuh.
Cankamana sebagai metode meditasi adalah melatih keseimbangan tubuh, melatih kerja otak kiri dan kerja otak kanan, mengenal bilangan, melatih konsentrasi.
Perkembangan fisik ditingkatkan untuk melatih keseimbangan tubuh memerlukan suatu pembiasaan, keterampilan yang dipelajari bergantung sebagian pada kesiapan kematangan terutama kesempatan yang diberikan mempelajari dan bimbingan diperoleh dalam menguasai keterampilan (Hurlock,1980:110),


Gambar 6. Posisi meditasi jalan

Cankamana, pada gambar 6. dijelaskan posisi meditasi jalan dengn posisi tangan dapat dipilih, dilipat dibelakang (6-1), tangan dilipat dimuka (6-2) atau tangan dilipat di dada/bersedekap (6-3), kemudian peserta didik dilatih melangkah maju sejarak satu telapak kaki namun tidak boleh terlalu jauh mengakibatkan tidak dapat melangkah secara mantap. Langkah kaki juga perlu diperhatikan untuk memperoleh hasil baik dalam meditasi yaitu proses menurunkan telapak kaki seluruhnya adalah proses yang benar, namun jika tumit yang diturunkan atau ujung jari kaki yang diturunkan tidaklah tepat sebab akan mengurangi keseimbangan, konsentrasi pada kaki buyar atau dapat menyebabkan terjadinya goyangan tubuh akibat keseimbangan tubuh terganggu.


Gambar 7. Tiga tahap melangkah
Ada tiga tahap proses mengangkat kaki gambar 7, di awali dari berdiri dan menginjak, mengangkat kaki, dan meletakkan telapak kaki, semua harus disadari, diperhatikan namun tidak mengatur atau memerintahkan jenis langkah, hanya mengikuti melalui cara-cara benar seperti tersebut diatas.

Gambar 8. Empat tahap melangkah
Perlu diperhatikan selain tiga tahap, ada empat tahap proses berjalan seperti gambar 8, di awali dari berdiri, mengangkat kaki, melangkah maju dan meletakkan telapak kaki. Pikiran yang keluar dari perhatian pada langkah kaki dapat dihindari dengan cara pada saat mulai berdiri menghitung 1, saat mengangkat di hitung 2, saat melangkah maju dihitung 3, saat kaki diletakkan dihitung 4 demikian seterusnya berurutan kaki kanan atau kaki kiri yang pertama mulai dapat dilakukan. Sampai hitungan ke sepuluh diulang kembali ke angka satu.
Disini bukan untuk menghitung jumlah langkah namun hanya untuk mengkonsentrasikan proses melangkah, jika pada suatu hitungan keliru atau lupa wajib mengulang dari hitungan awal satu lagi. Jika menggunakan hitungan merasa susah dapat menggunakan cara lain yaitu menyebutkan nama Buddha, saat kaki kiri atau kanan diangkat mengucap “bud” saat kaki diturunkan mengucapkan “dha”, demikian seterusnya kaki kiri- kaki kanan atau juga dengan mengucapkan saat melangkah dengan kaki “kiri” diucapkan kiri saat kaki kanan yang melangkah mengucapkan “kanan”.





(A) (B)








(C) (D)
Gambar 9. Cara melangkah yang benar

Pada gambar 9. dijelaskan cara melangkah yang benar dan salah, gambar langkah yang diangkat secara alami (gambar 9A) adalah benar, kaki melangkah seperti saat jalan biasa dan ini adalah cara yang benar, namun kaki diangkat terlalu tinggi seperti baris-berbaris (gambar 9B) menyebabkan cepat lelah, merupakan cara salah.
Cara melangkah jarak satu telapak kaki (gambar 9C) dapat digunakan, saat kaki kanan melangkah dilanjutkan kaki kiri dan dijejakkan di depan jari-jari kaki dengan merapat, hindari melangkah dengan jarak terlalu jauh (gambar 9D) mengakibatkan langkah tidak mantap dan ini adalah cara melangkah yang salah dalam latihan meditasi posisi jalan.

C. Analisis Pembiasaan Terprogram
1. Pabbajjā Sāmanera
Kalender pendidikan menentukan hari efektive dan liburan baik libur semester gasal maupun liburan semester genap serta kegiatan menjelang perayaan hari besar agama. Perencanaan Pabbajjā Sāmanera, dapat dilaksanakan pada libur semester genap setelah kenaikan kelas. Hal ini dilaksanakan dengan alasan bahwa liburan ini panjang dan dapat menggunakan waktu libur untuk kegiatan positif.
Pabbajjā Sāmanera, berarti penahbisan Sāmanera, yaitu meninggalkan kehidupan rumah tangga untuk menjalani hidup selibat sebagai petapa. Kegiatan Pabbajjā Sāmanera melatih siswa mengenal struktur pilihan hidup umat Buddha, yang dibagi menjadi dua yaitu umat Buddha sebagai garavasa (umat perumah tangga) dan pabbajita (rohaniawan) sehingga dapat mengenal secara langsung praktik-praktik kehidupan di luar keduniawian.
Jenis kegiatan ini dapat dilaksanakan bersama satuan pendidikan lain dengan kelompok kerja guru sebagai penyelenggara kegiatan, setelah mengadakan ikatan kerjasama bersama Sangha.
Sekte atau majelis yang digunakan sebagai dasar pelaksanaan latihan Pabbajjā Sāmanera, bisa berganti tiap tahun tergantung kesepakatan antara kelompok kerja guru (KKG), Sangha dan pihak sekolah. Kelompok kerja guru (KKG) juga dapat bekerjasama dengan vihara, sekolah tinggi agama Buddha (PTAB).
Perencanaan Pabbajjā Sāmanera, dimasukkan dalam anggaran pendapatan dan belanja sekolah (APBS) sehingga biaya yang ditimbulkan dari kegiatan ini ditanggung dalam anggaran biaya operasional sekolah (BOS). Kelompok kerja guru dapat menggalang sponsor dari dinas pendidikan, dunia usaha atau simpatisan pendidikan agama Buddha.
Perencanaan Pabbajjā Sāmanera perlu dirancang secara sistematis mengingat usia peserta didik kelas I, maka cara penyusunan dapat bekerjasama dengan sekolah tinggi agama Buddha sebagai penyusun jenis kegiatan, kelompok kerja guru sebagai panitia penyelenggara, dan guru agama Buddha sebagai pembimbing peserta didik dari satuan pendidikan.
Hal-hal yang mempengaruhi keberhasilan kegiatan Pabbajjā Sāmanera di kelas I adalah memasukan jenis kegiatan sesuai untuk peserta didik yaitu:
a) Melatih disiplin
Kebiasaan makan secara salah pada anak-anak dapat dihilangkan dengan pembiasaan cara makan yang benar, yaitu menunjukkan bahwa makan diawali dari mencuci tangan sampai bersih dan diberi tahu alasannya tentang menjaga kebersihan. Cara duduk waktu makan, bahwa sikap-sikap tercela seperti duduk ‘jegang’ (bahasa jawa) satu kaki diangkat dan satunya bersila, bagi orang jawa tidak sopan, mengambil makanan dengan tangan kiri menunjukkan sikap ceroboh, makan di depan pintu, dan lain-lain. Latihan Pabbajjā menunjukkan cara makan yang benar mulai dari awal dengan doa makan, cara makan dengan memandang makanan dalam mangkuknya tidak boleh melirik kesana-kemari, sikap sehabis makan. Perilaku ini akan melatih siswa bahwa cara makan yang benar dapat dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari.
Memakai jubah dengan benar memerlukan pelatihan, demikian juga cara berpakaian, memerlukan pembiasaan untuk mendapatkan kerapian. Displin memakai jubah dengan benar adalah salah satu pembiasaan, demikian juga memakai baju dengan baik dan benar merupakan wujud kedisiplinan. Bagaimana peserta didik mengambil pakaian, memakai, dan menyimpan seragam jika sepulang sekolah. Kebiasaan memakai pakaian dengan benar akan membantu orang tua sehingga kesulitan orang tua akan dikurangi.
Puja bhakti merupakan wujud bhakti kepada Tiratana, selain itu untuk melatih menyatakan tekad, merenungkan kesalahan yang telah dilakukan dan tekad untuk menciptakan perbuatan positif bagi kemajuan mental peserta didik. Melatih melakukan puja bhakti memerlukan kesabaran, guru membangun motivasi melakukan puja bhakti. Secara riil menunjukkan manfaat puja bhakti dan kerugian tidak melakukan puja bhakti.

b) Melatih mandiri
Mandiri dalam makan, adalah salah satu pelatihan dalam Pabbajjā, salah satu usaha membiasakan peserta didik tidak manja, banyak anak kelas satu saat makan masih minta disuapi oleh orang tuanya. Kemandirian dalam makan mengurangi ketergantungan anak kepada pihak lain. Anak tidak bingung jika saat lapar dan anggota keluarga tidak ada di rumah, dapat mengambil makan sendiri, dapat mencari letak piring, mengembalikan pada tempatnya.
Mandiri mencuci jubah, juga salah satu cara melatih kemandirian. Pada latihan Pabbajjā, mereka mencuci sendiri, bukan pelayan atau orang tua yang mencuci jubah. Manfaat langsung adalah peserta didik memiliki pengalaman untuk dapat mencuci pakaian sendiri, setidaknya menghargai orang tua atau pembantu yang telah mencuci pakaiannya sehingga dapat menikmati pakaian bersih, rapi dan kelihatan rupawan dipandang mata.
Peserta didik akan tahu betapa besar kasih sayang orang tua, dengan sulitnya mencuci, rasa pedih terkena deterjen, kelelahan menimba air dari sumur, dan kesulitan mencari panas matahari akan menimbulkan rasa haru, hormat dan kasihan akan penderitaan yang dialami oleh orang-orang yang mencintainya.
Mandiri dalam menjaga kebersihan, baik di vihara, sekolah dan rumah sendiri memerlukan pelatihan pembiasaan. Mandiri dalam membersihkan halaman, atau setidaknya kamarnya sendiri memerlukan nasehat atau perintah dari orang tua atau anggota keluarga secara berulang-ulang, jadwal piket di sekolah mewajibkan yang mendapat jadwal piket mengerjakan dan yang tidak akan kena sanksi, di vihara para Bhikkhu atau Sāmanera senior menyapu halaman atau membersihkan altar akan melatihnya untuk menghargai manfaat langsung menjaga kebersihan.

2. Uposatha
Uposatha merupakan bentuk puasa umat Buddha, pelaksanaannya direncanakan sesuai penangggalan bulan (lunar) Buddhis. Pada hari efektive guru membimbing dan mengatur pelaksanaan kegiatan ini, namun untuk masa liburan pada jadwal kegiatan uposatha guru bekerjasama dengan pembina sekolah minggu buddhis atau pengurus vihara setempat dan atau wali murid sehingga kegiatan uposatha dapat dilaksanakan. Jenis kegiatan ini untuk peserta didik sesuai jenjang perkembangan kejiwaannya adalah:

a) Pengendalian diri dari pembunuhan
Peserta didik dibiasakan tidak menyiksa, atau membuat mainan atau membunuh binatang seperti serangga, hewan peliharaan, ternak di sekitar tempat tinggalnya.
b) Pengendalian diri dari mencuri
Peserta didik dibiasakan menghindari mencontek, mengambil barang-barang bukan miliknya atau barang yang tidak diberikan, jajan dan tidak membayar, atau menyembunyikan untuk dimiliki buku atau alat tulis atau mainan milik temannya di sekolah.
c) Pengendalian diri dari tindak asusila
Peserta didik dibiasakan membuang air kecil atau buang air besar di WC dengan pintu tertutup, tidak mengintip teman yang sedang mandi atau pipis, atau mencolek/ memegang payudara, pinggul teman secara sadar dan tidak sopan atau mengejek teman dengan mengatakan si A pacar si B.
d) Pengendalian diri dari ucapan tidak benar
Peserta didik dibiasakan bicara jujur, ramai di dalam kelas waktu pembelajaran berlangsung, bicara sendiri waktu guru menerangkan materi pelajaran, berteriak-teriak di dalam ruang kelas, menghina teman dengan kata-kata kasar.
e) Pengendalian diri dari makan/ minum yang melemahkan kesadaran
Peserta didik dibiasakan mencoba merokok, atau jika ada orang dewasa yang minum minuman keras dan diberi mau meminumnya.
f) Pengendalian diri dari makan pada waktu yang salah
Peserta didik dibiasakan makan pada tempat makan yaitu di meja makan atau amben, menghindari makan di depan pintu, di halaman atau makan sambil berjalan. Waktu makan perlu diperhatikan seperti sarapan pagi sebelum berangkat sekolah dan tidak lupa akan makan hanya bermain sehingga merepotkan orang tua.
g) Pengendalian diri tidak menari, menyanyi, bermain alat musik, melihat pertunjukkan
Kesalahan peserta didik dalam pembelajaran adalah mengatur waktu bermain dan waktu belajar. Latihan Pabbajjā memungkinkan belajar mengatur waktu dengan tepat dengan pelarangan menari, menyanyi, bermain musik dan melihat pertunjukkan.
Dalam kehidupan sehari-hari, karena hobby menyaksikan film kartun kesayangan atau sinetron dengan bintang pujaan lupa mengatur waktu belajar. Guru dalam pelatihan ini mengatur jadwal belajar, bermain dan lainnya bekerjasama dengan orang tua peserta didik, kemudian diadakan pengawasan pelaksanaannya.
h) Pengendalian diri duduk atau tidur di tempat yang mewah dan tinggi
Sopan santun dalam duduk dan tidur adalah yang ditekankan dalam latihan pengendalian diri duduk dan tidur di tempat tinggi dan mewah.

Pabbajjā melatih kesederhanaan dalam kehidupan sehari-hari. Menguraikan tempat tinggi dan mewah bagi anak kelas, tidak sama dengan orang dewasa mengingat lingkungan tempat berinteraksi. Saat pembelajaran duduk dimeja, membuat gaduh dengan memukul meja dan kursi adalah pelanggaran. Berlarian diatas meja dan kursi di kelas adalah pelanggaran. Duduk di kursi ruang tamu kantor guru tanpa di panggil guru pada waktu istirahat sekolah adalah pelanggaran. Perilaku tidak etis dalam kehidupan sehari-hari merupakan wujud pelanggaran, dan guru menunjukkan cara-cara sopan dalam bertingkah laku di sekolah, rumah dan di masyarakat.

D. Analisis Pembiasaan Teladan
Guru dalam perencanaan program pembiasaan keteladanan adalah pada setiap kelas dicatat peserta didik yang memiliki prestasi, sehingga dapat menjadi contoh bagi rekan-rekannya bagi yang memiliki bakat seni dapat belajar kepada teman yang berprestasi seni, atau bakat-bakat lain yang dimiliki peserta didik dapat diketahui lewat bimbingan latihan dengan sahabat yang berprestasi.
Guru juga mencatat perilaku peserta didik yang negative sehingga dapat mengantisipasi jika ada peserta didik terpengaruh melakukan perbuatan buruk dan membimbingnya melakukan kebajikan-kebajikan sesuai tujuan pendidikan agama Buddha. Empat macam orang-orang ini, bukanlah sahabat sejati, jangan bergaul dengan mereka yang memiliki ciri-ciri;
1. Mereka mengajak berbuat dengan tujuan menipu karena; 1) hanya memikirkan keuntungan akan persahabatannya itu, 2) hanya memberi sedikit, dan memikirkan keuntungan dari pemberiannya itu, 3) apabila dalam bahaya maka akan melakukan hal-hal tertentu bagi sahabatnya sehingga memperkokoh persahabatannya dan mendapat perlindungan, 4) hanya mau bergaul kepada yang dapat memberikan keuntungan.
2. Mereka manis dimulut saja memiliki ciri-ciri; 1) selalu membicarakan hal-hal lampau dan tidak berguna, 2) cenderung membicarakan hal-hal yang belum terjadi, 3) hanya membantu mengerjakan hal-hal tidak berguna, 4) apabila diminta untuk membantu selalu menghindar dengan alasan-alasan.
3. Mereka memuji-muji dan membujuk, mempunyai empat ciri-ciri ciri yaitu; 1) jika berbuat jahat, mereka setuju dan membenarkannya, 2) jika berbuat baik, mereka setuju dan membenarkannya, 3) dihadapan temannya akan memuji-muji, 4) di belakang mereka akan mencela.
4. Mereka mendorong seseorang untuk menuju ke jalan yang membawa kerugian dan kehancuran, mempunyai empat ciri; 1) mengajak untuk meminum, minuman yang memabukkan, 2) mengajak berkeliaran dimalam hari, 3) mereka membuat sahabatnya melekat untuk mengejar kesenangan-kesenangan, 4) mereka membuat sahabatnya menjadi seorang penjudi.
Empat macam orang-orang ini adalah teman-teman sejati, dan seseorang hendaknya bergaul dengan mereka dengan ciri-ciri ;
1. Seseorang yang mampu membantu dalam berbagai cara, mempunyai empat ciri; 1) melindungi kawan yang lemah, 2) melindungi harta kekayaan kawannya yang lengah, 3) apabila ada bahaya, datang membantu, 4) apabila ada pekerjaan yang akan dikerjakan, membantu lebih banyak tanpa diminta.
2. Seorang kawan yang mempunyai simpati, baik dalam suka maupun dukha memiliki empat ciri; 1) membuka hal-hal rahasia mengenai dirinya kepada kawannya, 2) menjaga rahasia kawannya, tidak membiarkan mereka bocor, 3) tidak meninggalkan kawannya pada saat mengalami berbagai kesukaran, 4) berani mengorbankan hidupnya demi kawannya.
3. Seorang teman yang mengenalkan pada hal-hal yang berguna mempunyai empat ciri; 1) mencegah kawannya berbuat jahat, 2) menganjurkan kawannya untuk berbuat baik, 3) memberitahukan temannya hal-hal baru yang belum pernah didengar sebelumnya, 4) memberitahukan kawannya tentang metode untuk mencapai alam-alam kebahagiaan.
4. Seorang teman yang memiliki rasa persahabatan, mempunyai empat ciri; 1) ikut merasakan duka jika temannya menderita, 2) ikut bahagia jika temannya bahagia, 3) mereka menghadapi orang yang mencela temannya, 4) membenarkan orang yang memuji kawannya.
Peserta didik yang telah mengetahui berbagai ciri-ciri sahabat palsu (akalyanamitta) dan ciri-ciri sahabat sejati (kalyanamitta), maka berusaha sepenuh hati untuk dapat menjadikan teladan bagi teman-temannya bahwa ia merupakan seorang sahabat sejati, dan mengembangkan sifat-sifat yang menjadikan suasana persahabatan dapat timbul yaitu; a) memberi dan membagi barang-barang kepada orang yang pantas untuk menerimanya (dana), b) berdiskusi atau membicarakan hal-hal dengan ucapan yang menyenangkan dan halus (piyavācā), c) melakukan hal-hal yang berguna bagi orang lain (atthacariyā), d) memiliki ketenangan batin dan tanpa kesombongan (samānattatā) (A.ii.32).
E. Perencanaan Kegiatan Pembiasaan
Perencanaan program pembiasaan pendidikan agama Buddha Kelas I sekolah dasar memperhatikan dari perkembangan usia, fisik dan mental peserta didik. Maka tidak semua pembiasaan dapat dilaksanakan, dengan alasan bahwa kemampuan belajar (kognitif), kemampuan membiasakan diri (afektif) dan keterampilan mempraktekkan (psikomotor) belum semua peserta didik dapat melaksanakannya.
Pokok-pokok penting awal masa kanak-kanak wajib diketahui dalam merencanakan program pembiasaan. Peserta didik berhasil mencapai prestasi mengagumkan pada tahun-tahun awal kehidupannya berkat kekuatan pikirannya yang menakjubkan seperti tahun pertama mulai belajar berjalan, tahun kedua mulai berkomunikasi dengan bahasa, tahun kelima sudah mengenal sembilan puluh persen dari semua kata yang ”biasa” digunakan oleh orang-orang dewasa, tahun keenam mulai belajar membaca (Bobbi, 2003: 23).
Perencanaan pembiasaan perlu memperhatikan perkembangan psikis peserta didik mulai masa awal kanak-kanak berlangsung 2 sampai 6-7 tahun dan awal masa kanak-kanak, disebut:
1) masa problematis, menyulitkan dan bermain. Para pendidik menyebut usia pra sekolah; 2) perkembangan fisik lambat; 3) dianggap sebagai saat belajar sebab anak suka mengulang, suka bertanya dan mencoba melakukan hal-hal baru; 4) perkembangan bicara berlangsung cepat; 5) perkembangan emosi mengikuti pola dapat diramalkan; 6) disebut usia pra kelompok saat diletakkan dasar perkembangan sosial; 7) keterampilan bermain dipengaruhi oleh tingkat keterampilan motorik yang dicapai, tingkat popularitas yang disenangi teman-teman sebaya, status sosial ekonomi keluarga; 8) ketidak-tepatan mengerti tentang sesuatu merupakan hal umum; 9) moralitas dengan paksaan, disiplin ditegakkan dengan hadiah dan hukuman; 10) minat umum anak adalah agama, tubuh manusia, diri sendiri, seks dan pakaian; 11) usia kritis, peran seks disetujui atau ditolak oleh kelompoknya; 12) berbagai hubungan dalam tingkat kepentingan; 13) bahaya terpenting adalah isi pembicaraan yang bersifat tidak sosial, ketidakmampuan mengadakan kompleks empati, gagal belajar penyesuaian sosial karena kurang bimbingan, lebih menyukai teman khayalan atau hewan kesayangan, terlalu menekankan pada hiburan dan kurang menekankan pada bermain aktif, konsep-konsep dengan bobot emosi yang kurang baik, disiplin yang tidak konsisten, gagal dalam mengambil peran seks sesuai dengan pola yang disetujui oleh kelompoknya, kemerosotan dalam hubungan keluarga dan konsep diri kurang baik (Hurlock, 1980:140-141).

Melihat pokok-pokok penting perkembangan masa awal kanak-kanak dalam perencanaan program pembiasaan, maka dapat disimpulkan bahwa pada penyusunan perencanaan wajib memperhatikan masa problematis diantisipasi dengan membiasakan mengerti sopan santun dengan secara spontan melakukan anjali, atau berjabat tangan dengan harapan akan ”terbiasa” menjadi anak yang manis/ baik. Perkembangan fisik lambat tidak mempengaruhi program pembiasaan, hanya jenis pembiasaan yang dapat dilaksanakan oleh semua peserta didik sesuai kemampuan, ketermpilan dan pemahaman dalam mencerna maksud pembiasaan.
Belajar suka mengulang, suka bertanya dan mencoba melakukan hal-hal baru, sungguh inilah hal terpenting dalam pembiasaan, guru wajib memberikan jawaban atas setiap pertanyaan mengenai pembiasaan yang diberikannya selain itu menggugah timbulnya keinginan untuk melakukan hal-hal baru dalam pembiasaannya.
Perkembangan bicara berlangsung cepat, perkembangan emosi mengikuti pola dapat diramalkan, merupakan dasar perkembangan sosial, keterampilan bermain dipengaruhi oleh tingkat keterampilan motorik yang dicapai, ketidak-tepatan mengerti tentang sesuatu merupakan hal umum, moralitas dengan paksaan, disiplin dengan hadiah dan hukuman, minat umum anak adalah agama, tubuh manusia, diri sendiri, seks dan pakaian, usia kritis, hubungan dalam tingkat kepentingan, bahaya terpenting adalah isi pembicaraan yang bersifat tidak sosial, ketidakmampuan mengadakan kompleks empati, gagal belajar penyesuaian sosial karena kurang bimbingan, lebih menyukai teman khayalan atau hewan kesayangan, terlalu menekankan pada hiburan dan kurang menekankan pada bermain aktif, konsep-konsep dengan bobot emosi yang kurang baik, disiplin yang tidak konsisten. Ciri-ciri perkembangan peserta didik akhir masa kanak-kanak adalah;
1) Akhir masa kanak-kanak berlangsung dari 6 tahun sampai anak mencapai kematangan seksual, yaitu sekitar 13 tahun bagi anak perempuan dan 14 tahun bagi anak laki-laki, oleh orang tua disebut sebagai usia yang ”menyulitkan”, atau ”tidak rapih”, atau usia ”bertengkar” para pendidik disebut usia ”sekolah dasar” oleh ahli psikologi disebut sebagai ”usia berkelompok”, atau usia ”penyesuaian” atau usia kreatif; 2) Pertumbuhan fisik yang lambat pada akhir masa kanak-kanak dipengaruhi oleh kesehatan, gizi, immunisasi, seks dan intelegensi; 3) Ketrampilan pada akhir masa kanak-kanak secara kasar dapat digolongkan dalam empat kelompok besar; keterampilan menolong diri, ketrampilan menolong sosial, ketrampilan sosial, dan bermain, sampai pada tingkat tertentu semua ketrampilan ini dipengaruhi perkembangan pilihan penggunaan tangan; 4) Semua bidang dalam berbicara, ucapan, kosakata dan struktur kalimat berkembang pesat seperti halnya pengertian, namun pembicaraan cenderung merosot; 5) Anak yang lebih besar mengendalikan ungkapan-ungkapan emosi secara terbuka dan menggunakan katarsis emosi untuk meredakan diri dari emosi-emosi yang terkekang sebagai akibat dari tekanan sosial untuk mengendalikan emosinya; 6) Akhir masa kanak-kanak disebut ”usia berkelompok” karena anak berminat dalam kegiatan-kegiatan dengan teman-teman dan ingin menjadi bagian dari kelompok yang mengharapkan anak-anak untuk menyesuaikan diri dengan pola perilaku, nilai dan minat anggota-anggotanya, sebagai anggota kelompok anak sering menolak standart orang tua, mengembangkan sikap menentang lawan jenis dan berprasangka kepada semua yang bukan anggota kelompok; 7) Status sosiometrik anak berkisar dari yang populer sampai yang secara sosial terkucil, sekali status anak terbentuk dalam kelompok sosial, hal ini sulit diubah,baik status sebagai pemimpin, pengikut atau dikucilkan; 8) Minat bermain dan jumlah waktu yang digunakan untuk bermain tergantung lebih pada derajat dukungan sosial daripada kondisi-kondisi yang lain; 9) Terdapat peningkatan yang pesat dalam pengertian dan ketepatan konsep selama periode akhir masa kanak-kanak yang sebabkan oleh meningkatnya intelegensi, meningkatnya kesempatan belajar; 10) Pada akhir masa kanak-kanak, sebagian anak mengembangkan kode moral yang dipengaruhi oleh standart moral kelompoknya dan hati nurani yang membimbing perilaku sebagai pengganti pengawasan dari luar yang diperlukan waktu anak masih kecil. Sekalipun demikian, pelanggaran di rumah, disekolah dan dilingkungan tetangga masih sering terjadi; 11) Minat anak yang lebih besar lebih luas dari pada anak yang lebih kecil dan meliput banyak minat baru. Antara lain minat kepada nama, pakaian, tubuh manusia, seks, sekolah, pekerjaan, masa depan, simbol status dab otonomi; 12) Penggolongan peran seks mempengaruhi penampilan, perilaku, cita-cita, prestasi, minat terhadap lawan jenis dan penilaian diri; 13) Kemerosotan dalam hubungan keluarga, yang merupakan ciri dari periode ini, mempengaruhi penyesuaian diri pribadi dan penyesuaian sosial yang mempunyai dampak kuat pada kepribadiannya melalui pengaruhnya pada penilaian diri. Terlebih bila kesenjangan antara konsep diri nyata sangat besar, karena hal ini bertindak sebagai penghambat dalam usaha anak mencari identitas diri; 14) Bahaya fisik akhir masa kanak-kanak antara lain kegemukan, bentuk tubuh yang tidak sesuai dengan seksnya, kecenderungan mengalami kecelakaan, kecanggungan dan kesederhanaan. Bahaya psikologis yang baru terutama adalah bahaya penyesuaian sosial karena mengakibatkan penilaian diri dan penilaian sosial yang kurang baik; 15) Sekalipun kebahagiaan yang dialami dalam periode ini tidak menjamin kebahagiaan seumur hidup, tetapi kondisi-kondisi yang menimbulkan kebahagiaan akan terus memberikan kebahagiaan pada tahun-tahun berikutnya. Terutama bila tiga faktor kebahagiaan-penerimaan/ dukungan, kasih sayang dan prestasi terpenuhi (Hurlock, 1980:178-179).
Perbedaan perkembangan, baik fisik maupun psikis dari peserta didik mulai awal masa kanak-kanak hingga masa akhir masa kanak-kanak perlu diperhatikan dalam merencanakan dan menyiapkan program pembiasaan. Semua jenis pembiasaan mesti diawali dari kelas I, dengan alasan bahwa periode awal kanak-kanak mulai usia 2 tahun sampai 6-7 tahun adalah dimulai kelas I. Pada usia ini anak masih pada periode awal, untuk kelas-kelas selanjutnya sudah pada masa akhir kanak-kanak hingga kelas 6. maka pembiasaan kelas I harus sesuai psikis dan fisiknya sehingga semua dapat berjalan lancar sesuai tujuan yang hendak dicapai.
F. Pelaksanaan Kegiatan Pembiasaan
1. Pelaksana Kegiatan Pembiasaan
Pelaksana kegiatan program pembiasaan adalah guru agama Buddha wajib: a) Menguasai jenis pembiasaan spontan, rutin, terprogram dan teladan; b) Merumuskan dan menjelaskan peran profesional guru kepada pihak-pihak terkait, terutama peserta didik, pimpinan sekolah, sejawat pendidik, dan orang tua; c) Melaksanakan tugas kegiatan yang dipertanggungjawabkan kepada kepala sekolah, orang tua, dan peserta didik; d) Mewaspadai hal-hal negatif yang dapat mengurangi keefektifan kegiatan program pembiasaan; e) Mengembangkan hasil kegiatan program pembiasaan. Pelaksana program pembiasaan di SD adalah guru agama Buddha, dengan menginfusikan materi pembiasaan tersebut ke dalam pembelajaran untuk peserta didik Kelas I.
Bersama pendidik dan personil sekolah lainnya, berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan pembiasaan yang bersifat spontan, rutin, insidental (terprogram) dan keteladanan.
Perencanaan program pembiasaan yang direncanakan untuk dilaksanakan sesuai dengan sasaran, substansi, jenis kegiatan, waktu, tempat, dan pihak-pihak yang terkait. Pelaksanaan kegiatan perencanaan program pembiasaan di luar jam pembelajaran sekolah: a) Kegiatan tatap muka dengan peserta didik untuk menyelenggarakan kegiatan perorangan dan bimbingan kelompok, dapat dilaksanakan di dalam kelas atau di luar kelas; b) Satu kali kegiatan di luar kelas atau di luar jam pembelajaran ekuivalen dengan 3 (tiga) jam pembelajaran tatap muka dalam kelas; c) Kegiatan perencanaan program pembiasaan di luar jam pembelajaran sekolah maksimum 50% dan diketahui kemudian dilaporkan kepada pimpinan sekolah.
Kegiatan perencanaan program pembiasaan dicatat dalam laporan pelaksanaan program. Volume dan waktu untuk kegiatan program pembiasaan di dalam kelas dan di luar kelas setiap minggu diatur oleh guru agama Buddha dengan persetujuan pimpinan sekolah. Perencanaan program pembiasaan pada satuan sekolah dikelola dengan memperhatikan keseimbangan dan kesinambungan program antar kelas dan antar jenjang kelas, dan mensinkronisasikan perencanaan dengan kegiatan pembelajaran mata pelajaran, mengefektifkan dan mengefisienkan penggunaan fasilitas sekolah.

2. Penilai Kegiatan Pembiasaan
Penilaian hasil kegiatan program pembiasaan dilakukan melalui: a) Penilaian segera, yaitu penilaian pada akhir setiap jenis kegiatan pembiasaan untuk mengetahui perolehan peserta didik; b) Penilaian jangka pendek, yaitu penilaian dalam waktu tertentu (satu minggu sampai dengan satu bulan) setelah satu jenis kegiatan pembiasaan diselenggarakan untuk mengetahui dampak kegiatan terhadap peserta didik; c) Penilaian jangka panjang , yaitu penilaian dalam waktu tertentu (satu bulan sampai dengan satu semester) setelah satu atau beberapa kegiatan pembiasaan diselenggarakan. Penilaian proses kegiatan program pembiasaan dilakukan melalui analisis terhadap keterlibatan unsur-unsur, untuk mengetahui efektifitas dan efesiensi pelaksanaan kegiatan. Hasil kegiatan program pembiasaan secara keseluruhan dalam satu semester untuk setiap peserta didik dilaporkan secara kualitatif.

3. Pengawas Kegiatan Pembiasaan
Pengawasan kegiatan program pembiasaan dilakukan secara berkala dan berkelanjutan. Hasil pengawasan didokumentasikan, dianalisis, dan ditindaklanjuti untuk peningkatan mutu pelaksanaan kegiatan program pembiasaan di sekolah. Kegiatan program pembiasaan di sekolah dipantau, dievaluasi, dan dibina melalui kegiatan pengawasan. Pengawasan kegiatan program pembiasaan dilakukan secara:

a. Interent
Kepala sekolah selaku pengawas internal kegiatan program pembiasaan, guru melaksanakan kegiatan pembiasaan dan melaporkan hasil perencanaan kegiatan yang dijabarkan dalam rencana harian, proses pelaksanaan, dan penilaian untuk mengukur keberhasilan dalam kegiatan pembiasaan kepada kepala sekolah. Kepala sekolah mengawasi peserta didik dalam pelaksanaan pembiasaan, menganalisis laporan kegiatan guru agama Buddha dan mengadakan refleksi keberhasilan kegiatan pembiasaan.

b. Eksterent
Pengawas sekolah bidang agama Buddha mengadakan pengawasan proses kegiatan pembiasaan kepada guru agama Buddha, kepala sekolah satuan pendidikan kemudian mengadakan pelaporan hasil kegiatan pembiasaan pendidikan agama Buddha kepada dinas terkait kemudian ditindaklanjuti untuk meningkatkan keberhasilan program yang telah diselenggarakan.

BAB V
MANFAAT PROGRAM PEMBIASAAN
A. Hasil
Hasil dari pembiasaan spontan adalah peserta didik secara spontan tanpa paksaan atau perintah langsung bersikap anjali, kepada guru agama Buddha, orang tua, anggota Sangha, sesama umat Buddha dan memberikan jabat tangan kepada yang berlainan keyakinan. Berhasil secara spontan namaskhara (sujud) dengan benar di depan altar vihara atau cetiya.
Hasil dari pembiasaan rutin adalah peserta didik terbiasa melakukan puja bhakti pada waktu yang telah ditentukan, dan sekolah minggu tanpa diminta atau dipaksa. Rajin latihan meditasi sesuai karakteristik watak (caritta) sesuai petunjuk guru agama Buddha yang telah mendidiknya.
Hasil dari pembiasaan terprogram adalah dapat menentukan waktu pelasanaan program latihan pabbajja Sāmanera, merupakan kegiatan yang telah disusun perencanaannya dalam Anggaran Penggunaan Belanja Sekolah (APBS) dan Kurikulum Satuan Tingkat Pendidikan (KTSP) sekolah yang bersangkutan.
Berhasil menyusun jadwal kegiatan uposatha untuk dapat dilaksanakan oleh peserta didik. Hasil dari pembiasaan teladan adalah menciptakan peserta didik yang dapat menjadi teladan bagi rekan-rekan sebaya dan dapat menghindari bergaul dengan sahabat yang memiliki perilaku moral buruk.
B. Manfaat
1. Bagi Sekolah
Sekolah sebagai satuan pemangku tugas dalam melaksanakan proses pendidikan, maka perencanaan program pembiasaan merupakan salah satu usaha dalam rangka menyukseskan tujuan pendidikan nasional. Sekolah yang menyelenggarakan program pembiasaan akan mendapat manfaat yaitu:
a. Berhasil melaksanakan Undang-undang Guru Sistem Pendidikan Nasional pasal 37 ayat (1) huruf a) pendidikan agama, dan pada huruf j) muatan lokal satuan pendidikan dasar (UU.20.2003).
b. Berhasil melaksanakan KTSP pada pasal 2 ayat (4) tentang standar kompetensi lulusan untuk satuan pendidikan dasar (PP. No.22.2006).
c. Berhasil melaksanakan pasal 12 ayat (1) Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak: a) mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama; b) mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya (UU.20.2003).
d. Berhasil melaksanakan muatan lokal (mulok) kabupaten, dan muatan lokal sekolah.
e. Berhasil melaksanakan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas; pasal 1 butir 6 tentang pendidik, pasal 3 tentang tujuan pendidikan, pasal 4 ayat (4) tentang penyelenggaraan pembelajaran, pasal 12 ayat (1b) tentang pelayanan pendidikan sesuai bakat, minat, dan kemampuan.
f. Berhasil melaksanakan PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan; pada pasal 5-18 tentang Standar Isi satuan pendidikan dasar.
g. Berhasil melaksanakan Permendiknas No. 22. 2006 tentang Standar Isi memuat pengembangan diri (pembiasaan) dalam struktur kurikulum.

2. Bagi Guru
Guru sebagai pelaksana tugas pembelajaran, mesti mengharap berhasil dalam tugas yang diembannya dan sebagai bukti bahwa guru profesioal. Manfaat yang didapat guru dalam perencanaan program pembiasaan adalah:
a. Berhasil melaksanakan tugas sebagai pendidik profesional, dalam tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini pendidikan dasar (UU No. 14. 2005, Bab I Ketentuan Umum pasal 1).
b. Berhasil melaksanakan kompetensi guru pada pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru dalam melaksanakan tugas keprofesionalan (UU No. 14. 2005, Bab I Ketentuan Umum pasal 9).
c. Berhasil melaksanakan prinsip profesional guru (UU No. 14. 2005, Bab III Prinsip Profesional pasal 7).

3. Bagi Peserta Didik
Tujuan utama belajar bagi peserta didik adalah memiliki kemampuan mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Maka manfaat dalam melaksanakan program pembiasaan adalah:
a. Berhasil mempelajari Dhamma sesuai ajaran agama Buddha (pariyati).
b. Berhasil melaksanakan Dhamma sesuai ajaran Buddha (pati-pati).
c. Berusaha secara nyata mencapai penembusan Dhamma (pativedha).

BAB VI
PENUTUP
A. Simpulan
Landasan dasar perencanaan program pembiasaan pendidikan agama Buddha sekolah dasar adalah nasehat Buddha yaitu a) menghentikan ducarita; b) mengembangkan sucarita; dan c) membuat hati (pikiran) menyingkir dari hal-hal yang menimbulkan kekotoran yaitu keserakahan, kebencian dan kebodohan.
Perencanaan program pembiasaan pendidikan agama Buddha dibagi menjadi empat jenis pembiasaan yaitu; 1) pembiasaan spontan, dibiasakan beranjali dan namaskhara, 2) pembiasaan rutin, dibiasakan melaksanakan puja bhakti dan latihan meditasi setiap hari, 3) pembiasaan terprogram, dibiasakan mengikuti Pabbajjā Sāmanera sementara atau atthangasīla, dan uposatha, 4) pembiasaan teladan, dibiasakan menjadi sahabat yang baik untuk teman-temannya sehingga menjadi teladan.
Pembiasaan Spontan, di uraian: a) Anjali, merengkapkan kedua tangan di depan dada membentuk kuncup bunga teratai, b) Namaskhara, sungkem atau sujud dengan lima titik tumpu menyentuh lantai (pacangapatita).
Pembiasaan rutin adalah doa dan puja bhakti, mengandung aspek; (1) tidak berdasarkan egoisme dan dorongan nafsu keduniawian yang bersifat rendah; (2) mengungkapkan cinta kasih, bukan itikhat jahat; (3) mengandung belas kasih, bukan perasaan kejam.
Pembiasaan rutin selain puja bhakti, maka dilanjutkan dengan meditasi, artinya pemusatan pikiran dan dan perasaan untuk mencapai sesuatu, dan pengembangan batin (bhavana). Berdasarkan tujuan meditasi berdasarkan yang diajarkan Buddha, tujuan meditasi adalah ketenangan batin (samatha) dan pandangan terang (vipassana).
Bentuk program pembiasaan terprogram adalah pabbajja Sāmanera Sementara dan Uposatha. Sesuai kalender pendidikan maka setiap semester peserta didik diberi waktu libur setelah melaksanakan ulangan umum semester (UUS). Praktiknya yaitu di dalam vihara, atau di kompleks vihara. Pelaksanaan uposatha, jatuh pada pertengahan bulan penanggalan lunar, antara tanggal empat belas atau lima belas.
Pembiasaan teladan, adalah peserta didik dibiasakan menjadi kawan sejati (kalyanamitta) dan menghindari kawan jahat (akalyanamittha). Menunjukkan sikap dan perilaku keteladanan, dan keteladanan ini dalam bentuk: (1) murah hati dan tidak mementingkan diri sendiri, (2) menjaga dan melaksanakan kesenangan pribadi demi kesejahteraan temannya, (3) siap mengorbankan kesenangan pribadi demi kesejahteraan temannya, (4) jujur dan menjaga persatuan, (5) baik hati dan lemah lembut, (6) memberikan contoh hidup sederhana kepada temannya, (7) membebaskan pikiran dari segala bentuk kebencian, (8) melatih diri menghindari kekerasan, (9) melaksanakan kesabaran, (10) menghargai saran dan pendapat orang lain demi menciptakan suasana damai dan harmonis.

DAFTAR RUJUKAN
Angguttara Nikaya Vol.I (The Book Of Gradual Saying Vol.I). 1982. diterjemahkan dari bahasa Pāli ke Inggris oleh Woodward F.L. & Norman E.M. Hare. London: Pāli Text Society.

Angguttara Nikaya Vol.II (The Book Of Gradual Saying Vol.II). 1989. diterjemahkan dari bahasa Pāli ke Inggris oleh Woodward F.L. & Norman E.M. Hare, Oxford: Pāli Text Society.

Angguttara Nikaya Vol.III (The Book Of Gradual Saying Vol.III). 1982. diterjemahkan dari bahasa Pāli ke Inggris oleh Woodward F.L. & Norman E.M. Hare, Oxford: The Pāli Text Society.

Angguttara Nikaya Vol.IV (The Book Of Gradual Saying Vol.IV). 1982. diterjemahkan dari bahasa Pāli ke Inggris oleh Woodward F.L. & Norman E.M. Hare, Oxford: The Pāli Text Society.

Angguttara Nikaya Vol.V (The Book Of Gradual Saying Vol.IV). 1982. diterjemahkan dari bahasa Pāli ke Inggris oleh Woodward F.L. & Norman E.M. Hare, Oxford: The Pāli Text Society.

BSNP dan PUSBANGKURANDIK, Balitbang Diknas. 2006. Panduan Pengembangan Diri: Pedoman untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Draft. Jakarta: BSNP dan PUSBANGKURANDIK, Depdiknas.

Digha Nikāya Vol.I (Dialogue Of The Buddha Vol.I). 1977. diterjemahkan dari bahasa Pāli ke Inggris oleh Rhys Davids. London: The PāliText Society.

Digha Nikaya Vol.II (The Dialog Of Buddha Vol.II), 1989, diterjemahkan dari bahasa Pāli ke Inggris oleh I.B.Hoener. London: The PāliText Society.

Digha Nikaya Vol.III (The Dialog Of Buddha Vol.III). 1989. diterjemahkan dari bahasa Pāli ke Inggris oleh I.B.Hoener. London: The PāliText Society.

Dhammapada (The Word Of The Doctrine).2002. diterjemahkan dari bahasa Pāli ke Inggris oleh Norman, The Pāli Text Society, Oxford.

Dhammananda, Sri K. 2004. Keyakinan Umat Buddha. Alih bahasa: Ida Kurniati. Jakarta; Yayasan Penerbit Karaniya.

Dhammasubho, Thera. 2003. Mencari Format Pendidikan Buddhis abad 21. Jakarta: Buddha Gotama Society.

Hurlock.B.Elizabeth.1980. Psikologi Perkembangan. Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Itivuttaka, (The Buddha’s Saying) Transeted Ireland, Jhon .D. 1998. London The Pāli Text Society.

Jataka (Stories Of The Buddha’s) Vol. II.. Transleted EB. Cowell, 1981. London: The Pāli Texs Society

Jätaka (Stories Of The Buddha’s) Vol.V. Rouse, W.H.D. & Francis, H.T. (Transl.). 1990. Oxford: Pāli Text Society.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Kedu). 1994. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan & Balai Pustaka.

Keraf, Goris. 1984. Komposisi, Flores: Nusa Indah.

Khuddakapatha (The Minor Reading). 1978. diterjemahkan dari bahasa Pāli ke Inggris Bhikkhu Nanamoli. London: The Pāli Text Society.

Majjhima Nikaya Vol.I (The Middle Length Sayings Vol.I). 1989. diterjemahkan dari bahasa Pāli ke Inggris oleh I.B. Horner, London: The Pāli Text Society.

Majjhima Nikaya Vol.II (The Middle Length Sayings Vol.II), 1989. diterjemahkan dari bahasa Pāli ke Inggris oleh I.B. Horner, London: The Pāli Text Society.

Majjhima Nikaya Vol.III (The Middle Length Sayings Vol.III). 1990. diterjemahkan dari bahasa Pāli ke Inggris oleh I.B. Horner, London: The Pāli Text Society.

Majjhima Nikaya Vol.IV (The Middle Length Sayings Vol.III). 1990. diterjemahkan dari bahasa Pāli ke Inggris oleh I.B. Horner, London: The Pāli Text Society.

Majjhima Nikaya Vol.V (The Middle Length Sayings Vol.III). 1990. diterjemahkan dari bahasa Pāli ke Inggris oleh I.B. Horner, London: The Pāli Text Society.

Milinda Pañha (The Debate of King Milinda). 2002. terjemahan Lanny Anggawati & Wena Cintiawati, Editor Rudi Ananda Limiadi, kota terbit Klaten di Wisma Meditasi Dhammaguna.
Moleong. 2004. Metodelogi Penulisan Kualitatif (edisi revisi). Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Mugijarti, 2008. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) SDN Sumogawe 03 Tahun Pelajaran 2008/2009, Semarang; (dokumen sekolah yang tidak dipublikasikan tersimpan di perpustakaan sekolah).

Mukti, Krisnanda Wijaya. 2003, Wacana Buddha Dharma, Yayasan Dharma Pembangunan bekerjasama dengan Ekayana Buddhist Centre.

Mulyana. 2005. Kajian Wacana (Teori, Metode, dan Aplikasi Prinsip-prinsip Analisis Wacana) I. Yogyakarta: Penerbit Tiara Wacana.

Nyana Sila. 2009. Inspirasi Praktik Dhamma Dalam Kehidupan. Surabaya; Majelis Buddhayana Indonesia

Peck , Scott. 2004, Bahagia bersama Cinta, Menjadikan Kekuatan cinta sebagai terapi Jiwa. Jogjakarta; Jening Kreatif.

Paññavaro.2006. Paticcasamuppada. Semarang (CD ceramah). Semarang; Vihara Watu Gong

Penterjemah. 1992. Al Qur’an dan Terjemahannya. Semarang ; CV. Asy Syifa.

Poerwadarminta, W.J.J. 2007. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka

Panjika, 2004. Kamus Umum Buddha Dhamma, Jakarta: Tri Satva Buddhist Centre

Purwanto, Ngalim. 2007. Psikologi Pendidikan. Bandung; PT. Remaja Rosdakarya

Rashid, Teja, S.M. 1997. Sila dan Vinaya. Jakarta: Penerbit Buddhis Bodhi.

Semkiw, Walter. 2008. Born Again. Kasus Reinkarnasi Para Selebriti dan Tokoh Politik. Jakarta: Awareness Publication.

Samyutta-Nikaya (The Book of the Kindered Sayings Part I: Kindered Sayings With Verses). Woodward, F.L. (Trnsl.) & MRS. Rhys Davids (Ed.). 1989. Oxford: Pāli Text Society.

Samyutta-Nikāya (The Book of the Kindered Sayings) Part II. Terjemahan Davis, Mrs., Rhys. 1990. Oxford: The Pāli Text Society.

Samyutta Nikaya (The Book Of Kindred Sayings) Vol. III. Terjemahan Woodward. Davids (ed). 1975. London: Pāli Text Society.

Samyutta Nikaya (The Book Of Kindred Sayings) Vol. IV. Terjemahan Woodward. Davids (ed). 1980. London: Pāli Text Society.

Samyutta Nikaya (The Book Of Kindred Sayings) Vol. V. Terjemahan Woodward. Davids (ed). 1980. London: Pāli Text Society.

Sutta Nipāta (The Group Of Discourses). Terjemahan Norman, Horner, I.B dan Walpola Rahula. 1984. London: The Pāli Text Society.

Sayadaw Mingun Tipitakadhara. 2008. Riwayat Agung Para Buddha. Jakarta; Ehipassiko foundation & Giri Manggala Publications

Sukidin, Basrowi. 2002. Metode Penelitian Kualitatif Prespektif Mikro. Surabaya: Insan Cendekia.

Sumangalo. 1958. Buddha Dharma Untuk Anak. Jakarta; Penerbit Yayasan Karaniya.

Surya, Mohamad. 2003. Psikologi Pembelajaran dan Pengajaran. Jakarta: CV. Mahaputra Adidaya.

Soeharso, dkk,2007. Kamus Bahasa Indonesia Lengkap. Semarang; Bintang Jaya

Theragatha (The Elder Verses ). Terjemahan Norman K. R. 1990. Oxford: Pāli Text Society.
Team.2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pustaka Phoenix

Udana, (The Minor Anthologies Of Pāli Canon) Vol I transeted Woordward. 1987. London: The Pāli Text Society

Usman, Uzer, Moh. 2006. Menjadi Guru Profesional. Bandung. PT. Remaja Rosdakarya

UU. RI No.14. 2005. Undang-Undang Tentang Guru dan Dosen. Jakarta: PT Media Pustaka.
UU. RI No. 20. 2003. Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: PT Media Pustaka.

Vibhanga (The Book Of Analysis). Terjemahan Setthila. 1988. Oxford: Pāli Text Society

Vinaya Pitaka (The Book of Dicipline). Vol. I. Terjemahan Horner. I.B. 1981. Oxford: Pāli Text Society.

Vinaya Pitaka (The Book of Dicipline). Vol. II. Horner, I.B (Transl). 1982. London: Pāli Text Society.

Vinaya Pitaka (The Book of Dicipline). Vol. III (Sutta Vibhaga). Horner, I.B. (Transl). 1983. London: Pāli Text Society.

Vinaya Pitaka (The Book of Dicipline).Vol. IV. Horner, I.B (Transl). 1986. London: Pāli Text Society.
Virana. 2008. Ensiklopedia Buddha Dhamma, Keyakinan Umat Buddha (Menjadi Buddhis Sejati). Jakarta; CV. Santusita .

Visuddhi Magga (The Path Of Purification). 1991, oleh Bhadantacariya Buddhagosa. diterjemahkan dari bahasa Pāli ke Inggris oleh Nanamoli. Kady: Buddhis Publication Society.

Zed, Mestika. 2004. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia

No comments: