HIDUP INI JANGAN
JADI TERLALU
Lasino,S.Ag
A.
PENDAHULUAN
Manusia merupakan makhluk individu dan sosial yang membutuhkan bantuan
dari pihak lain. Pandangan dan pola hidup yang dimiliki individu satu dengan
lain berbeda, dengan tujuan untuk memenuhi keinginannya. Manusia menganggap
sebagian dari kepuasan hidup merupakan kebahagiaan hidup, sehingga menimbulkan
dorongan-dorongan nafsu indera yang rendah. Maka muncul energi yang dapat
memenuhi keinginan dan kepuasan (Partowisastro, 1983:34). Pandangan lain
menyatakan bahwa melalui penyiksaan diri yang sangat keras, sampai pada
kematian, maka akan mencapai kebebasan sejati (M.i.93).
Jaman kehidupan pangeran Siddharta
Gaotama sampai mencapai penerangan sempurna, menjalani kehidupan berumahtangga
dan praktek pertapaan merupakan salah satu pilihan dalam struktur masyarakat.
Dalam upaya untuk mendapatkan kebahagiaan, manusia melaksanakan praktek
kehidupan sesuai dengan pandangan masing-masing individu. Dalam usahanya,
manusia sering terjerumus pada pandangan salah (Miccha ditthi) (Kaharuddin, 2004:10). Terdapatlah dua pandangan
ekstrem yaitu mengumbar hawa nafsu yang bersifat rendah, tidak mulia dan berfaedah, yang kedua praktek
pertapaan dengan menyiksa diri tidak mulia dan bermanfaat (S.v.421).
Pangeran Siddharta sebelum mencapai Buddha, pernah melaksanakan jalan
ekstrem. Bentuk pemuasan nafsu yang dialami yaitu pada masa kehidupan dalam
istana yang diliputi kekayaan, kemewahan, makanan, minuman, memiliki tiga
istana besar dan indah .satu isatana untuk musim dingin (ramma), musim panas (suramma),
dan musim hujan (subha) (D.ii.21).
Munculnya pengertian pada sebagian masyarakat bahwa dengan memenuhi
keinginan yang terus mucul, maka akan mencapai suatu kebahagiaan hidup. Dengan
pandagan masyarakat pada umumnya, sehingga mendorong kepemuasan nafsu secara
terus menerus tanpa menyadari bahaya dari nafsu indera, yaitu penderitaan dan
kelahiran di alam kemerosotan (M.i.92).
Penderitaan merupakan bahaya dari nafsu indera yang tidak disadari oleh
manusia, karena hanya memikirkan kepuasan pada saat sekarang.Jika keinginanya
tidak terpenuhi, maka akan merasa menderita dan diliputi oleh
pandangan-pandagan salah, terkekang oleh samsara (A.ii.10).
Dasar pemikiran kaum pengumbar hawa nafsu bahwa tidak percaya akan kehidupan
yang akan datang, surga, kelahiran kembali, dan berpandangan kehidupan hanya
sekali, dilahirkan, mati hanya sekali. Bagaikan sebuah kendi dibuat oleh tukang
kendi pada suatu saat, mengalami masa pada jangka waktu, akhirnya pecah, lenyap
untuk selama lamanya.kendi yang sama tidak akan pernah muncul dan kembali lagi
(D.i.52-53). Pandangan ektrem
pemuasan nafsu akan mendorong munculnya prilaku memuja hawa nafsu yang dianggap
dapat membawa kebahagiaan sejati.
Dipihak lain kaum penyiksaan diri berpendapat bahwa menyiksa diri
merupakan jalan satu-satunya untuk membebaskan diri dari penderitaan. Mematikan
perasaan jasmani maka roh akan bebas dan bersifat bahagia (Widya,1995:6).
Melenyapkan kamma buruk dengan menyiksa diri, dan tanpa melakukan kamma buruk
baru, maka tidak ada akibat pada masa yang akan datang, kamma akan lenyap,
penderitaan perasaan musnah. Pandangan bahwa melalui penyiksaan diri maka
akan mencapai kesempurnaan, karena
kebahagiaan tidak dapat dicapaai dengan kesenangan, tetapi dicapai melalui
kesakitan (M.i.93-94). Pandangan
penyiksaan diri telah menjadi sistem kepercayaan yang kuat dalam usaha mencapai
kebahagiaan, pembebasan sejati dan kesempurnaan.
Pertapa Gautama pernah melaksanakan empat cara bertapa. Karena
terbelenggu oleh dorongan pandangan salah tentang pemahaman praktek penyiksaan
diri akan mampu melenyapkan penderitaan, yaitu: (1) dengan cara yang ekstrem (paramatapa); (2) keras (paramalukha); (3) teliti (paramajegucchi); (4) pengasingan (paramapavivitta) (M.i.77). Bertapa dengan telanjang, memakan kotoran sapi, mengenakan
pakaian dari rami dicampur kain pembungkus mayat, kulit pohon, tidur diatas
duri, makan sebutir nasi dalam sehari, hidup ditengah hutan yang sepi,dan
menakutkan. Demikianlah praktek
pertapaan yang menimbulkan kesakitan,penderitaan sekarang maupun yang akan
datang. Melalui praktek penyiksaan diri, pertapa Gautama tidak mencapai
pengetahuan dan penerangan sempurna sebagai manusia suci yang melebihi
kebiasaan manusia biasa (M.i.81).
Pelaksanaan dhamma melalui praktek pertapaan keras, akan membawa pada
penderitaan.
Empat macam pelaksanaan Dhamma yaitu: pelaksanaan dhamma akan menyebabkan
penderitaan sekarang dan yang akan datang, kebahagiaan sekarang dan penderitaan
yang akan datang,penderitaan sekarang dan kebahagiaan yang akan datang,
pelaksanaan dhamma akan menyebabkan kebahagiaan sekarang maupun yang akan
datang (M.i.310-311). Pemuasan
hawa nafsu menimbulkan kebahagiaan sekarang, tetapi menimbulkan penderitaan
yang akan datang. Penyiksaan diri menimbulkan penderitaan saat sekarang dan
yang akan datang.
Pandangan ekstrem sering menimbulkan pertentangan yang sulit dicari titik
temunya, menimbulkan tindak
kekerasan yang melanggar nilai kemanusiaan, dilandasi sikap radikal yang
disebabkan oleh kefanatikan menganut suatu paham.Adanya kehendak yang didasarkan
pada pandangan membuta, manusia mengalami penderitaan dan tekanan jiwa, keputusasaan,
dan kematian adalah jalan untuk terbebas dari penderitaan (Naylor, 1996:66;
Timpenyusun, 1989:52)
B.
PANDANGAN EKSTRIM
Pandangan Ekstrim menurut kamus besar bahasa Indonesia, terdiri dari dua
kata yaitu: ekstrem artiya melampaui batas kebiasaan, sangat keras, kuat dan
identik dengan fanatisme, isme artinya kepercayaan atau pandangan terhadap
segala sesuatu yang dimiliki individu (Depdiknas, 2001: 292). Dari pengertian
bahasa, Pandangan Ekstrim sinonim dari sistem kepercayaan yang kuat, melempaui batas kebiasaan dan
membela, menuntut segala sesuatu yang diinginkan agar dapat tercapai dan
terpenuhi. Melalui pikiran, perbuatan maupun tindakan yang melampaui batas,
sangat kuat atau keras, tidak sesuai dengan hukum dan norma yang berlaku.
Manusia mengabadikan pandangan dan kepercayaan sebagai semboyan hidup.
Pandangan Ekstrim mengarah pada kepercayaan yang menitikberatkan pada
kepentingan diri sendiri dan kelompoknya, untuk mencapai kesejahteraan hidup.
Pandangan yang menyatakan bahwa setiap individu harus mengejar kebahagiaan yang
berorientasi dan terpusat pada diri sendiri. Segala pikiran, keinginan dan
tindakan terarah pada kepentingan diri sehingga tidak mau mempertimbangkan
individu lain (Timpenyusun, 1989:13). Memandang sistem kepercayaan individu
lain adalah salah, dan meletakan pandanganya pada posisi paling atas (Sn.895). Kebebasan adalah bagian
penting bagi kehidupan, sehingga manusia cenderung memikirkan untuk mencari dan
mendapatkan kebebasan mutlak melelui jalan yang diangga paling benar dan
sesuai.
Pandangan Ekstrim adalah orang atau kelompok masyarakat yang menganut
pandangan paling ujung, keterlaluan dan berlebihan dalam bidang kehidupan.
Seperti bidang ekonomi, hukum, politik dan sistem relegius (Timpenyusun, 1989:52).Pandangan
ekstrem sering kali menimbulkan pertentangan yang sulit dicari titik temunya,
karena adanya perbedaan kepercayaan atau pandangan yang terlalu tajam. Pandangan ektrem yang
dilandasi sikap radikal, disebabkan menganut suatu kepercayaan yang tidak
sesuai dangan pandanganya adalah salah dan harus dihilangkan. Pandangan ekstrem
dapat menyebabkan tindakan kekerasan yang melanggar nilai-nilai kemanusiaan,
dan adanya kecenderungan menggunakan segala cara demi mencapai kebebasan serta
kebahagiaan yang abadi.
Konsep Pandangan Ekstrim dalam kajian agama Buddha mengacu pada pandangan
atau kepercayaan yang bersifat rendah, tidak mulia, keras dan sia-sia, serta
tidak membawa pada kemajuan batin (S.v.420).
Pandangan Ekstrim dalam agama Buddha menjelaskan tentang dua pandangan
pinggiran (anta) yaitu pengumbaran
hawa nafsu disertai dengan kemelekatan indera yang secara terus menerus (kamasukhallikanuayoga) dan yang kedua
praktek pertapaan keras melalui penyiksaan diri (attakilamathanuyoga) (S.v.421)
Masa kehidupan Buddha, di India kondisi spiritual masih dalam keadaan yang
tidak pasti. Ketidakpuasan intelektual, penyelidikan kepercayaan atau pandangan
membuat manusia gelisah, yang ditandai dengan gerakan-gerakan keagamaan muncul
dan berkembang (Widya, 1992:3). Tradisi kepercayaan yang paling berpengaruh
adalah terikat pada praktek penyiksaan diri, tata upacara pengorbanan dan
kepercayaan akan pemuasan hawa nafsu yang digunakan untuk menemukan kebebasan
serta kebahagiaan tertinggi (Narada, 1995:16).
Di India kuno terkenal ahli-ahli filsafat dan guru spiritual terkemuka
yang memiliki pandangan berbeda-beda terhadap kehidupan dan tujuanya (Narada,
1995:53). Brahmajala sutta dalam Digha Nikaya menyebutkan ada enampuluh dua
macam teori filsafat yang ada pada jaman Buddha (D.i.10). Masing-masing pandangan saling bertentangan dan menjalani
kehidupan sesuai dengan pemahaman, pengetahuan dari masing-masing individu,
sehingga banyak mausia yang menempuh jalan ekstrem. Individu yang mengukuhi
pandanganya masing-masing akan masuk dalam pertikaian dengan pengikut kelompok lain (Sn.878).
Brahmajala sutta (D.i.1-51) dan Samannaphala
sutta (D.i.52-59) merupakan kotbah besar yang membicarakan tentang berbagai
pandangan dalam menjalani pertapaan. Ada
enam guru besar (Chalabhijatiyo) yang
sangat berpengaruh: (1) Purana kassapa, mengajarkan teori tanpa perbuatan (Akiriyavada). Yaitu berdana,
mengendalikan diri, menjga indera, adalah tidak ada suatu tindakan dari
perbuatan, dengan kata lain tidak ada penambahan kebajikan (D.i.52-53), (2) Makkhali Gosala, mengajarkan teori penyucian
melalui proses samsara, yaitu
menerangkan bahwa manusia yang mengembara dalam samsara pada akhirnya akan terbabas dari penderitaan (D.i.53-54), (3) Ajita Kesakambalin,
ajaran nihilis moral (natthikavada)
yang menerangkan filosofi materialis dan menolak adanya kehidupan lain.
Mengajarkan tentang teori pemusnahan (materialism,
vibhava ditthi, ucchedavada) (D.i.56), Menerangkan bahwa tidak ada hasil
dari perbuatan baik atau buruk. Setelah mati, manusia akan hancur, musnah dan
tidak akan terlahir kembali (D.i.55),
(4) Pakudha Kaccayana, menerabgkan tentang penolakan terhadap prinsip-prinsip
moralitas. Teori tujuh kelompok dasar (tanah, air, api, udara, kenikmatan,
kesakitan dan kehidupan (jiva) tidak
dibuat, diciptakan dan tidak menghasilkan (D.i.56),
(5) Nigantha Nataputta, (sebagai leluhur jainisme), mengajarkan bahwa ada
jiwa utuh yang terperangkap dalam materi karena ikatan–ikatan kamma masa lampau. Jiwa akan terbebas
bila ikatan kamma masalampau telah habis, melalui praktek penyiksaan diri yang
amat berat. Menjelaskan teori tentang empat pengendalian diri (catu-yama-samsara) yaitu pengikut
nigantha hidup mengendalikan diri dari semua air, terbebas dari ikatan-ikatan (nigantha), mempergunakan, dan
menyingkirkan semua air batinya akan terkendali (yatatta), dan nigantha melumuri dengan semua air, maka akan
terpusat (thitatta) (D.i.57), dan (6)
Sanjaya Belatthaputta (guru Sariputta dan Mogallana), memiliki pandangan yang
berbelit-belit (amaravikkhepikavada). Teorinya
berbelit-belit tentang: dunia lain, buah dari perbuatan baik atau buruk,
Tathagata ( ada dan tidak ada, bukan ada pun bukan tidak ada) (D.i.27, i.58-59).
Sifat hidup manusia adalah mencari kebahagiaan dan kebebasan abadi.
Sebagian masyarakat berpandangan bahwa melalui pengumpulan benda-benda duniawi
dan harta kekayaan guna memuaskan nafsu indera. Keserakahan, kekuasaan,
kefanatikan, adalah bentuk usaha untuk mendapatkan kebahagiaan dan mematikan
rasa penderitaan (Naylor, 1996: 67). Kebudayaan umum pada masa sekarang adalah
mengagungkan segi materi dan mengabaikan segi spiritual. Kontak antara enam
landasan indera dengan obyek akan menimbulkan keserakahan, kebencian, dan
kebodohan, sehingga menjadi pemacu ketidaktenangan dalam menjalani hidup.
Kehidupan merupakan suatu proses dinamika yang diwujudkan melalui perubahan-perubahan
yang terjadi dalam suatu fenomena alam. Manusia terlepas dari penderitaan lahir
dan batin, mencapai kebebasan sejati merupakan tujuan dari semua makhluk hidup.
Tetapi pada kenyataanya banyak kendala dalam pelepasan penderitaan dan
pencapaian kebahagiaan yang disebabkan oleh faktor intern maupun ekstern dari
individu. Dalam diri manusia ditemukan keinginan, hasrat, kebencian, perasaan
sedih, penderitaan, adalah menyatakan diri sebagai kehendak untuk memperoleh kebahagiaan
dan kebebasan (Timpenyusun, 1991:163). Pandangan tentang pemuasan hawa nafsu
dan penyiksaan diri hanya akan membawa pada penderitaan.
1.
Macam-Macam Pandangan
Ekstrim
Manusia memiliki akar-akar pikiran baik dan buruk.
Sifat-sifat pikiran buruk yang menyebabkan terjadinya karma yaitu keserakahan (Lobha), kebencian (dosa), dan kegelapan batin (Moha) (A.iii.33). Benih-benih kejahatan
yang ada dalam setiap individu akan terus berkembang apabila tidak dihilangkan.
Pandangan-pandangan ekstrem dapat muncul melalui pikiran dan batin yang selalu
diliputi oleh noda-noda batin yang dimiliki setiap individu. Pikiran adalah
pelopor, pemimpin, dan pembentuk dari segala sesuatu. Bila seseorang berbicara,
berbuat dengan pikiran yang murni maka kebahagiaan akan mengikutinya (DhA.2)
Pandangan ekstrem yang bertentangan dengan kepercayaan
agama Buddha adalah ajaran nihilistik atau sering disebut meterialisme (kamasukhallikanuayoga) yang dianut oleh
kaum carwaka yaitu nama si pendiri
(Narada, 1995:53). Pandangan materialisme adalah suatu paham yang berteori
bahwa melalui pemuasan nafsu indera dan kemelekatan pada benda-benda materi,
maka akan mancapai kebahagiaan sejati. Kelompok meterialisme berpedoman tentang
pemuasan dan kemelekatan indera yang terus menerus. Tidak percaya kehidupan
yang akan datang, tentang surga, neraka, maupun kelahiran kembali. Pada
dasarnya manusia dilahirkan pada waktu tertentu, hidup dalam jangka waktu
tertentu, mati dan akhirnya lenyap untuk selama-lamanya, tanpa lahir dan hidup
kembali. Tidak ada buah atau hasil baik maupun buruk dalam semua perbuatan (D.i.52-53). Penghancuran secara total
pada diri makhluk setelah meninggal adalah pemahaman yang mendorong pada
pemujaan hawa nafsu.
Praktek pengumbaran nafsu indera yang secara
terus-menerus akan menimbulkan kemelekatan pada obyek. Jika manusia mengiginkan
kenikmatan indera dan berhasil mendapatkanya, maka akan merasa terpuaskan,
tetapi jika tidak memperolehnya akan menderita bagaikan tertusuk anak panah (Sn.776). Pandangan materialisme akan
mendorong timbulnya tindak-tanduk yang memuja hawa nafsu, karena tidak ada
kehidupan yang akan datang. Mengejar kenikmatan sebesar-besarnya diangap jalan
yang paling bijaksana untuk mencapai kebebasan. Agama hanya dipandang sebagai
penyimpangan kepercayaan yang dungu dan tidak bermanfaat (M.i.501-513).
Pandangan ekstrem
kedua adalah menjalani kehidupan bertapa dengan praktek penyiksaan diri (attakilamathanuyoga). Berpendapat bahwa
kebebasan hanya dimungkinkan tercapai apabila menjalankan kehidupan dengan
bertapa keras. Merupakan ajaran murni dan kuat yang dilakukan oleh para
pertapa. Kaum yang memiliki pandangan penyiksaan diri sering dikenal sebagai
kelompok Tittiya. Pandanganya adalah
roh kekal, bersifat bahagia, tetapi terkekang oleh badan jasmani, sehingga
harus dibebaskan agar roh bisa bahagia. Pembebasan roh dilakukan dengan
menyiksa diri (Widya, 1992:104-105). Manusia yang melakukan karma buruk pada
kehidupan lampau, dapat dilenyapkan dangan menyiksa diri dikehidupan sekarang (M.i.92-93)
Pertapa yang melaksanakan penyiksaan diri, menyadari
bahaya mengejar kenikmatan duniawi. Praktek pemuasan nafsu jika dijadikan patokan
dalam tindak tanduk, maka akan menyebabkan kemerosotan dalam segi moral.
Kebahagiaan sejati menurut kaum Tittiya
hanya dapat dicapai dengan membeaskan roh dari belenggu badan jasmani, dengan
jalan melenyapkan sama sekali perasaan-perasaan jasmaniah. Oleh kerena itu para
pertapa menciptakan bermacam-macam cara untuk menyiksa jasmani (Widya, 1995:6).
Praktek kehidupan melalui pemujaan hawa nafsu serta prktek bertapa dengan keras
merupakan bentuk usaha manusia untuk mencari kebebasan dan kebahagiaan yang
abadi.
2.
Sebab Munculnya Pandangan Ekstrim
Pandangan salah merupakan akar penyebab munculnya Pandangan
Ekstrim dalam pandangan agama Buddha. Hakekadnya terdiri dari dua kata yaitu
pandangan yang berarti cara memahami dan memandang.kata yang kedua adalah
salah, yang berarti tidak benar, keliru (Timpenyusun, 2001:821-982). Pandangan
salah dapat diartikan sebagai sistem kepercayaan atau cara memahami terhadap
segala sesuatu yang keliru dan tidak benar. Pandangan salah sering dianut oleh
manusia karena ingin mencari jati diri dan kebahagiaan sejati, tanpa
mempertimbangkan akibat dari pemahaman yang salah.
Dalam literatur Buddhis, pandangan salah terdiri dari
dua kata, yang pertama adalah pandangan istilahnya ditthi (pali), drsti
(sanskerta). Kemudian kata salah disebut dengan istilah miccha (pali), mithya
(sanskerta) (Panjika, 2004:10). Miccha-ditthi
secara harafiah berarti sistem kepercayaan atau pandangan salah terhadap
segala sesuatu fenomena yang terjadi di alam semesta (M.i.47).
Pandangan Ekstrim mengacu pada perubahan pola pikir
dan tingkah laku manusia, dikarenakan ketiadaan pengetahuan dari masing-masing
individu. Kebodohan menyebabkan manusia terjerumus dalam roda samsara yang
terun berputar tanpa henti. Tidak dapat membedakan mana yang baik dan buruk
adalah bentuk perbuatan salah yang dilakukan oleh pikiran. Semua tindakan
disebut salah apabila bersumber dari akusala:
keserakahan (lobha), kebencian (dosa), dan kebodohan (moha), serta pandangan salah (miccha-ditthi) (D.iii.275;M.i.47).
Jaman kehidupan Buddha, muncul dan berkembang berbagai
pandangan dari bermacam-macam aliran kepercayaan yang dianut sesuai dangan
batas kemampuan masing-masing individu. Ada
pandangan berdasarkan pengalaman, pengetahuan, dan pencapaian sehingga
mempunyai kemampuan untuk membuktikan kondisi yang diyakini. Pemahaman lain
menganut dan meyakini hanya berdasarkan pada spekulasi. Pemahaman sistem
kepercayaan lebih banyak diketahui hanya dari guru-guru dan didasarkan
spekulasi. Ada
yang diperoleh berdasarkan kepercayaan yang membuta pada doktrin-doktrin kitab
suci yang tidak sesuai dengan hukum alam (D.i.13-21;M.i.93;M.ii.501-514).
Pandangan bahwa setelah kehancuran badan jasmani, atta dianngap sebagai suatu inti yang
kekal (D.i.13). Jiwa tetap ada
walaupun tubuh telah hancur , atta akan
terlahir kembali dari satu kehidupan ke kehidupan lain. Ajaran tentang atta disebut dengan teori kekekalan (eternalis) yang mendorong pengikutnya
untuk melaksanakan cara pembebasan atman
dari belenggu badan jasmani. Praktek pertapaan keras (paramatapa) menjadi salah satu cara digunakan seagai doktrin
kepercayaan untuk menginspirasikan ajaran yang diperoleh dari guru-guru
terdahulu (M.i.92).
Doktrin ajaran yang berlawanan, menolak adanya suatu
kehidupan baru setelah kehidupan sekarang. Teori ajaranya adalah menganggap
makhluk-makhluk hidup hanya sekali dan terakhir. Setelah tubuh mati dan hancur
maka kehidupan telah berakhir selamanya (D.i.134-135).
Pandangan salah tentang pemusnahan adalah realitas terakhir akan mendorong
pengikutnya untuk melakukan tindakan yang cenderung memuja hawa nafsu.
Doktrin-doktrin berasal dari kaum materialis yang
dikenal sebagai kaum carvaka, lokayatika,
dan barhaspatya (Kalupahana,
1986:10). Teorinya bahwa persepsi indera merupakan satu-satunya sumber
pengetahuan. Kehidupan spiritual dan kebatinan diangga hanya kepercayaan dungu
dan sia-sia. Doktrin kepercayaan yang lain menyatakan tentang konsep
kekekalan.Dianut oleh kaun jaina dan Tittiya yang menekankan pada praktek
penyiksaan diri. Pandangn salah terhadap ajaran merupakan penyebab munculnya Pandangan
Ekstrim.
Sebagai
penengah diantara pandangan-pandangan salah, Budhisme muncul dan menentang
ajaran tentang kemusnahan dan menolak kekekalan mengenai atta. Buddha telah menemukan jalan tengah mulai dari hidu di istana
megah, belajar dari guru spiritual, bertapa keras, hingga mencapai kesempurnaan
(M.i.163-166, 242-247; Sn.245-249; DhA.85).
Manusia seharusnya dapat menolak system kepercayaan yang menyebabkan
kebencian, dan keserakahan (Shian, 2005:4).
“Janganlah
percaya begitu saja pada yang didengar, mengikuti tradisi-tradisi secara
membuta karena telah dipraktekan secara turun-temurun, terpancing desas-desus,
meyakini segala sesuatu hanya karena sesuai dangan kitab suci, berpegang kuat
pada pandangan keliru, meyakini karena rasa hormat pada guru, sebaiknya manusia
mampu mangatasi pendapat dan kepercayaan melalui penyelidikan ajaran” (A.i.189;M.i.317-320).
Meniliki Pandangan salah (Miccha-ditthi) terhadap ajaran
yang diliputi oleh kebodohan, keserakahan dan kebencian, maka akan
mengalami kesengsaraan setelah kematian. Karena akan menuju kealam-alam
menderita, bagaikan kubangan yang dipenuhi kekotoran selam ratusan tahun (Sn.274-279).
C.
DESKRIPSI PENGUMBARAN
HAWA NAFSU
Pengumbaran hawa nafsu kerupakan suatu usaha untuk memaparkan secara
jelas mengenai pengumbaran nafsu atau dorongan hati yang kuat. Nafsu indera
bersifat negative, karena menimbulkan kemelekatan pada obyek. Menurt literatur
Buddhis, nafsu indera diistilahkan balam bahasa pali yaitu Kama (Kaharuddin, 2004:18,356). Keinginan akan nafsu indera adalah kama-tanha (A.iii.445; M.i.48-49; Vibh.365).
Kemelekatan indera pada obyek secara terus-menerus disebut kamapadana (M.i.51). Kepuasan dan
kesenangan dari napsu indera yaitu
tanha-chanda (Kaharuddin, 2004:9). Doktrin ajaran tentang melalui
pengumbaran hawa napsu secara terus-menerus, akan mencapai kebahagiaan (kamasukkhallikanuayoga) (S.v.420).
Nafsu indera (kama),
merupakan keinginan secara kesinambungan untuk memperoleh kesenangan dan
kepuasan terhadap benda-benda materi (tanha-chanda).
Kama
identik dengan sifat negatif, dengan adanya nafsu indera, maka manusia akan terjerumus dan terikat dalam noda batin sehingga menyebabkan penderitaan (samsara) (M.i.48, 92;Dh.34). Makhluk
yang ingin melepaskan diri dari penderitaan harus mampu melenyapkan napsu
indera yang rendah (kama)
dari dalam dirinya (Sn.535, 778;DhA.197).
Melalui pelenyapan nafsu setiap makhluk akan mencapai kebahagiaan sejati.
Jenis kama
dapat dikelompokan menjadi dua kelompok yaitu: (1) Kilesa kama (pali), klesa
kama (sanskerta), yaitu napsu
indera yang kotor, tenggelam dan terikat yang disebabkan oleh sepuluh kilesa; (2) Vatthu kama (pali), vastu kam (sanskerta) yaitu napsu indera terhadap obyek luar
: pemandangan, suara, bau, rasa, dan sentuhan. Disebabkan oleh obyek kesenangan
indera (Kamaguna) (Kaharuddin,
2004:18). Nafsu keinginan indera termasuk dalam kelompok pikiran (Sankhara-khanda), sedangkan obyek-obyek
napsu masuk dalam kelompok bentuk (Rupa-khanda).
Kilesa kama, muncul karena
disebabkan oleh adanya sepuluh macam kekotoran batin yang melekat pada diri
manusia : (1) keserakahan (lobha-kilesa),
(2) kebencian (dosa-kilesa), (3)
kebodohan (moha-kilesa), (4)
kesombongan (mana-kilesa), (5)
kekeliruan (ditthi-kilesa), (6)
keraguan (vicikiccha-kilesa), (7)
kemalasan (thina-kilesa), (8)
kegelisahan (uddhacca-kilesa), (9)
tidak malu (ahirika-kilesa), (10)
tidak takut (anottappa-kilesa)
(Vibh.391).
Sepuluh macam noda batin (kilesa), merupakan penyebab munculnya hawa
napsu dalam diri manusia yang akan mencengkeram dalam penderitaan.
Ketidaksempurnaan mengotori batin, yang sulit dihilangkan tanpa adanya usaha
keras dari dalam individu sendiri (M.i.36;
Sn.245).
Munculnya vatthu kama
disebabkan oleh lima macam obyek kesenangan indera, yaitu ; Jasmani (Rupa) yang dilihat oleh mata dan
merangsang nafsu indera, suara (sadda) yang
didengar oleh telinga dan dan merangsang nafsu indera, Bau (gandha) yang cium oleh hidung dan merangsang nafsu indera, Rasa (rasa) yang kecap oleh lidah dan
merangsang nafsu indera, Sentuhan (Photthabba)
yang dirasa oleh tubuh dan merangsang nafsu indera. (M.iv.51,92,173,Vbh.70).
Obyek-obyek indera yang menyenangkan, mempunyai suatu pengaruh kuat untuk
mengikat pikiran-pikiran manusia, sehingga menimbulkan kehausan dan kemelekatan
(D.ii.59). Nafsu indera disebabkan
oleh 10 kilesa (rintangan-rintangan batin) yang berkenaan dengan lima kelompok kehidupan (panca-khandha): rupakkhandha, vedanakkhandha,
sannakkhandha, sankharakkhandha, vinnanakkhandha,
termasuk dalam kelompok pikiran (sankharakkhandha).
Sedangkan obyek-obyek indera adalah masuk dalam kelompok bentuk materi (rupakkhandha) (M.i.85,173).
Kemelekatan yang muncul berdasarkan pada lima
pengikat nafsu, merupakan bentuk kemekatan pada benda-benda duniawi (kama tanha).
Keinginan (tanha) dan kehausan
pada obyek indera, tidak pernah terpuaskan sehingga dapat menimbulkan
penderitaan (S.v.421; Dh.342).
Nafsu keinginan merupakan penghalang yang melemahkan kebijaksanaan.
Manusia yang terbelenggu nafsu, pikirannya bercabang-cabang, dan keinginan
tidak terpuaskan, maka akan dikuasai oleh belenggu samsara (Dh.48), ketidakpuasan adalah akibat dari kemelekatan (Sn.36). Jika manusia ingin menghilangkan
ketidakpuasan, tindakan yang tepat adalah menghapuskan penyebabnya yaitu
belenggu obyek-obyek indera.
Doktrin ajaran tentang praktek pemuasan hawa nafsu disertai kemekatan
pada obyek, merupakan salah satu bentuk Pandangan Ekstrim yang bersifat rendah,
tidak mulia dan sia-sia. (S.v.420).
Kaum pengumbar hawa nafsu berpandangan bahwa materi merupakan realitas terakhir
(Kalupahana. 1986:11). Menyebabkan manusia lebih mengutamakan kepuasan pada
diri sendiri, tanpa mempertimbangkan bahaya dari nafsu yaitu menjadi korban
kelahiran dan kelapukan (Dh. 341).
Perbuatan-perbuatan yang dilakukan baik atau buruk akan berakhir dengan
kematian yang berarti pemusnahan terakhir dari makhluk-makhluk (D.i.21,47).
Padangan materialis dengan sendirinya akan mendorong tidak-tanduk yang memuja hawa nafsu. Makan, minum, dan
berfoya-foya salah satu bentuk tindakan pemuasan nafsu indera (kama).
Akibatnya ketenteraman, kedamaian, persahabatan…... tidak terwujud sepenuhnya (Mettadewi,
1999:33).
1. Sebab
Timbulnya Nafsu
Manusia lahir ke dunia, terdiri dari lima kelompok kehidupan (panca-kkhandha). Pancakkhandha
dapat diuraikan menjadi dua bagian besar, yaitu kelompok jasmani (Rupakkhandha) dan batin (Namakkhandha). Namakkhandha terdiri atas empat kelompok kehidupan, yaitu perasaan (vedanakkhandha), pencerapan (sannakkhandha), bentuk-bentuk pikiran (sankharakkhandha), dan kelompok
kesadaran (vinnanakkhandha). (S.ii.47, Vbh.1).
Kelompok batin (namakkhandha)
dan jasmani (rupakkhandha), tidak
dapat berdiri sendiri tetapi merupakan kelompok kehidupan yang saling
bergantungan dan masing-masing mengalami, proses perubahan (Wahyono, 2002:178).
Batin dan jasmani selalu dalam keadaan berubah-ubah. Setiap ada perkembangan
fisik, batin juga mengalami perubahan. Keadaan pertumbuhan batin dapat berkembang
menjadi baik, apabila diberi rangsangan jasmani yang baik. Sebaliknya batin
akan berubah menjadi yang jahat jika diberi rangsangan tidak baik.
Namakkhandha tidak
jelas dilihat oleh mata biasa, tetap dapat diketahui melalui tingkah laku yang muncul dari batin
atau pikiran. Pikiran adalah pemimpin dan pembentuk dari segala perbuatan (kama)
yang dilakukan melalui pintu pikiran (manodvara),
perkataan (vacidvara), dan pintu
jasmani (kaya dvara) (M.i.48).
Hendaknya manusia selalu menjaga, mengendalikan dan menghentikan rangsangan
jasmani, ucapan, pikiran jahat, yang dilanjutkan dengan mengembangkan kearah
yang baik (Dh.2, 131-133).
Hawa nafsu muncul karena adanya lima landasan indera (panca indera): (1) mata (cakkundriya),
telinga (sotindriya), hidung (ghanindriya), lidah (jiuhindriya), jasmani (kayindriya) (M.i.173,S.ii.3). Panca indera yang dihadapkan pada obyek akan
timbul kesan-kesan atau Phassa (A.i.223),
yang kemudian muncul kesadaran mencerap obyek menimbulkan perasaan atau Vedana (S.iv.232). Adanya kontak atau
kesan mental maka muncul perasaan menyenangkan dan tidak menyenangkan dan
netral, tanpa kontak, maka tidak akan
ada perasaan dan sebagaimana ide mengenai menjelma serta penjadian juga berasal
dari adanya kontak (Sn.870).
Adanya landasan indera yang kontak dengan lima obyek kesenangan (kamaguna) : bentuk yang dapat dilihat,
suara, bau, rasa, dan sentuhan, disertai dengan keserakahan (lobha) sebagai pemimpin, maka akan
timbul perasaan, keinginan (tanha) dan kemelekatan (upadana) (D.ii.59;M.i.51;Dhs.445). Dalam diri manusia yang belum
mencapai tingkat-tingkat kesucian, terdapat sifat baik dan buruk, Sifat buruk
lebih mendominasi diri manusia. Maka manusia lebih mudah berbuat tidak baik
yang akan mengakibatkan penderitaan bagi manusia.
“Tiga akar
kejahatan (akusala mula) yaitu: akar
kejahatan keserakahan (lobha),
kebencian (dosa), dan akar kejahatan
kebodohan (Moha). Inilah tiga hal
yang membawa kemerosotan. Tiga akar kebajikan (kusala mula) yaitu: akar kebajikan tidak serakah (alobha), tidak membenci (adosa), dan akar kebajikan tidak bodoh (amoha) inilah tiga hal yang membawa
kemuliaan (D.iii.275, A.iii.33).
Nafsu indera muncul disebabkan adanya keserakahan dalam diri manusia.
Keserakahan muncul karena indera mencerap obyek yang baik, sehingga timbul
hasrat untuk melekati. Lobha secara
ethika berarti ketamakan, tetapi secara psikhologi diartikan sebagai terikatnya
pikiran oleh obyek-obyek indera yang menyenagkan. Disebut juga sebagai
keinginan (tanha), nafsu lobha (abhijjha), hawa nafsu (raga, kama)
(Kaharuddin, 2004:183)
Abhidammmtthasangaha
menjelaskan tentang keserakahan (Lobhamulla
citta) sebagai penyebab nafsu
indera dalam pikiran manusia. Lobha mula
citta merupakan kesadaran pikiran buruk (akusala
citta) yang timbul dengan adanya keserakahan menjadi sebab yaitu kesenagan
dan kemelekatan pikiran terhadap berbagai macam obyek. Lobha mula citta bersekutu dengan tiga hal yaitu, perasaan (vedana), pandangan salah dan tidak
bersekutu dengan pandangan salah (ditthi),
wujud atau bentuk (sankhara) (Mettadewi,
1994:46).
Lobha mula citta
yang merupakan kesadaran pikiran serakah atau tamak terdiri dari:
a.
Kesadaran pikiran yang timbul tanpa ajakan,
disertai kesenangan, bersekutu dengan pandangan salah (Somanassa sahagatam ditthigatasampayuttam asankharikam). Contoh :
kesadaran pikiran manusia, ketika melihat harta karun dan dengan nafsu
mengambilnya dan digunakan untuk berfoya-foya.
b.
Kesadaran pikiran yang timbul dengan ajakan, disertai
kesengan, bersekutu dengan pandangan
salah (Somanassa sahagatam ditthigatasampayuttam
sasankarikam). Contoh: pikiran seseorang untuk menonton pertunjukan
tari-tarian, atas ajakan kelompoknya dengan disertai kesenagan dan tidak
mengetahui perbuatannya akan menambah keserakahan (lobha).
c.
Kesadaran pikiran yang timbul tanpa ajakan, disertai
kesenangan, tidak bersekutu dengan pandangan salah (Somanassa sahagatam ditthigatavipayuttam asankharikam). Contoh :
pikiran seseorang untuk mencuri harta milik orang lain yang timbul secara
spontan, disertai kesenagan, walaupun mengetahui bahwa perbuatannya salah.
d.
Kesadaran pikiran yang timbul dengan ajakan, disertai
kesenagan , tidak bersekutu dengan pandangan salah (Somanassa sahagatam ditthigatavippayuttam sasankharikam). Contoh:
pikiran seseorang untuk mendengarkan pembicaraan orang lain tanpa ijin, dengan
mengikuti ajakan sahabatnya disertai kesenagan, dan mengetahui bahwa
perbuatannya salah.
e.
Kesadaran pikiran yang timbul tanpa ajakan, disertai
kemasabodohan, bersekutu dengan pandangan salah (Upekkhasahagatam ditthigatasampayuttam asankharikam). Contoh:
pikiran seseorang untuk mencuri buah apel, yang timbul secara spontan (tanpa
ajakan) disertai sedikit kesenagan, dan mempunyai pandangan bahwa tidak ada
akibat yang ditimbulkan dari perbuatannya.
f.
Kesadaran pikiran yang timbul ajakan, disertai
kemasabodohan, bersekutu dengan pandangan salah (Upekkhasahagatam ditthigatasampayuttam sasankharikam). Contoh:
pikiran seseorang untuk mengikuti pesta minuman keras, atas undangan sahabatnya
dengan disertai sedikit kesenagan, dan dengan pandangan bahwa tiada
ketidakbaikan dalam perbuatannya.
g.
Kesadaran pikiran yang timbul tanpa ajakan, disertai
kemasabodohan, tidak bersekutu dengan pandangan salah (Upekkhasahagatam ditthigavipayuttam asankharikam). Contoh:
pikiran seorang pemuda untuk melihat bentuk tubuh wanita yang sedang mandi,
timbul secara spontan dengan sedikit kesenangan disertai segan.
h.
Kesadaran pikiran yang timbul tanpa ajakan, disertai
kemasabodohan dan bersekutu dengan pandangan salah (Upekkhasahagatam ditthigavipayuttam sasankharikam). Contoh :
pikiran seseorang untuk mencuri yang dilakukan dengan terpaksa karena ingin
memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, dan mengetahui kalau mencuri adalah
perbuatan salah. (Mettadewi, 1994:46-47).
Lobha mula citta
8, yang terdiri dari 8 jenis, lobha
pertama yang berakibat paling besar karena pikiran lobha timbul tanpa ajakan,
disertai kesenagan dan bersekutu dengan pandangan salah. Pandangan Ekstrim
jenis pertama yaitu berpandangan bahwa melalui pemuasan nafsu indera secara
terus menerus akan mencapai kebahagiaan masuk dalam jenis lobha mula citta yang pertama. Pemuasan nafsu dengan mengikuti
obyek-obyek indera dan menganggap tidak ada akibat dari perbuatan jahat adalah
bersekutu dengan pandangan salah (ditthigatasampayutta)
Tidak ada surga, neraka, sehingga akan melekat pada obyek (D.ii.52-59), adalah bersekutu dengan pandangan salah (ditthigatasampayutta).
2. Bahaya
Munculnya Nafsu
Musuh umat manusia adalah nafsu keinginan terhadap
obyek-obyek indera. Makhluk selalu merindukan kenikmatan, kekayaan, dan harta,
akan terjerat pandangan salah. Bahwa kebahagiaan terletak pada nafsu keinginan (D.i.9,55). Makhluk yang memiliki
pandangan materialis, diibaratkan sebagi seekor kelinci yang terperangkap dalam
jebakan (Dh.343).
Apabila manusia terlihat dengan lima saluran indera, tanpa bosan menuruti dan
mengembangkan kemelekatan. Tanpa memandang akan bahaya yang ada dan tanpa
pengertian cara melepaskan diri dari nafsu indera, akan mengalami bencana dan
kehancuran, serta namabaiknya menjadi suram, bagaikan bulan sabit pada masa
gelap (M.i.173-174; D. iii.31).
Kesenagan tidak berarti buruk dan harus dihindari.
Sebagai makhluk inderawi, pemenuhan keinginan adalah wajar untuk memperoleh
kebahagiaan. Tetapi sebagai manusia yang bijak, seharusnya tidak diperbudak
oleh nafsu pemuasan kesenagan (Dh.347). Pemenuhan kebutuhan dan keinginan yang
tidak merugikan orang lain, bisa membawa suatu bentuk kebahagiaan yang bersifat
sementara. Pengendalian pikiran sangat diperlukan untuk menghadapi obyek indera
yang kesenangannya hanya sementara dan akan menimbulkan penderitaan panjang.
Kurangnya perhatian dan pengendalian pikiran, akan terjerumus dalam akar
perbuatan jahat (akusala) (Sn.50). Segala sesuatu tidaklah abadi, setelah
dilahirkan lalu mati, timbul dan lenyap kembali. Terbebas dari kelahiran dan
kelapukan akan mencapai kebahagiaan tertinggi (D.ii.157; M.i.228).
Buddha menjelaskan bahwa semua kesengsaraan muncul
dari keinginan inderawi yang salah dan akan terlahir di alam yang diliputi
penderitaan (M.i.92,257;ii.391). Pangeran
Siddharta sebelum menjalani kehidupan spiritual pernah melaksanakan
jalan ekstrim pemuasan nafsu indera. Kehidupan istana dipenuhi dengan kemewahan
dan kenikmatan inderawi (D.ii.21). Tetapi dengan usahanya sendiri yang sangat
tekun, beliau mencapai kesempurnaan (M.i.172).
Manusia yang mengerti sepenuhnya tentang hakekat
perbuatan baik (kusala) dan perbuatan jahat (akusala) serta akar-akarnya.
Kemudian melaksanakan dan mengembangkan perbuatan baik, Maka telah sepenuhnya melenyapkan sebab utama
dari nafsu-nafsu, kebodohan batin (Avijja) dan pengembangan pengetahuan benar (vijja) dan mengakhiri penderitaan (Dukkhaniroda) (M.i.47; D.ii.200; iii.133;
Sn.530; Dh.179).
D.
DESKRIPSI
PRAKTIK PENYIKSAAN DIRI
Penyiksaan diri berarti suatu cara, proses perbuatan yang dilakukan
manusia untuk menyakiti dan menyiksa diri sendiri sampai pada kematian
(Depdiknas, 2001:1064). Berdasarkan literature Buddhis, kerikatan pada
penyiksaan diri diartikan sebagai attakilamathanuyoga
(S.v.420). Suatu doktrin kepercayaan yang mengutamakan metode penyiksaan
diri dalam usaha untuk mencapai kebahagiaan dan kebebasan tertinggi. Paham yang
bertentangan dengan kaum materialisme menyadari bahwa pengejaran nafsu indera
hanya akan membawa kemerosotan moral maupun spiritual, maka lebih menekankan
pada pratik pertapaan dengan menyiksa diri.
Praktik-pratik pertapaan pada jaman pra Buddha dan Buddha merupakan salah
satu sistem kepercayaan yang sangat berpengaruh. Pratik bertapa melalui
penyiksaan diri adalah yang paling dominan dilaksanakan oleh para pertapa. Tradisi
pertapaan muncul, kemudian datang bangsa Arya yang menyebabkan semakin
berkurangnya para pertapa. Tradisi bangsa Arya sangat berpengaruh pesat, karena
bersifat keduniawian melalui pelaksanaan upacara-upacara pengorbanan, puji-pujian,
dan sajak. Kehidupan agama bangsa India dipakai oleh kaum Arya untuk
menganugrahkan kesehatan, kemakmuran pada pemuja dan memberi korban
(Kalupahana, 1986:4-5).
Kondisi spiritual bangsa India
belum menemukan titik temu yang pasti. Munculnya berbagai pandangan dan
doktrin-doktrin ajaran tentang jalan menuju lenyapnya penderitaan (samsara) (M.i.40) dan pencapaian
kebahagiaan sejati, dapat diibaratkan sebagai kisah persaingan tradisi-tradisi
spiritual yang saling bertentangan dengan tujuan untuk mencapai supremasi yang
paling tinggi. Ketidakpastian spiritual, kekacuan dalam bidang kepercayaan,
penyelidikan pandangan, menyebabkan masyarakat menjadi gelisah dan tidak
tentram (Widya, 1992:3).
Tradisi kaum Arya yang menekankan pada upacara pengorbanan mulai
berkurang yang ditandai dengan munculnya kembali tradisi pertapaan. Kebudayaan
pertapaan dengan waktu singkat mampu mengalahkan kebudayaan Brahmana. Sistem
kepercayaan yang berlaku, pelaksanaannya mulai berpindah dari pengorbanan dan upacara keagamaan kepada pengetahuan atau
pengertian. Pengetahuan tentang dunia luar (loka)
dan diri (atman atau atta) yang
merupakan hasil langsung dari latihan konsentrasi yoga. Kebudayaan konsentrasi
yoga adalah aspek terpenting dalam pelaksanaan pratik pertapaan. Tujuan
konsentrasi yoga adalah penghapusan kesan-kesan indera dan nafsu-nafsu rendah
yang terkait. Tradisi yoga menggambarkan pertentangan dengan kaum pemuja hawa
nafsu yang memilih untuk memuaskan nafsu indera dari pada menjalani kehidupan
bertapa yang menyakitkan (Widya, 1995:5).
1. Sebab Munculnya Praktik Penyiksaan Diri
Doktrin ajaran penyiksaan diri, diawali oleh guru yang
sangat terkenal pada jaman kehidupan Buddha yang bernama Nigantha Nataputta
(laluhur Jainisme dan Titthia). Teori ajarannya menyatakan bahwa ada pluralitas
jiwa utuh, yang terperangkap di dalam materi, karena ikatan-ikatan kamma lampau. Jiwa hanya akan terbebas
bila ikatan-ikatan kamma sudah habis. Dalam usaha untuk melenyapkan kamma
buruk, harus dilakukan dengan pratik penyiksaan diri, mengendalikan perbuatan,
pikiran, dan ucapan, disertai dengan tidak melakukan kamma buruk yang baru dan
tidak ada akibat pada masa yang akan datang. Lenyapnya kamma-kamma, maka
penderitaan akan musnah selama-lamanya (M.i.92-93).
Kaum penyiksaan diri mengakui adanya roh (atta) yang kekal dan bersifat bahagia (D.i.13) yang dilahirkan berulang-ulang
kedalam tubuh manusia maupun makhluk lain yang lebih rendah. Roh dianggap
sebagai diri sejati yang bersamayam dalam tubuh. Badan jamani dan
indera-inderanya (Rupa Kandha) ,
tetapi tidak termasuk dalam diri sejati. Roh mengalami kelahiran yang
berulang-ulang, menderita dan sengsara karena terkukung dalam badan jasmani.
Kaum Jaina dan Titthia menganggap jasmani beserta indera-inderanya mendorong
pada berbagai kenikamatan duniawi, sehingga menyebabkan manusia berbuat banyak
kejahatan. Penekanan dalam bentuk pratik pertapaan yang sangat ekstrem,
melenyapkan sama sekali perasaan jasmaniah yang merupakan belenggu bagi roh,
merupakan tujuan yang paling mendasar untuk mencapai kebahagiaan (Kalupahana,
1996:12).
Diri sejati (atta)
dianggap kekal abadi yang bersifat bahagia, tetapi menjadi menderita karena
belenggu jasmani. Untuk mencapai kebahagiaan harus melenyapkan badan jasmani
dan indera-inderanya, melalui kesakitan terlebih dahulu. Leluhur dan pengikut
pandangan penyiksaan diri menyatakan bahwa kebahagiaan tidak dapat dicapai
dengan kesenangan, tetapi kebahagiaan bisa dicapai melalui penderitaan dan
kesakitan (samsa) (M.i.93-94). Buddha
menyatakan, jenis pertapa yang memegang secara kuat dan melekat pada tradisi
pertapaan keras diumpamakan sebagai sekelompok binatang yang tidak tergiur pada
umpan yang dipasang oleh pemburu, tetapi terkukung dalam alat perangkap
binatang (M.i.156). Kelompok pertapa
tidak tergiur pada kesenangan indera, tetapi memegang pandangan sesat tentang
atta yang kekal (Atta ditthi). Pratek
pertapaan ekstrem yang dilaksanakan, tidak akan membawa manfaat, dan hanya akan
menimbulkan kesakitan pada kehidupan sekarang dan penderitaan pada masa
mendatang (M.i.310-311).
2.
Akibat Pelaksanaan Pratik Penyiksaan Diri
Buddha Gautama adalah pendiri agama Buddha. Mulai dari
belajar pada guru-guru spiritual, melaksanakan bentuk pertapaan ekstrem, hingga
mencapai pencerahan (M.i.163,242-247; Sn.425-449).
Pertapa Gautama sebelum mencapai penerangan sempurna, pernah melakukan bentuk
pratik-pratik pertapaan yang sangat ekstrem (paramata), keras (paramalukha),
teliti (paramajegucchi) dan
pengasingan diri (paramapavivitta)
(M.i.77). Pratek-pertek pertapaan dilakukan pertapa Gautama di hutan
Uruvela selama enam tahun sengsara bersama lima orang pertapa.
Pratik pertapaan yang sangat ekstrem (paramatapa), merupakan bentuk penyiksaan
diri yang sangat kuat. Bodhisatta sebelum melaksanakan bentuk pertapaan yang
ekstrem, menyatakan tekad usaha kuat beruas empat (padhāna virya) “biarlah hanya kulit, urat daging, tulang belulang
yang tertinggal, dan daging serta darah mengering”. Bodhisatta tetap
bersemangat dalam mengejar cita-cita melalui pratek penyiksaan diri (M.i.481; DhA..86). Tapa paling berat (dukkanacariya) mulai dilaksanakan oleh
pertapa Gautama.
Bodhisatta melaksanakan cara bertapa yang ekstrem (paramatapa) dengan hidup telanjang,
tidak berkumpul dengan orang lain, menolak menerima persembahan makanan dari
panci, mangkok, nampan, maupun dari wanita dan pria. Dalam pratik pertapaan
ekstrem bodhisatta hanya menerima sesuap makanan dari satu sampai tujuh rumah.
Melatih diri untuk memakai pakaian dari rami, kain pembungkus mayat (pamsukula), kulit pohon, bulu binatang,
dan berpakaian dengan kulit rusa. Selanjutnya bodhisatta juga hidup dengan
melaksanakan pencabutan bulu rambut dan
janggut. Melakukan pratek jongkok secara terus menerus, memebuat kasur dan
tikar dari paku untuk tidur sehingga menciptakan rasa sakit yang hebat bodhisatta
juga pernah malaksanakan tapa kukung dalam air (M.i.77).
Pratik pertapaan yang kedua adalah melaksanakan cara
bertapa yang keras (paramalukha).
Bagaikan kulit batang pohon besar yang telah bertahun-tahun dilekati oleh debu
dan telah bergumpal-gumpal. Demikian pula debu dan daki melekati tubuh pertapa
Gautama. Dengan gigi yang ditakup, lidah ditekan kelangit-langit bagaikan
manusia yang lemah, dicengkeram oleh benda yang sangat kuat dengan usaha untuk
menghancurkan pikiran buruk dan mengembangkan pikiran baik. Usaha pelaksanaan paramalukha dilakukan dengan tekad dan
semangat yang kuat dari bodhisatta. Demikianlah pratek pertapaan sangat keras
yang dilaksanakan pertapa Gautama (M.i.78).
Pertapa Gautama, selanjutnya melaksanakan pratek
pertapaan yang sangat teliti (paramajegucchi).
Bodhisatta selalu waspada ketika melangkah maju dan mundur, pikirannya
dipenuhi dengan rasa belas kasihan walupun hanya pada setetes air. Berusaha
untuk menyakiti makhluk lain yang berada di udara darat maupun air (M.i.78). Segala bentuk pikiran,
perkataan serta gerk-gerik tubuh selalu waspada dan dikendalikan dengan keras
dan teliti. Bodhisatta melanjutkan dengan melakukan meditasi tanpa napas untuk
mengembangkan appānaka jhāna. Dengan
usaha keras berhenti menghirup udara dan menghembuskan nafas melalui mulut dan
hidung. Udara yang ada diluar tubuh tidak dapat masuk kedalam, sebaliknya
udaranya yang ad di dalam tidak bisa keluar.
Usaha keras pertapa Gautama untuk berhenti memasukan
dan mengeluarkan nafas, mengakibatkan seluruh tubuhnya menjadi sakit karena
rasa terbakar (daharoga). Tubuh dan batinya menjadi tegang dan
tidak tenang. Walaupun rasa yang sangat menyakitkan timbul dalam diri pertapa
gautama, tetapi semangatnya tetap ada. Pemahaman pandangan salah masih melekat
padanya dan menjadi doktrin ajaran bagi pelaksanaan praktik pertapaan keras.
(Kusaladhamma, 2006 : 114-115)
Praktik pertapaan yang keempat adalah melalui
pengasingan diri (paramapavivitta).
Hidup didalam hutan belantara, makan, minum dan melakukan segala usaha didalam
hutan. Apabila pertapa gautama melihat manusia, maka akan berlari
menghindarimya, bagaikan seekor kijang yang lari ketika melihat pemburu datang.
(M.i.79). Pertapa gautama memakan
kotoran anak sapi yang masih menyusu, karena tidak ada makanan cukup didalam
hutan. Demikianlah praktik pengasingan diri yang dilaksanakan oleh Bodhisatta
gautama.
Para pertapa dan
brahmana menyatakan bahwa kesucian dapat dicapai melalui makanan. Doktrin yang
mendorong pertapa-pertapa lain untuk melaksanakan praktek pensucian diri
melalui makanan (makan buah, beras, kacang-kacangan). Mulai dari satu butir,
hingga sama sekali tidak makan dan tidak minum, menyebabkan tubuh jasmani (Rupa) Bodhisatta menjadi sangat lemah
dan kurus. Hanya tertimggal tulan belulang dan kulit yang keriput (M.i.79-81).
Praktik-praktik pertapaan yang telah dilakukan oleh
pertapa gautama (Paramatapa, Paramalukha,
Paramajegucchi, dan Paramapavivitta) diperoleh dari tradisi atau kebudayaan
para pertapa yang telah mendominasi sistem kepercayaan pada masa Buddha.
(Nigantanataputta, Punnakaliya atau petapa berkelana, Senia atau petapa
telanjang). Melalui pertapaan salah (menyiksa diri) tidak dapat mencapai
manfaat pengetahuan dan pengalaman sebagai manusia suci, serta tidak
mendapatkan kebijaksanaan Ariya
(panna-Ariya) (M.i.81)
Menjalakan ajaran dengan menyakitkan, maka akan matang
dimasa depan sebagai penderitaan (M.i.308).
Petapa gautama dalam menjalankan pertapaan dengan menyiksa diri menimbulkan
penderitaan bagi dirinya sendiri dan tidak membawa manfaat (S.v.420). Para pertapa yang
menyakiti dan menyiksa dirinya sendiri, akan terkungkung dalam pengejaran
latihan salah (M.i.411-412). Manusia
menjadi suci tergantung pada kondisi batin yang mempengaruhi pikiran, ucapan
dan tindakannya (It.62). Kondisi
batin yang masih diliputi oleh pikirran jahat, ucapan dan perbuatan yang
keliru, maka manusia terjerumus dalam roda kelahiran dan samsara. Kesucian
hanya akan dicapai oleh makhluk yang memiliki kesempurnaan pikiran, ucapan dan
perbuatan (sila, Samadhi dan panna).
E.
CARA MENGATASI PANDANGAN EKSTRIM DALAM PANDANGAN AGAMA
BUDDHA
1. Upaya Mengatasi Pandangan
Ekstrim
Agama merupakan sumber utama bagi pembentukan etika,
moral, dan nilai-nilai spiritual. Landasan moral dalam agama Buddha pada
dasarnya bukan larangan atau perintah, tetapi pengertian yang mendalam tentang
yang baik dan buruk (Kusala dan Akusala).
Buddha menyampaikan ajaranya tidak bertujuan untuk mendapatkan pegikut, membuat
manusia meninggalkan guru dan kitab sucinya, melepaskan cara dan kebiasaan
hidunya. Buddha hanya menunjukan jalan penerangan untuk membersihkan noda-noda,
meninggalkan segala bentuk yang buruk didalam diri masing-masing individu (D.iii.56-57).
Dalam tradisi Buddhis, dikenal tentang dua pandangan
ekstrem yang seharusnya dihindari dan diatasi oleh setiap manusia. Kepercayaan
akan pemuasan nafsu kesenangan indera yang rendah, duniawi, tidak mulia dan
tidak bermanfaat (Kamasukhalikanuayoga).
Ekstrem kedua adalah keterikatan pada penyiksaan diri yang menyakitkan, tidak
mulia dan tidak bermanfaat (Attakilamathanuyoga)
(S.v.420; Vin.i.10). Pandangan-pandangan ekstrem jika dijadikan pedoman,
akan membuat makhluk menderita, karena terperagkap dalam pandangan dan praktik
penghidupan salah (M.i.92-93,ii.389). Pemuasan
nafsu dan praktik penyiksaan diri merupakan bentuk praktik hidup yang salah.
Doktrin ajaran tentang pemuasan hawa nafsu berpedoman
pada kepercayaan tentang pemusnahan. Manusia hidup hanya sekali, dan tidak ada
kelahiran yang akan datang, setelah manusia mati, maka akan lenyap untuk
selamanya. Kebahagiaan akan dicapai melalui pemenuhan dan pengumbaran hawa
nafsu. Sistem kepercayaan yang lain
bertentangan dengan pandangan pemuasan hawa nafsu, yaitu menyatakan atta kekal dan bersifat bahagia. Atta harus dibebaskan dari belenggu
badan jasmani, kebahagiaan hanya dapat dicapai setelah atta dilepaskan melalui penyiksaan diri. Dalam masa pencarian
kesempurnaan Siddhatta pernah melaksanakan dua jalan ekstrem yaitu pada saat di
istana dan hutan uruvella (D.ii.21, M.i.77).
Melalui praktik-praktik ektrem, Siddhatta Gautama tidak mencapai penerangan
agung (Nibbana).
Buddha menyatakan bahwa manusia mencapai tujuanya
dengan tidak menyakiti diri sendiri dan menuruti kesenangan indera, tetapi
melalui laatihan yang telah diajarkan. Tathagata
bukanlah manusia yang memanjakan diri, juga tidak melalaikan pengendalian dan
berpaling pada kemewahan melalui penyiksaan diri. Tathagata adalah yang menghindari dua jalan ektrem dan dengan
semangat yang luhur untuk membebaskan diri dari kelahiran kembali (M.i.39,172-173,413; iii.101).
Dalam upaya untuk mencapai tujuan, manusia hendaknya
tidak mengendorkan semangat maupun terlalu bersemangat, karena hanya akan
menimbulkan keletihan, sia-sia, dan penderitaan. Di ibaratkan sebuah senar
gitar apabila disetel terlalu kencang maka akan putus dan jika terlalu kendor
maka suaranya akan hilang. Senar gitar harus disetel dengan tidak terlalu
kencang dan kendor untuk mendapatkan suara yang merdu (M.i.161-174).
Buddha menjelaskan pada para pengikutnya untuk
menghindari dua jalan ekstrem (pemuasan nafsu dan penyiksaan diri) melalui
pelaksanaan Jalan Mulia Berunsur Delapan (Ariya
Atthangika magga). Jalan mulia berunsur delapan dibabarkan Buddha pertama
kali oleh lima
orang pertapa: Kondanna, Bhaddiya, Vappa, Mahanama, dan Assaji di Taman Rusa
Isipatana. Menyelami jalan mulia berunsur delapan, maka akan memperoleh
pandangan terang (Cakkhukarani),
kebijaksanaan (Nanakarani),
ketenangan (upasamaya), pengetahuan
tertinggi (abhinnaya), penerangan
agung (sambodhaya), dan nibbanaya) (S.v.421).
Ariya Atthangika
Magga adalah jalan pelatihan diri sendiri untuk melenyapkan penderitaan dan
pencapaian kebahagiaan. Diantara semua jalan maka jalan mulia berunsur delapan
adalah yang terbaik, tidak ada jalan lain yang membawa pada kemurnian
pandangan. Dengan mengikutunya, maka akan dapat mengakhiri penderitaan (D.ii.40; Dh.273-275). Manusia sendiri
yang harus berusaha, Tathagata hanya
menunjukan jalan. Manusia menjadi suci karena usahanya sendiri untuk
membersihkan batin dari noda-noda yang mempengaruhi pikiran, ucapan dan
perbuatan (It.62; Dh.165).
Delapan jalan uatama adalah kebenaran keempat dari
empat kebenaran mulia (Cattari Ariya
Saccani) yaitu kebenaran mulia tentang jalan menuju lenyapnya penderitaan. Ariya Atthangika Magga terdiri dari
delapan factor yang saling bergantungan: (1) pandangan benar (samma ditthi), (2) pikiran benar (samma sankappa), (3) ucapan benar (samma vacca), (4) perbuatan benar (samma kammanta), (5) mata pencaharian
benar (samma ajiva), (6) daya upaya
benar (samma vayama), (7) perhatian
benar (samma sati), dan (8)
konsentrasi benar (samma samadhi)
(M.i.48,300; S.v.421).
Delapan jalan utama terbagi dalam tiga landasan dasar:
(a) moralitas (sila) terdiri dari perbuatan
benar, ucapan benar, dan mata pencaharian benar; (b) latihan moral (Samadhi) terdiri dari: perhatian benar
dan konsentrasi benar; (c) kebijaksanaan (Panna)
terdiri dari: pandangan benar dan pikiran benar (Sangharakshita, 2003: 62;
Piyadasi, 2005:25-26).
Ariya Atthangika
Magga adalah suatu sistem jalan penerangan yang saling berkaitan dan
bertahap. Dalam upaya untuk mengatasi maupun menghindari jalan ektrem tentang
pemuasan nafsu, ditunjukan dengan moral (Sila).
Penghindaran terhadap ekstrem penyiksaan diri yaitu dengan pelaksanaan meditasi
(Samadhi), dan pelaksanaan jalan
tangah ditunjukan dengan kebijaksanaan
(panna) (Vism.4).
2. Faktor-faktor Ariya Atthangika Magga
a. Pandangan
Benar (Samma ditthi)
Pandangan benar merupakan ruas pertama dari delapan
ruas jalan utama. Didefinisikan sebagai pengertian benar dengan memahami
kehidupan sebagaimana adanya, tanpa memegang pandangan salah (Miccha ditthi), serta memahami secara
jelas empat kebenaran mulia (Cattari
Ariya Saccani) (M.i.40). Manusia yang memahami seluk-beluk kehidupan dan
kebenaran mulia, sesungguhnya disebut bijaksana (M.i.43,292). Langkah pertama dimulai dengan memperoleh suatu
pengertian atau pandangan yang jelas terhadap segala fenomena alam sebagaimana
adanya.
Pandangan benar juga berarti dengan memahami tentang
kamma. Perbuatan (kamma) memiliki
akibat baik dan buruk, tergantung pada perbuatanya. Setiap manusia merupakan
pewaris dari kammanya sendiri (A.iii.291),
perbuatan baik maupun buruk yang dilakukan oleh pikiran, ucapan dan badan jasmani
akan berakibat pada setiap individu. Pandangan benar tentang perbuatan (kamma) bertentangan dengan teori Purana
kassapa yang mengajarkan tanpa perbuatan (Akiriya
vada) yaitu tidak ada penambahan kebajikan maupun keburukan dalam setip
perbuatan (D.i.52-53).
Samma ditthi
merupakan suatu kunci utama dalam agama Buddha, yaitu usaha untuk menghilangkan
keragu-raguan dan membimbing umat manusia pada pikiran benar (Samma sankappa), tanpa kemelekatan atau
pelepasan (Nekkhamasamkappa), cinta
kasih (Avyapada samkappa), dan tanpa
kejahatan (Avihimsa samkappa).
Melalui pemahaman dan pelaksanaan jalan kebenaran akan terbebas dari
penderitaan, kelahiran, usia tua dan kematian (Dh.275).
Pandangan benar adalah yang telah bebas dari sebelas
pandangan salah: (1) pandangan dunia kekal, (2) tidak kekal setelah meninggal,
(3) tathagata bukan ada dan bukan tidak ada, (4) masih ada kelahiran, (5) usia
tua, (6) kematian, (7) penderitaan, (8) kesedihan, (9) kesakitan, (10) ratap
tangis, dan (11) putus asa. Pandangan salah (Miccha
ditthi) tidak menuju pada pelenyapan nafsu, terbebas dari penderitaan (Samsara), kelahiran (Bhava), kematian (Jara-marana),
pengetahuan (Abhinna), dan penerangan
agung (Sambodhi) (M.i.421).
Buddha menyatakan bahwa manusia yang memiliki
pandangan benar, berarti mengetahui dan memahami sepenuhnya tentang: hal-hal
yang tidak membawa manfaat (Akusala)
beserta akarnya (lobha, dosa, moha),
perbuatan yang membawa manfaat (kusala),
makanan (Ahara), penderitaan (Dukkha), sumber penderitaan (dukkha samudaya), lenyapnya penderitaan
(dukkha niroda), jalan menuju
lenyapnya penderitaan (dukkha nirodha
gaminipatipada), usia tua (jara),
kematian (marana), kelahiran (jati), penjadian (bhava), kemelekatan (upadana),
keinginan (tanha), perasaan (vedana), kontak (phasa), enam landasan indera(salayatana),
batin dan jasmani (nama-rupa),
kesadaran (vinnana), bentuk-bentuk
kamma (sankhara), ketidak tahuan (avijja), dan noda batin (kilesa). Mengetahui dan memahami
tentang sebab munculnya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya (M.i.47,262).
Makhluk yang mempunyai pandangan benar, memahami
tentang tiga corak umum (Tilakkhana):
ketidak kekalan (Anicca), penderitaan
(Dukkha), dan tanpa inti (Anatta). Keterikatan pada pemuasan hawa
nafsu (kamasukhalikanuayoga) merupakan bentuk pandangan salah.
Dalam agama Buddha dijelaskan segala sesuatu yang berkondisi adalah tidak kekal
(D.ii.157). Kepuasan yang diperoleh
dari pemuasan nafsu inderanya bersifat sementara dan berakibat penderitaan
apabila tidak terpenuhi kembali (Sn.766-768).
Jalan ekstrem penyiksaan diri (Attakillamathanuyoga)
akan terhapus dengan pemahaman anicca,
dukkha dan anatta (tanpa diri
yang kekal)
b. Pikiran Benar (Samma
sankappa)
Pikiran benar (samma
sankappa) adalah pikiran yang terbebas dari akusala mula tiga: keserakahan (lobha), kebencian (dosa) dan kebodohan (moha);
terbebas dari hawa nafsu (raga);
kemauan buruk (byapada); kekejaman (vihimsa); yang diwujudkan dalam bentuk
cinta kasih (metta) dan diliputi
dengan belas kasih (karuna) terhadap
semua makhluk (Wahyono, 2002:74).
Pikiran benar (Samma
sankappa) merupakan hasil dari pemahaman pandangan benar (samma ditthi). Pikiran benar adalah
berpikir pada pelepasan kemelekatan (Nekkhamasamkappa),
cinta kasih (Avyapadasankappa), dan
tanpa kejahatan (Avihimsasankappa).
Pengembangan pikiran-pikiran yang baik melalui ucapan dan perbuatan maka
kebahagiaan akan mengikutunya (Dh.2).
Individu yang memiliki pikiran benar, maka akan
melenyapkan pikiran yang salah. Dengan memahami dan berpikir tentang badan
jasmani , perasaan, pencerapan, bentuk-bentuk pikiran adalah tidak kekal dan
tanpa diri sejati (M.i.300) akan
terbebas dari pikiran salah tentang pemujaan hawa nafsu dan kemelekatan pada
penyiksaan diri. Buddha menyatakan bahwa, beliau tidak lagi memikirkan tentang
keterikatan pada nafsu yang bersifat rendah, kasar, dan tidak bermanfaat, serta
tidak lagi berpikir untuk menjalankan praktik penyiksaan diri yang menyakitkan.
Beliau telah meninggalkan pikiran-pikiran jahat sehinng mencapai kemurnian
dalam pikiran, perkataan dan perbuatan yang akan membawa pada kebahagiaan (D.iii.113).
Pandangan dan pikiran benar termasuk dalam kelompok
kebijaksanaan (Panna) yang akan
menuju pada moral (sila) yang baik. Panna adalah kebijaksanaan sempurna yang
mampu menembus tiga corak umum (anicca, dukkha, anatta) dan empat kebenaran mulia yang
memberikan jalan penerangan. Manusia
memiliki kebijaksanaan dan mampu membedakan perbuatan baik maupun buruk (ekstremisme) (M.i.81-92, 389).
c. Ucapan Benar (Samma
vacca)
Ucapan benar mencerminkan tekad untuk menahan diri
dari berbohong (musavada), menfitnah (pisunavacca) yang dapat menimbulkan kebencian, permusuhan, dan
perpecahan dalam masyarakat. Ucapan benar adalah menghindari ucapan yang kasar,
tidak sopan, jahat dan caci maki (pharusavacca),
percakapan yang tidak bermafaat (samphappalapa).
Individu yang memiliki ucapan benar, berarti mampu mengendalikan
indera-inderanya. Setiap kata-katanya benar, beralasan, berfaedah, dan
diucapkan tepat pada waktunya (M.i.345).
Ucapan benar adalah ucapan yang mewakili apa adanya, sesuai
dengan realita, berhubungan dengan kebenaran, disenangi banyak makhluk.
Tathagata mengetahui waktu yang tepat untuk menggunakan ucapan, karena telah
mempunyai cinta kasih tanpa batas terhadap semua makhluk (M.ii.306).
Mengucapkan kata-kata hendaknya tidak dikuasai oleh
pandangan dan pikiran yang diliputi oleh kesalahan yang dapat menimbulkan
kesesatan. Mengucapkan kata-kata yang diliputi oleh nafsu, mendorong manusia
untuk melakukan perbuatan berdasarkan sifat serakah. Mengucapkan kata-kata
tidak benar, dengan maksud untuk menyuruh individu lain melakukan perbuatan
yang salah, setelah meninggal akan terlahir di alam menyedihkan (A.iii.245).
d. Perbuatan Benar (Samma
kammanta)
Perbuatan benar (Samma
kammanta) adalah perbuatan yang tidak menyakiti dan merugikan diri sendiri
maupun makhluk lain, dan bebas dari akusala (Kaharuddin, 2004:241). Samma kammanta juga diartikan sebagai
pengembangan kelakuan bermoral, mulia dan damai. Diwujudkan melalui pelaksanaan
pancasila dalam aspek negatif dan positifnya, yaitu tidak melakukan pembunuhan,
pencurian, perzinahan, ucapan yang tidak benar, dan tidak melakukan minum dan
makanan yang menimbulkan ketagihan (Wahyono, 2002:70).
Setiap perbuatan melalui jasmani, ucapan dan pikiran yang tidak
menyebabkan kerugian pada diri sendiri maupun individu lain, berdasarkan pada
lenyapnya akusala dhamma dan
berambahnya kusala dhamma,
perbuatanya adalah perbuatan benar yang tidak dicela para bijaksana (M.ii.15-6)
Buddha menyatakan bahwa keterikatan praktik
pengumbaran hawa nafsu (Kamasukhallikanuayoga)
dan keterikatan pada penyiksaan diri (Attakillamathanuyoga)
termasuk perbuatan salah yang bersunber dari pandangan salah. Perbuatan yang
didasarkan pada pandangan salah akan menyebabkan penderitaan yang
berkepanjangan (M.i.81-92; D.iii.221).
Manusia yang menjadi suci adalah yang telah melepaskan nafsu keinginan indera
dan tidak menjalankan pratik penyiksaan diri (D.iii.113).
e. Mata pencaharian Benar (Samma ajiva)
Mata Pencaharian benar sering diartikan sebagai
penghidupan benar yaitu menghindari diri dari mata pencaharian yang menyebabkan
kerugian pada diri sendiri maupun makhluk lain (Sangharakshita, 2003:65):
penipuan, pemerasan, penipuan (M.ii.177).
Mata pencaharian merupakan suatu usaha manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup
dalam suatu periode kehidupan.
Dalam agama Buddha dijelaskan bahwa mata pencaharian
benar berarti sesuai dengan sila dan
terhindar dari lima
jenis penghidupan salah : (1) perdagangan daging yang menyebabkan pembunuhan,
(2) perdagangan senjata, (3) minuman dan makanan yang menimbulkan ketagihan,
(4) perdagangan racun, (5) perdagangan manusia (A.iii.207).
Ucapan benar (samma
vacca), perbuatan benar (samma kammanta), dan mata pencaharian benar (samma ajiva), digolongkan dalam
kelompok sila. Sila merupakan dasar latihan yang harus dikembangkan untuk
menghasilkan kualitas batin yang murni. Kemurnian batin tidak lepas dari sila
yang benar, karena sila yang benar telah terbebas dari unsur akusala
(Widyadharma, 1990: 62).
f. Daya Upaya Benar (Samma
Vayama)
Daya upaya benar (Samma
vayama) identik dengan usaha benar yang memiliki empat jalur : mencegah
timblnya pikiran-pikiran jahat yang belum muncul (Samvara), menekan dan melenyapkan pikiran jahat yang telah muncul (Pahana), menumbuhkan pikiran baik yang
belum muncul (Bhavana), dan
mengembangkan pikiran baik yang telah muncul (Anurakkhana) (A.ii.16).
Empat unsur usaha benar merupakan dasar utama untuk
melaksanakan konsentrasi, sehingga menuju pada pembebasan pandangan salah
tentang materialisme dan kekekalan tentang atta atau diri sejati. Usaha benar
berfungsi secara bersama-sama dengan perhatian benar dan konsentrasi benar.
Individu yang selalu berusaha dengan semangat (Attapi), usaha (Padhana),
ketekunan (Anuyoga), kewaspadaan (Appamada), dan pemikiran yang benar (Sammamanasikara) akan mampu memusatkan
pikiranya (D.ii.101).
Daya upaya benar (samma
vayama) adalah usaha untuk meningkatkan serta menyempurnakan pikiran benar,
sehat dan berguna untuk kemajuan batin (Wahyono, 2002:72). Melenyapkan
keragu-raguan, kekhawatiran, ketakutan, dan kegelisahan (akusala) melalui pelaksanaan daya upaya benar sehingga keadaan
yang baik akan berkembang.
g. Perhatian Benar (Samma
Sati)
Perhatian benar terdiri dari latihan-latihan vipasana
bhavana, yaitu meditasi untuk memperoleh pandangan terang tentang hakikat
kehidupan. Melatih diri supaya benar-benar sadar, penuh perhatian dan waspada
terhadap kegiatan dan gerak-gerik yang terjadi pada diri manusia. Penerapan
pengembangan kesadaran meliputi: kegiatan badan jasmani (kaya nuppasana), perasaan (vedana
nuppasana, keadaan pikiran (citta
nuppasana), dan fenomena pikiran atau objek mental (dhammanuppasana) (M.i.267).
Semua makhluk mendambakan kedamaian pikiran, untuk
mencapainya pikiran disesuaikan dan dikondisikan dengan ketenangan melalui latihan
secara terus menerus. Hidup dengan rajin, damai dalam batin, tidak gelisah dan
tidak terganggu. Batin dilatih oleh diri sendiri dengan penuh semangat,
disiplin, pengendalian diri, serta selalu penuh perhatian murni akan membuat
pulau bagi dirinya sendiri yang membawa pada kemajuan batin (It.121; Dh.25).
Perhatian benar (samma
sati) disertai dengan kewaspadaan sangat diperlukan untuk menghindari
perbuatan jahat yang merugikan diri sendiri maupun orang lain. Melalui
perhatian benar, maka akan membawa pada kesucian dan pembebasan.
Makhluk yang melakukan perenungan terhadap jasmani
secara terus-menerus berusaha, sadar dan mengendalikan dirinya telah mengatasi
keserakahan dan kesedihan. Secara terus menerus melakukan pengamatan pikiran,
berusaha, sadar dan mengendalikan dirinya telah mengatasi kesedihan dan
keserakahan dalam dirinya. Melakukan pengamatan fenomena, berusaha sadar dan
megendalikan dirinya (D.ii.201)
Buddha menjelaskan tentang pentingnya perhatian utuk
memperoleh pemahaman bahwa segala sesuatu yang terjadi dari perpaduan unsur
(berkondisi) adalah tidak kekal, dan selalu berubah-ubah. Setiap makhluk
hendaknya selalu bersemangat untuk berjuang mencapai kebebasan dengan sadar,
waspada (D.ii.16,157). Perhatian
murni tentang nama dan rupa, akar-akar penyakit internal maupun eksternal akan
terbebas dari segala bentuk penderitaan
(Sn.530)
h. Konsentrasi benar (samma Samadhi)
Samma Samadhi
adalah pemusatan pikiran untuk membersihkan batin, yang ditujukan untuk
kesejahteraan hidup, kesucian dan pembebasan dari penderitaan (Kaharuddin,
2004:241). Konsentrasi benar berarti mengkonsentrasikan (Samadhana), pengkonsentrasian berarti memusatkan (Adhana), kesadaran (Vinnana), dan corak batin yang muncul bersamaan dengan kesadaran (cetasika) secara merata (sammam) dan benar (samma), pada suatu obyek tunggal. Konsentrasi merupakan suatu
keadaan, yang mengakibatkan vinnana dan
cetasika tetap berada pada suatu obyek tunggal secara merata
dan benar, tidak tercerai berai atau menyatu (Vism.84).
Meditasi merupakan usaha yang dilakukan untuk
mengkonsentrasikan pikiran pada salah satu objek, terdapat dua macam metode
pelaksanaan meditasi dalam agam Buddha: konsentrasi pikiran untuk mencapai
ketenangan jasmani dan batin melalui pemusatan pikiran pada suatu obyek (samataha) yang merupakan tingkat awal (lokiya atau duniawi); dan penyadaran pandangan terang (vipassana) untuk mencapai pandangan
terang (lokuttara atau di atas
duniawi), artinya dapat melihat fenomena dari segala bentuk nama dan rupa
sebagai apa adanya, wajar, dan alamiah (Buddhagosa cariya, 2002:13).
Pengetahuan tertinggi (Vijjabhagiya) ditopang oleh dua hal penting yaitu ketenangan dan
pandangan terang. Ketenangan (Samatha)
adalah suatu konsentrasi yang menghasilkan Jhana.
Keadaan yang luar biasa, tenang dan damai, pandangan terang (vipassana) adalah pengetahuan yang
memahami (Sankhra pariggahakanana)
segala sesuatu sebagai tidak kekal, penderitaan, dan tanpa diri (Anicca, Dukkha, Anatta) (A.ii.10).
Pengembangan ketenangan (Samatha) menimbulkan penekanan terhadap lima rintangan (pancanivarana) yaitu nafsu kerinduan (kamachandha), keinginan jahat (byapada),
kemalasan dan kelambanan (thina-middha),
kegelisahan dan kekhawatiran (uddhacca-kukkucca),
dan keraguan (vicikiccha) (Buddhagosa
cariya, 2002:22). Melalui pengembangan ketenagan akan memunculkan pikiran yang
lebih tinggi (Jhana).
Pengembangan pandangan terang (Vipassana) merupakan kebijaksanaan sang jalan. Ketenangan yang
telah dikembangkan bersama pandangan terang dapat memunculkan kesadaran sang
jalan (Magga-citta). Kebijaksanaan
jalan (Magga-panna) menjadi berkembang, yaitu diperluas dan dipertegas.
Kebodohan batin ditinggalkan karena merupakan kebodohan besar dalam kehidupan. Vipassana bhavana bertujuan untuk
mencapai tingkat-tingkat kesecian mengtasi sepuluh Samyojana: (1). Sotapanna:
telah membasmi kepercayaan tentang
adanya diri yang kekal (sakkayaditthi),
keraguan (vicikiccha), dan
keterikatan pada upacara-upacara (silabbataparamasa);
(2). Sakadagami: telah melemahkan
hawa nafsu (kamaraga), dan kemauan jahat,
dendam (patigha); (3). Anagami: telah membasmi kamaraga dan patigha; (4). Arahat:
telah membasmi nafsu untuk hidup di alam bermateri (rupa raga), hidup dialam tanpa materi (aruparaga), kesombongan (mana),
kegelisahan (uddhacca), dan avijja (kebodohan batin) (Kaharuddin,
2004:284).
Samadhi
benar bertujuan untuk mengembangkan kebijaksanaan dan melenyapkan kekotoran
batin. Melalui pelaksanaan Samadhi, manusia akan terbebas dari segala noda (asava) yaitu: nafsu inderawi (kamasavana), nafsu untuk dilahirkan
kembali (bhavsava), pandangan salah (ditthisava)
dan kebodohan (avijjasava) (D.ii.91).
Buddha menjelaskan bahwa sila, samadhi dan panna
adalah suatu rangkaian yang dilaksanakan secara bertahap untuk menemukan
kebahagiaan sejati (Nibbana). Dalam
upaya untuk mengatasi dan menghindari praktik-praktik kehidupan ekstrem tentang
pemuasan nafsu keinginan, ditunjukkan dengan
kebijaksanaan (Panna) (Vism.4).
Sila, Samadhi, dan Panna merupakan
dasar dari ajaran Buddha yang perlu dilaksanakan untuk mencapai pembebasan (M.i.32).
Jalan mulia berunsur delapan dilaksanakan tidak secara
terpisah atau sendiri-sendiri, melainkan dilaksanakan secara berantai dan
bertahap. Semua bagian bekerja sebagai satu pengembangan yang kuat. Melalui
pelaksanaan jalan mulia berunsur delapan, maka setiap makhluk akan terbebas
dari segala bentuk Pandangan Ekstrim yaitu pengumbaran hawa nafsu dan
kemelekatan pada penyiksaan diri yang menyebabkan penderitaan (D.iii.221; M.i.7; S.v.421).
Buddha menyatakan bahwa untuk mencapai kebebasan
sejati adalah dengan tidak menyakiti diri sendiri maupun berpaling dan terlibat
pada pemuasan hawa nafsu, tetapi dengan mengikuti latihan yang diajarkan oleh
Buddha. Dengan menjalani ariya athangika
magga maka akan mengakhiri penderitaan yang telah dilenyapkan oleh
tathagata, sadar dengan penuh semangat dan perjuangan (M.i.391; Dh.275).
F.
PENUTUP
Pandangan Ekstrim merupakan suatu pandangan yang melampaui batas
kebiasaan dan berlebihan dalam agama Buddha dijelaskan tentang dua jalan
ekstrem (Anta), yaitu mengikuti nafsu
indera secara terus menerus (Kamasukhallikanuayoga)
dan keterikatan pada praktik pertapaan melalui penyiksaan diri (Attakillamathanuyoga). Pandangan Ekstrim seharusnya dihindari oleh semua makhluk,
karena bersifat rendah, tidak mulia, dan tidak berfaedah yang menyebabkan
kesakitan dan penderitaan.
Keterikatan pada nafsu indera secara terus menerus disebabkan karena
adanya sifat keserakahan sebagai akarnya (Lobhamula
citta). Pandangan bahwa melalui pemenuhan keinginan indera secara terus
menerus maka akan mendapatkan kebahagiaan yang sejati merupakan bentuk
pemahaman yang menyimpang dari agama Buddha. Pengumbaran hawa nafsu hanya akan
membawa pada kebahagiaan sementara saja, karena segala sesuatu yang berkondisi
termasuk nama dan rupa adalah tidak kekal, dan selalu berubah-ubah. Doktrin
ajaran tentang pemuasan hawa nafsu akan mendorong pengikutnya untuk berbuat
memuja hawa nafsu: makan, minum, dan berfoya-foya, karena terbelenggu oleh
pandangan salah. Pengumbaran hawa nafsu hanya akan membawa pengikutnya pada
belenggu penderitaan (Samsara)
Praktik pertapaan yang terikat pada pandangan salah tentang adanya diri
sejati, merupakan suatu bentuk Pandangan Ekstrim yang kedua. Pemahaman bahwa Atta adalah abadi dan bersifat bahagia,
diri sejati menderita karena terbelenggu oleh badan jasmani. Untuk
mencapai kebahagiaan, maka badan jasmani
harus disiksa secara terus menerus sehingga
Atta akan terbebas dari belenggu. Doktrin ajaran tentang penyiksaan diri
hanya akan membuat pengikutnya menderita dan menimbulkan kesakitan.
Buddha pernah menjalankan kedua jalan ekstrem pemuasan hawa nafsu dan
keterikatan pada praktik penyiksaan diri. Bentuk pemuasan nafsu dialami
Siddharta pada waktu di istana yang dipenuhi dan diliputi oleh kemewahan,
sehingga menjeratnya untuk menikmati bentuk-bentuk materi yang sesungguhnya
hanya akan membawa kebahagiaan yang sementara saja. Jalan ekstrem penyiksaan
diri dialami oleh pertapa gotama pada masa pencarian kebijaksanaan. Beliau
bertapa dengan menyiksa diri bersama para pertapa lain (lima orang pertapa). Melalui jalan ekstrem
Gautama tidak mencapai pengetahuan kebijaksanaan, karena semua jalan yang
dialui akan membawa pada kelahiran, usia tua dan kematian.
Buddha menemukan jalan tengah yang sesuai dengan kebenaran mulia dan
meninggalkan jalan ekstrem yang telah dilalui. Usaha untuk menghindari dan
mengatasi pandangan ekstrem, Buddha menjelaskan tentang jalan mulia berunsur
delapan (Ariya Athangika Magga) sebagai
jalan tengah . Ariya Athangika Magga terdiri dari delapan unsur yang dibagi
menjadi tiga kelompok: (1) Sila
meliputi perbuatan benar, ucapan benar dan mata pencaharian benar, (2) Samadhi, terdiri dari Usaha benar, perhatian benar dan konsentrasi
benar, (3) Panna, mencangkup
pandangan benar dan pikiran benar. Melalui pelaksanaan delapan ruas jalan
utama, maka akan membawa pada kebahagiaan, terbebas dari pandangan-pandangan
salah dan berhentinya penderitaan (Nibbana).
Ajaran Buddha bukanlah suatu doktrim yang mengharuskan para pengikutnya untuk
melaksanakan setiap ajaranya. Buddha membabarkan Dhamma tentang kebenaran tidak
untuk mendapatkan pengikut yang banyak, melainkan membabarkan jalan kebenaran
kepada semua makhluk yang akan berusaha untuk melenyapkan penderitaan dan
mencapai kebahagiaan sejati (Nibbana).
Ajaran Buddha diibaratkan sebagai sebuah rakit yang mampu menolong semua
makhluk untuk menyeberang ke pantai bahagia.
Sebagai Akademi Buddhis, diharapkan mampu memahami, mengkritisi dan
membuktikan Ajaran Buddha (Ehipasiko),
sehingga mempunyai pemahaman benar terhadap ajarannya. Akademi Buddhis harus
mampu menjawab segala permasalahan dan menjelaskan kepada setiap masyarakat
tentang pandangan-pandangan keliru (Pandangan Ekstrim) dalam kajian Agama
Buddha.
Memiliki pemahaman benar tentang praktik-praktik yang ekstrem, dan jalan
untuk menghindari maupun melenyapkan jalan ekstrem akan menimbulkan pengetahuan
benar terhadap segala fenomena kehidupan dan dapat melaksanakannya dengan benar
yang akan menuntun pada pelenyapan penderitaan dan pencapaian kebahagiaan diri
sendiri maupun makhluk lain.
Penelitian tentang Pandangan Ekstrim
dalam Kajian Agama Buddha, bersifat riset kepustakaan atau Studi pustaka
yang masih bersifat teoritik. Maka penulis menyarankan agar dapat dilaksanakan
suatu penelitian yang lebih mendalam, sehingga dapat menyempurnakanya.
Rujukan
Buddhagosacariya,
somdet Phra. Tanpa tahun. Samadhi.
Terjemahan Guey tekjong. Metta youth: Jakarta.
Buddhaghosa,
Badantacariya.1979. The part of Purification
(Visudhi Magga). Kanady, Srilanka: Buddhis Publication Society.
Diterjemahkan dari bahasa pali ke inggris oleh Bikkhu Nanamoli. Diterjemahkan
ke Indonesia
oleh tim penterjemah jalan kesucian. Eni darini, dkk. Bali
: Mutiara Dhamma.
Davis, 1992. Pali English Dictionary. Oxford: PTS
Dhammapada (The Word Of The Doctrine). Terjemahan Norman. 2000. Oxford: Pali Text Society.
Dialogue Of The Buddha (Digha nikaya) Vol. I. Terjemahan David,
Rhys. London:
PTS
Dialogue of the Buddha (Digha-Nikaya) Vol II.
Terjemahan Davis, Rhys. 1989. Oxford: PTS.
Digha-Nikaya (Dialogue of the Buddha)
Vol III. Terjemahan Davis, Rhys. 1977. London: PTS.
H.R.R. Price
Vajirananavarosasa. Tanpa tahun. Dhamma
vibhanga. Jakarta:
Lovina indah.
Itivuttaka kitab suci agam Buddha (diterjemahkan oleh Lany
Anggawati dan Wena cintiawati). Klaten: Wisma Sambodhi.
J. Kalupahana, David. 1986. Filsafat
Buddha. Terjemahan Hundaya kandahjaya. Jakarta: Erlangga.
Kaharuddin. 2004. Kamus umum Buddha Dhamma. Trisatva Buddhis Centre
Kusaladhamma.2006. Kronologi Hidup Buddha. Jakarta: karaniya
Mettadewi.
1994. Pokok-Pokok Dasar Abhidhamma Jilid
I . Jakarta:
STIAB Nalanda.
Narada. 1995. Sang Buddha dan Ajarannya
I. Jakarta:
Dhammadipa Arama
Naylor, Thomas. N.
1996. Pencarian Makna Sebuah Kehidupan. Jakarta: Bina Rupa Aksara
Partowisastro, Koestoer.1983. Dinamika Psikologi Social. Jakarta:
Erlangga
Piyadasi.2005. Meditasi Buddhis Jalan Menuju Ketenangan dan
Kebersihan Batin. Surabaya:
Paramita
Sangharakshita.2003. Sari Ajaran Buddha. Jakarta: Diandharma
Shian, shen. 2005. Jadilah pelita. Terjemahan Wahid winoto.
Jakarta: Yayasan
Karaniya.
The Book Of Analysis (Vibhanga). Terjemahan Setthila. 1988. Oxford: Pali Text Society.
The Book Of Gradual Saying (Anguttara Nikaya) Vol.I. Terjemahan
Woodward, F.L&Hare,E.M.1972-1978. London:
Pali Text society.
The Book Of Gradual Saying (Anguttara Nikaya) Vol.II. Terjemahan
Woodward, F.L&Hare, E.M..1971-1978. London:
Pali Text Society.
The book of Gradual Saying (Anguttara Nikaya) Vol. IIi.Terjemahan Woodward, F.L and Hare, E.M. London:PTS
The Book of The Kindred Saying (Samyuta Nikaya) Vol. II. Terjemahan David, Rhys. 1990. Oxford: PTS
The Book of The Kindred Saying (Samyuta Nikaya) Vol. IV. Terjemahan
David, Rhys. 1990. Oxford:
PTS
The Book Of the Kinderd Saying (Samyuta Nikaya) Vol V. Terjemahan
David, Rhys.1990. oxford:Pali Text
Society
The Book Of Analysis (Vibhanga). Terjemahan Setthila. 1988. Oxford: Pali Text Society.
The Group Of Discourses (Sutta Nipāta). Terjemahan Norman, Horner,
I.B dan Walpola Rahula. 1984. London:
The Pali Text Society.
The Middle Length Sayings (Majjhima Nikaya) Vol.I. Terjemahan
Hoener, I.B..1989. London:
The Pali Text Society.
The Middle Length Sayings (Majjhima Nikaya) Vol.II. Terjemahan
Hoener, I.B..1989. London:
Pali Text Society.
The Middle Length Sayings (Majjhima
Nikaya) Vol.III. Terjemahan Hoener, I.B..1990. London: Pali Text Society.
The Middle
Length Saying (Majjhima Nikaya). Vol IV .Terjemahan Horner, I.B.1987.
Horner, I.B.1987. London:the Pali Text Society
The Psychological Ethics (Dhammasangani). Terjemahan Caroline A.F
dan Rhys Davids. 1974. London:
Pali Text society.
Tim Penyusun.1989. Ensiklopedi Nasional Indonesia. Jakarta: Cipta Adi Pustaka
T. Suwarto. 1995. Buddha dhamma Mahayana. Jakarta:
Majelis Buddha Mahayana Indonesia
Wahyono, mulyadi.
2002. Pokok-pokok Dasar agama Budhha.
Jakarta: Depertemen
Agama RI
Widyadharma,
Sumedha.1990. Dhammasari: Jakarta : Yayasan Karaniya
Widya, Dharma. 1992. Modul Riwayat Hidup Buddha Gautama I. Jakarta:
Universitasterbuka
Widya, Dharma. 1995. Riwayat Hidup Buddha Gautama. Jakarta: Direktorat
Jendral Bimbingan Masyarakat Hindu dan Buddha
No comments:
Post a Comment